Oleh : Naomy
Penulis: Pengamat Penerbangan Gatot Rahardjo
Baca Juga:
Dorong Kunjungan Wisatawan ke Indonesia, Garuda Gelar GATF di Seoul, Shanghai, dan Singapura
JAKARTA (BeritaTrans.com) - Akhir-akhir ini kita dikejutkan dengan berita tentang raksasa bisnis tekstil Indonesia, Sritex yang mengalami pailit karena mempunyai utang Rp25triliun.
Pabrik textil terbesar se-Asia Tenggara ini juga membukukan kerugian sebesar Rp421 miliar pada semester 1 tahun 2024.
Baca Juga:
Garuda Indonesia per Oktober 2024, Bukukan Laba 18.11 Juta Dolar AS
Presiden Prabowo sampai memerintahkan empat kementerian yaitu Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, dan Kementerian Tenaga Kerja untuk segera menangani hal ini jangan sampai menjadi lebih buruk mengingat Sritex mempunyai karyawan sekitar 50 ribu orang.
Hal ini tentunya mengingatkan kita akan risiko yang sama, dirasakan pada industri lain di negeri ini, seperti industri penerbangan.
Baca Juga:
Garuda dan The Pokemon Company Luncurkan Desain Livery Tematik Pikachu Jet GA-2
Sebagian besar maskapai penerbangan ketika situasi pandemi terjadi. Ya, walaupun kini situasi telah berangsur pulih, namun bisa jadi kondisi tersebut bisa berulang terjadi pasa pelaku industri penerbangan di Indonesia.
Ibarat baru sembuh menjalani perawatan di rumah sakit, kini maskapai penerbangan Indonesia dihadapkan dengan kondisi yang cukup menantang, di mana tingkat profitabilitas bergerak cukup melambat.
Tercatat pada paruh pertama 2024, maskapai Low Cost Carrier Air Asia Indonesia mencatatkan tingkat kerugian sebesar Rp1,29 triliun, meningkat hingga tujuh kali lipat atau 643,92% dibandingkan rugi priode yang sama tahun lalu sebesar Rp174,21 miliar.
Sedangkan maskapai plat merah Garuda Indonesia masih cukup beruntung dengan dengan basis restrukturisasi utang yang dijalankan, masih mencatatkan pertumbuhan kinerja sebesar 32,88% secara tahunan dari US$ 76,50 juta per Juni 2023.
Ya, sektor bisnis saat ini kondisinya sangat tidak baik-baik saja, jika dibiarkan, kondisnai bukan tidak mungkin akan memburuk.
Padahal pada semester 1 tahun 2024, bagi bisnis maskapai adalah masa peak season atau musim ramai penerbangan. Banyak hari libur, di antaranya lebaran (Idul Fitri dan Idul Adha) yang bisa mencapai satu bulan dan libur anak sekolah. Juga ada musim pemilu yang meningkatkan pergerakan orang antarkota dan antarpulau.
Sedangkan di semester 2, peak season hanya terbatas pada Natal dan tahun baru. Bisa dibayangkan, jika semester 1 yang banyak peak season maskapai rugi, bagaimana pada semester 2?
Garuda Indonesia, Indonesia AirAsia, dan Sriwijaya Air memang sama-sama maskapai. Namun konsep bisnisnya berbeda karena mengikuti aturan di UU no 1 tahun 2009 tentang Penerbangan.
Garuda maskapai full service, Sriwijaya medium service, dan Indonesia AirAsia no service (no frills atau low cost/ LCC).
Bila mereka semua merugi, bisa dipastikan semua maskapai penerbangan berjadwal nasional juga mengalami hal yang sama.
Tantangan Sistemik
Ibarat orang sakit, bisnis penerbangan nasional memiliki tantangan sistemik yang perlu segera ditangani.
Hal ini bahkan sudah terjadi sebelum pandemi Covid-19. Dapat diketahui dari tahun 2017-2018 di mana pada tahun itu maskapai sebagai aktor utama serta katalisator bisnis pada ekosistem aviasi mengalami kerugian yang sangat besar.
Misalnya dari laporan keuangan Garuda Indonesia Group tahun 2018 yang menyatakan kerugian bersih sebesar 175,02 juta dolar AS atau sekira Rp2,63 triliun.
Meskipun pada konteks Garuda Indonesia terdapat perubahan yang cukup fundamental dari aspek restrukturisasi, Perusahaan yang berhasil mendorong perubahan signifikan terhadap Kesehatan kinerja Finansial.
Begitu juga maskapai Indonesia AirAsia yang rugi hingga Rp907 miliar. Garuda dan AirAsia adalah dua perusahaan terbuka sehingga laporan keuangannya dapat dilihat publik.
Maskapai lain walaupun laporan keuangannya tidak terbuka, sebenarnya nasibnya juga sama saja. Misalnya Sriwijaya Air Group yang pada tahun 2018 itu mengumumkan jumlah utangnya sebesar Rp2,46 triliun.
Maskapai ini kemudian bergabung secara operasional dengan Garuda Group agar terhindar dari bangkrut.
Untuk menghindari kerugian, pada tahun 2019 maskapai nasional mencoba mengumpulkan pendapatan dengan menaikkan harga tiket.
Namun baru setahun, ibarat duit belum kumpul, maskapai kemudian dihantam pandemi Covid-19 sampai tahun 2022 yang membuat operasional mereka turun hingga tinggal 30-40%. Tentu saja keuangan mereka juga turun drastis lagi.
Industri Berbiaya tinggi
Lalu kenapa maskapai bisa rugi sebesar itu, padahal jika dilihat pendapatan usaha mereka sebenarnya sudah naik.
Pendapatan usaha Garuda semester 1 tahun 2024 ini sebesar Rp 24,59 triliun, naik 16% dibanding tahun lalu. Begitupun pendapatan Indonesia AirAsia naik 24,1% yaitu menjadi Rp 3,78 triliun dari tahun lalu sebesar Rp3,04 triliun.
Kenaikan pendapatan itu dapat dikatakan bahwa maskapai sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun apa lacur jika ternyata masih rugi juga.
Secara gampang, dari laporan rugi laba akan terlihat bahwa kerugian ini karena jumlah biaya yang dikeluarkan lebih besar dari pendapatan.
Biaya terbesar pertama tentu saja dari harga bahan bakar avtur yang digunakan yang bisa mencapai 30% dari total biaya bagi maskapai full service atau bahkan mencapai 50% bagi maskapai LCC.
Terbesar kedua adalah biaya maintenance sebesar 16%, termasuk untuk pengadaan sparepart, di mana untuk impor sparepart ini masih dibutuhkan waktu lama dan sebagian besar masih dikenakan bea masuk yang besar.
Terbesar ketiga biaya sewa pesawat sebesar 14%. Jika ditotal tiga biaya itu, bagi maskapai full service sudah mencapai 60%, sedangkan maskapai LCC bisa mencapai 80%. Tentu saja kenaikan biaya itu akan mempengaruhi kenaikan total biaya maskapai.
Sedihnya lagi, biaya-biaya tersebut juga dipengaruhi oleh nilai tukar mata uang rupiah terhadap dollar AS. Semakin tinggi harga dollar, semakin besar juga biaya yang ditanggung karena pemasukan maskapai adalah rupiah.
Selain biaya, hal lain yang juga menyebabkan kerugian maskapai adalah iklim bisnis yang kurang bagus. Di tengah naiknya biaya operasional maskapai tersebut, tarif penerbangan batas atas yang ditetapkan oleh pemerintah sejak tahun 2019 tidak juga dinaikkan.
Alhasil, pendapatan maskapai pun terbatas, tidak bisa menutup biaya sehingga dapat dipastikan rugi. Selain itu juga terjadi persaingan yang tidak sehat karena ada satu group maskapai yang mempunyai pangsa pasar sangat besar sehingga dapat mendikte pasar.
Dilematis Bandara Menjamur & Tuntutan Menurunkan Harga Tiket
Menteri Perhubungan sebelumnya yang diharapkan bisa menjadi dirigent untuk membangun iklim bisnis penerbangan yang baik bagi industri penerbangan, ternyata tidak bisa melakukan hal itu.
Justru malah kontradiktif, karena banyak membangun infrastruktur bandara di berbagai daerah dan minta harga tiket diturunkan. Tentu saja hal ini tidak bisa dipenuhi maskapai yang rugi.
Akibatnya bandara sepi bahkan mati karena tidak ada maskapai yang masuk dan konektivitas transportasi masyarakat terganggu. Ibaratnya, bisnis penerbangan sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Berdampak Luas
Jika bisnis maskapai penerbangan ini tidak segera didukung langkah perbaikan ekosistem oleh pemerintah, bisa jadi nanti masyarakat akan mendapat khabar yang lebih buruk dibanding Sritex.
Hal ini karena industri penerbangan mempunyai dampak yang lebih luas bagi Indonesia yang wilayahnya berbentuk kepulauan, di mana yang paling terdampak besar nanti di antaranya adalah bisnis pariwisata dan logistik atau e-commerce.
Bila tidak ada penerbangan, sudah pasti pergerakan penumpang dan barang akan terganggu. Wisatawan dari Jawa kemungkinan tidak akan mau berlibur ke Sulawesi atau Kalimantan naik kapal laut karena waktunya lama.
Begitu juga e-commerce akan terganggu karena waktu pengirimannya bertambah.
Tidak itu saja, bisa jadi pergerakan aparatur sipil negara (ASN) dari daerah ke ibukota juga akan terganggu karena harus naik kapal. Waktunya lebih lama dan biaya yang dikeluarkan juga akan lebih besar untuk akomodasinya.
Bisa jadi pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) juga akan terganggu, program-program pemerintah juga akan terganggu. Dan pada akhirnya, perikehidupan bangsa dan perekonomian nasional juga akan terganggu.
Sekarang kita tinggal berharap pada Presiden Prabowo Subianto untuk bergerak cepat menyehatkan industri dan bisnis penerbangan nasional dalam program kerja 100 hari, seperti rencana beliau untuk menyehatkan Sritex. (omy)