Puncak Jaya di Papua Adalah Salah Satu Petunjuk Perubahan Iklim, Diperkirakan Punah Tahun Depan

  • Oleh : Redaksi

Sabtu, 05/Des/2020 07:05 WIB
Peneliti mengambil sampel es dari Puncak Jaya di Papua. (Foto: PT Freeport Indonesia) Peneliti mengambil sampel es dari Puncak Jaya di Papua. (Foto: PT Freeport Indonesia)

Papua (BeritaTrans.com) - Tahukah Anda jika Taman Nasional Lorentz di provinsi Papua adalah gletser tropis terakhir yang tersisa di kawasan Asia?

Beberapa orang menyebutnya Gletser Keabadian, meski belum tentu akan bisa bertahan lama.

Baca Juga:
Menteri LHK Ajak Generasi Muda Ikut Aktif Memitigasi Perubahan Iklim

"Bahkan sebagian orang Indonesia tidak tahu bahwa kita memiliki gletser," kata Donaldi Permana, peneliti senior di biro meteorologi Indonesia, BMKG.

"Es-nya sudah mencair sejak revolusi industri."

Baca Juga:
Menggugah Kesadaran tentang Perubahan Iklim Melalui Seni

"Puncak Jaya memang tidak ada es di puncaknya, tapi di sekitarnya ada beberapa lapisan es, yang dulunya satu gletser besar."

Gletser tropis adalah salah satu indikator perubahan iklim yang paling sensitif dan tinggal sedikit yang tersisa di dunia, selain di Papua, yakni di Amerika Selatan dan Afrika.

Baca Juga:
Kurangi Emisi untuk Tekan Krisis Ozon agar Bumi Tetap Layak Huni

Puncak Jaya adalah gunung tertinggi di Indonesia dan puncak tertinggi antara pegunugan Himalaya dan Andes.

Two people in cold weather gear stand on snow measuring a long shaft of ice.

Peneliti sedang melalukan pengeboran di kawasan gletser. (Foto: Yohanes Kaize)

 

Pada ketinggian 4.884 meter di atas permukaan laut, penurunan suhu dan hujan berubah menjadi salju, kemudian membentuk es dan memadat menjadi gletser.

Sebagai salah satu wilayah terbasah di bumi, hujan turun di kawasan Papua ini hampir 300 hari dalam setahun, tetapi suhu yang memanas membuat hujan tidak lagi berubah menjadi salju.

Gletser mencair dari atas dan bawah.

"Kami menyebutnya pelelehan basal, mencair dari dasar. Saat daerah yang lebih gelap di sekitar gletser membesar, gletser menyerap lebih banyak radiasi matahari, sehingga semakin hangat," kata Dr Donaldi kepada program Earshot dari ABC Radio National.

"Selain itu, tanah di mana gletser berada tidak datar, sehingga es dapat meluncur ke bawah lebih cepat."

Two satellite images of mountains, one from 1988 shows substantially more ice than in one from 2017.

Perbandingan gletser yang tersisa di Puncak Jaya, Papua dengan warna biru di tahun 1988 (kiri) dan 2017 (kanan).(Supplied: NASA Earth Observatory)

 

Proses mencairnya es yang cepat terlihat dari angka-angka berikut: pada tahun 1850 luas gletser mencapai 19,3 kilometer persegi, di tahun 1972 menjadi 7,3 kilometer persegi, tapi kemudian menyusut menjadi hanya 0,5 kilometer persegi di tahun 2018.

Para ilmuwan memperkirakan bahwa gletser akan benar-benar hilang pada tahun 2026, tapi terdapat kemungkinan besar ini akan terjadi di tahun 2021.

Ini mengandung petunjuk penting tentang perubahan iklim Bumi.

Melakukan ekstraksi gletser untuk mengetahui usianya

Gletser Papua adalah satu dari tiga gletser tropis yang tersisa di dunia.

Di pegunungan Andes di Peru dan beberapa gunung yang tersebar di benua Afrika, luasnya gletser tropis juga telah menyusut, tetapi karena Puncak Jaya adalah yang paling rendah dibandingkan glester tropis lainnya, maka kemungkinan akan menjadi yang pertama yang menghilang.

Gletser memiliki karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh lingkungannya.

Di Afrika dan Amerika Selatan terdapat musim kemarau, di mana debu dikumpulkan oleh hujan dan akhirnya berubah menjadi salju.

Jika Anda mengiris gletser seperti kue, Anda akan melihat lapisan debu yang terkumpul tahunan dan bisa dipakai untuk menghitung berapa usia gletser tersebut.

"Inti es Peru berumur sekitar 1.800 tahun. Dan di Afrika bisa kembali ke 11.000 tahun yang lalu. Tapi di Papua, karena selalu hujan, kita tidak bisa menghitungnya dengan mudah," kata Dr Donaldi.

Pada tahun 2010, Dr Donaldi menjadi bagian dari tim peneliti yang mengekstraksi inti es dari gletser Papua. Lapisan es sepanjang tiga puluh dua meter dibor sampai ke dasar.

"Tadinya kami pikir bisa menemukan fosil daun atau serangga untuk melakukan menghitung usianya. Tetapi kami hanya menemukan satu indikator waktu," kata Dr Donaldi.

"Pada kedalaman 24 meter, kami menemukan endapan tritium, yang terkait dengan uji coba nuklir yang dilakukan pada tahun 1964."

Pada tahun 1964, Uni Soviet dan China pernah melakukan serangkaian uji coba nuklir, menghujani Bumi dengan tritium dan meninggalkan jejaknya di permukaan es.

Apa yang ada saat ini di Puncak Jaya diperkirakan sisa-sisa gletser yang sudah ada kurang lebih 5.000 tahun, namun sudah banyak yang mencair.

"Pada kedalaman 32 meter, terkait dengan tahun 1920-an, jadi kita dapat mengatakan gletser itu berusia sekitar 90 tahun," kata Dr Donaldi.

"Tapi kemudian meleleh dari atas dan bawah sehingga sulit untuk mengetahui berapa usianya."

Teka-teki iklim lintas benua

Mengekstrasi inti es di Papua adalah menjadi bagian dari mencari jawaban soal perubahan iklim.

"Kita sudah punya inti es dari sebelah timur Samudera Pasifik. Inti Amerika Selatan diekstrak di tahun 1980, jadi kami ingin mencatat di sisi lain, dari sebelah barat, yaitu di Papua," kata Dr Donaldi.

"Kami ingin melihat bagaimana penampakan ENSO berdasarkan dari dua gletser tropis."

ENSO atau El Niño Southern Oscillation terjadi setiap dua hingga tujuh tahun sekali. Kejadian El Niño di tahun 2015/2016 telah membawa lebih banyak kepanasan dan kekeringan, yang dapat meningkatkan kemungkinan mencairnya es.

Ini adalah penemuan tim peneliti ketika membandingkan dua inti es dari Samudera Pasifik dan Amerika Selatan

Mereka juga menyimpulkan "pemanasan telah mmelewati ambang batas, sehingga bila El Niño yang sangat kuat terjadi lagi, hilangnya gletser tropis di antara Himalaya dan Andes akan terjadi".

Pakar iklim memprediksikan saat ini kita sedang menuju ancaman La Niña, yang secara khusus dicirikan oleh kondisi lebih basah di Indonesia, namun Dr Donaldi mengatakan dampaknya hanya akan bertahan sebentar.

"Perlu diingat untuk membangun gletser, kita bukan hanya butuh uap air, tapi juga suhu dingin. Dan kita tahu suhu meningkat setiap tahunnya," katanya.

"Kita mungkin punya salju selama beberapa hari, tapi untuk membangun gletser, kita butuh salju yang padat dan suhunya untuk tetap dingin selama paling tidak setahun."

Gletser lebih dari sekedar gletser

Pemanasan global turut mempengaruhi komunitas di belahan dunia manapun dengan cara yang berbeda-beda.

Di Afrika, beberapa puncak yang tertutup salju tidak akan lagi memberikan pendapatan untuk sektor pariwisata.

Di Peru, penyusutan gletser akan membuat warga terpaksa minum air dari hilir.

Sementara di Indonesia tidak akan ada kekurangan air.

Dampak dari mencairnya es tidak dapat diprediksi dengan jelas.

"Ada suku Papua setempat yang hidup di sekitar gletser ini dan percaya gletser tersebut adalah tempat suci," kata Dr Donaldi.

"Mereka percaya salju adalah dewa mereka. Menghilangkan es dari puncak gunung salju anggapannya seperti menghilangkan otak seorang dewa."

Tidak mengejutkan jika Dr Donaldi dan tim penelitinya menemukan beberapa perlawanan dari warga setempat ketika berupaya mengekstrak inti es dari gletser.

"Anak mudanya percaya sains perubahan iklim, namun yang lebih tua tidak," katanya.

"Inilah mengapa dinamakan Salju Abadi. Namun mereka akan kehilangan saljunya segera."

(lia/sumber:abc.net.au)