Saatnya Memperkarakan Penyedia Angkutan Umum Saat Terjadi Kecelakaan

  • Oleh : Naomy

Jum'at, 24/Mei/2024 08:39 WIB
Pemeriksaan kelaikan bus Pemeriksaan kelaikan bus

JAKARTA (BeritaTrans.com) -  Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Djoko Setijowarno menyampaikan, Polda Jawa Barat harus belajar dengan Polres Batang dan Polres Jambi yang memperkarakan penyedia jasa angkutan umum ketika terjadi kecelakaan angkutan umum yang mengakibatkan korban meninggal dunia. 

"Tangan hukum jangan hanya terbatas tegas dengan menindak pengemudi," tegas Djoko, Jumat (24/5/2024).

Baca Juga:
Dirjen Hubdat Dorong Sinergi dalam Penyelenggaraan Angkutan Umum Berkeselamatan

Beberapa kasus besar kecelakaan lalu lintas yang memakan korban cukup besar, seperti Perempatan Muara Rapak, Balikpapan, Jumat (21/01/2022), Bus Pariwisata Ardiansyah Plat Nomor Kendaraan S 7322 UW di KM 712.400A Tol Surabaya-Mojokerto, Senin (16/5/2022), Bus Pariwisata PO Pandawa di Jalan Raya Payungsari, Dusun Pari, Desa Payungsari, Kecamatan Panumbangan, Kabupaten Ciamis, Sabtu (21/5/2022). 

Hingga kini tidak ada kabar kelanjutannya, hanya pengemudi dijadikan tersangka.

Baca Juga:
Menelisik Isu Strategis Pemerataan Infrastruktur Transportasi

Masyarakat sulit percaya dengan keseriusan Polri untuk mengusut hingga tuntas. Apalagi dari tiga kasus di atas sudah berganti pejabat yang mengurusnya,  sehingga jangan harap akan diusut lagi, bisa jadi berkasnya juga sudah hilang atau dihilangkan.

"Sekarang kita masih menunggu janji Polisi untuk mengusut tuntas kasus kecelakaan Bus Trans Putera Fajar nomor polisi AD 7524 OG di Ciater, Subang, Jawa Barat, Sabtu (11/5/2024). Tangan hukum jangan hanya terbatas tegas dengan menindak pengemudi," bebernya.  

Baca Juga:
Sidak Bus Pariwisata di Jakarta dan Bogor, Kemenhub Temukan 37 Tak Laik Jalan

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pasal 286, menyebutkan setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih di Jalan yang tidak memenuhi persyaratan laik jalan dapat dipidana kurungan maksimal dua bulan atau denda maksimal Rp 500 ribu.

Pasal 106, ayat (1), setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi.  

Dimaksud dengan”penuh konsentrasi” adalah setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan penuh perhatian dan tidak terganggu perhatiannya karena sakit, lelah, mengantuk, menggunakan telepon atau menonton televisi atau video yang terpasang di kendaraan, atau meminum minuman yang mengandung alkohol atau obat-obatan, sehingga memengaruhi kemampuan dalam mengemudikan Kendaraan

Jika terbukti pengemudi membawa kendaraan atas perintah Perusahaan, maka yang dipidana adalah Perusahaan atau pengurus yang memerintah.

"Disamping itu, penyelenggara wisata juga wajib bertanggung jawab atas penggunaan bus yang tidak sesuai UU LLAJ. Kerap terjadi, penyelenggara tour wisata menawarkan sewa bus murah dengan mengabaikan aspek keselamatan," kata dia. 

Penyelenggara wisata harus dikenakan sanksi hukum jika ketahuan ikut melanggar aturan penggunaan bus wisata yang tidak memenuhi kaidah UU LLAJ.

Penerapan Hukum Pidana Pasal 359 KUHP dapat untuk kecelakaan lalu lintas. Pasal 359 KUHP, menyebutkan barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

Pengemudi menjadi tumbal

Pengemudi selalu menjadi tumbal dalam setiap kecelakaan bus dan truk di Indonesia. 

Seharusnya penyelenggara kegiatan dan pemilik bus juga bertanggung jawab dalam kecelakaan di Subang. Bus yang mengalami kecelakaan itu tidak memiliki izin angkutan bus pariwisata dan izin KIR atau uji kendaraan bermotor telah habis masa berlaku sejak tahun lalu.

Pengurusan izin KIR itu tanggung jawab pemilik bus, bukan sopir. Kendaraan yang tidak melalui uji KIR berarti rentan kondisinya tidak laik jalan.

Sangat jarang sekali pemilik perusahaan bus yang tidak laik jalan saat kecelakaan diperkarakan hingga di pengadilan. 

Alhasil, kejadian serupa dengan penyebab yang sama selalu terulang kembali. Seharusnya kecelakaan bus di Subang menjadi momentun agar penegakan hukum dapat komprehensif dan adil. Semua pihak yang terlibat harus bertanggungjawab.

Pasal 315 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, sebenarnya sudah mencantumkan adanya sanksi pidana bagi perusahaan angkutan umum. Sanksi pidana itu terkait kendaraan yang dikemudikan sopir tanpa melalui pengujian KIR.

Pengurusan izin KIR itu tanggung jawab pemilik bus, bukan sopir. Kendaraan yang tidak melalui uji KIR berarti rentan kondisinya tidak laik jalan. 

Selama ini perusahaan angkutan dalam peristiwa kecelakaan hanya dikenai sanksi administratif, misalnya pencabutan izin. 

Djoko mengatakan, penyedia jasa angkutan umum yang tidak dapat menjamin kendaraannya laik jalan, pantas diberikan sanksi hukum yang setimpal. 

"Bahkan, para petugas dan pejabat pemerintah yang tidak berkompeten juga wajib diseret ke ranah hukum. Tunjangan fungsional petugas pemeriksa laik jalan kendaraan umum sudah saatnya harus disesuaikan dengan kondisi sekarang," imbuhnya. 

Pola Kecelakaan Bus Wisata

Catatan dari Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT, Mei 2024), kecelakaan pada bus wisata itu polanya hanya ada dua. Pertama, rem blong pada jalan yang sub standar dan kedua micro sleep disebabkan pengemudi mengalami kelelahan mengemudi.

Pola tersebut dipicu dari karakreristik angkutan wisata yang tidak diatur trayeknya dan tidak diatur waktu operasinya. Mereka bisa beroperasi dimana saja dan kapan saja tanpa ada batasan waktu operasi.

Sementara jalan jalan menuju destinasi wisata hampir semuanya adalah jalan sub standar (tidak sesuai regulasi) yang memiliki hazard dan berpotensi resiko rem blong bagi kendaraan besar terutama bagi pengemudi yang tidak paham rute karena menggunakan gigi tinggi saat turun. 

Demikian juga terkait panjang jari jari tikungan dan lebar lajur yang tidak ramah bagi kendaraan besar dengan panjang 12 meter dan lebar 2,5 meter.

Hal inilah yang seringkali mencelakakan bus wisata karena mereka dituntut harus mengantar ke tujuan wisata oleh penggunanya.

Kemudian hampir semua pengguna membuat itinerari perjalanan sungguh tidak manusiawi. Aktivitas dari pagi hingga sore untuk berwisata, kemudian malamnya berada di jalan untuk pulang (misalnya, bus pariwisata Ardiansyah Plat Nomor Kendaraan S 7322 UW menabrak tiang pesan-pesan (variable message sign/VMS) di KM 712.400A Tol Surabaya-Mojokerto, Senin, 16/5/2022) yang tidak memberi waktu pengemudi untuk beristirahat. 

Kalaupun ada waktu istirahat, hampir semuanya tidak ada yang memberi pengemudi tempat istirahat memadai. Peserta wisata tidur di hotel, pengemudi tidur di bus. Inilah yang memicu sering terjadinya kecelakaan bus wisata karena pengemudinya tidur saat mengemudi, karena kelelahan.

"Karakteristik bus wisata yang bebas kemana saja dan kapan saja ini juga merupakan ladang subur untuk digunakan oleh bus bekas hasil peremajaan, sehingga banyak sekali bus wisata yang tanpa izin," ungkapnya.

Pengawasan di lapangan sangat sulit, dan masih berplat kendaraan warna kuning. Semua kecelakaan bus wisata yang diinvestigasi KNKT adalah bus tanpa ijin yang merupakan bus bekas peremajaan dari bus AKAP/AKDP.

KNKT mengusulkan, pertama agar dibuat terminal wisata di destinasi wisata, seperti wisata pansela di Kab. Gunung Kidul dan Kab. Wonosobo (wisata Dieng). Semua bus besar berhenti di satu titik, dan untuk menuju titik wisata menggunakan kendaraan lain yang lebih kecil dan sesuai dengan geometrik jalannya.

Kedua, untuk pengawasan operasional bus wisata, sulit jika menggunakan pengawasan manusia (Kepolisian dan Dinas Perhubungan), karena mereka tidak memiliki trayek. Lebih baik wajibkan bus wisata menggunakan teknologi ADAS (Advanced Driver Assistance System) yang merupakan inovasi teknologi terintegrasi dalam kendaraan dengan tujuan utama meningkatkan keselamatan pengemudi dan penumpangnya. 

Dapat memantau kemana kendaraan itu serta kondisi kebugaran dan disiplin pengemudinya secara real time.

Ketiga, agar dibuat suatu mekanisme pada saat peremajaan kendaraan (karena pembatasan usia kendaraan) pada bus AKAP/AKDP, sehingga otomatis platnya menjadi hitam. Dan tidak bisa lagi digunakan sebagai kendaraan umum, sehingga tidak bisa digunakan sebagai bus wisata ilegal

Investigasi Demi Kepentingan Bangsa

Di semua negara sudah lazim kalau terjadi kecelakaan dilanjutkan dengan investigasi untuk dicari penyebabnya. Mungkin hanya di Indonesia yang hal itu dilarang. 

"Jangan sampai negara ini rusak oleh ambisi segelintir atau sekelompok orang yang ingin menguasai tertentu dengan mengorbankan kepentingan orang banyak," ujarnya.

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jaan (LLAJ) tidak dikenal istilah investigasi, seperti halnya pada 3 Undang-Undang Transportasi yang lain (UU Perkeretaapian, UU Pelayaran dan UU Penerbangan). 

Adalah tindakan pro justisia untuk mencari tersangka pada suatu kejadian kecelakaan. UU LLAJ sama sekali tidak mengatur adanya upaya untuk mencegah peristiwa ini terulang kembali melalui proses investigasi kecelakaan transportasi. 

Hal ini sering menyulitkan  KNKT dalam melaksanakan investigasi, karena akan berbenturan dengan UU LLAJ. Proses investigasi baru dapat dijalankan setelah proses pro justisia selesai.  

Apa bedanya tugas KNKT dan Polri? KNKT melakukan investigasi teknis dan tidak menyalahkan (technical investigation and not blaming). 

Sementara Polri melakukan penyidikan yudisial dan hasilnya siapa yang salah atau menyalahkan (judicial investigation and the result who is wrong or put blaming).

Demi kepentingan bangsa ini, perlu segera dilakukan revisi UU LLAJ agar pada setiap kecelakaan perlakuannya sama dengan tiga moda transportasi lainnya, yaitu penerbangan, pelayaran, perkeretaapian. 

Dalam hal ini supaya KNKT dapat bekerja dilindungi oleh Undang-Undang dan memberikan kemasalahatan bagi keselamatan jalan (road safety) di negara ini. (omy)