Polri Berencana Hilangkan Aturan Penindakan Tilang Manual di Jalan Raya: Polantas Hanya Mengatur Lalin, Pelanggar Ditangani Menggunakan ETLE

  • Oleh : Dirham

Selasa, 02/Feb/2021 11:53 WIB
Kamera CCTV ETLE perekam pelanggar Lalin. Kamera CCTV ETLE perekam pelanggar Lalin.

JAKARTA (BeritaTrans.com) - Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo berencana menghapus tilang manual di jalan raya. Nantinya, Polisi Lalu Lintas atau Polantas hanya akan mengatur arus kendaraan di jalan

Penindakkan terhadap pengendara yang melanggar akan dilakukan dan ditangani menggunakan sistem ETLE atau Electronic Traffic Law Enforcement.

Rencana itu diungkapkan Jenderal Listyo Sigit saat uji kepatutan dan kelayakan calon Kapolri di Komisi III DPR.

Dengan ETLE, dia yakin efektif membuat masyarakat tidak melanggar lalu lintas. Selain itu juga demi mengurangi pelanggaran prosedur dilakukan anggota polisi ketika menilang di jalan.

"Saya harap ke depannya anggota lalu lintas turun di lapangan untuk mengatur lalu lintas, tidak perlu menilang," kata Sigit pada Rabu, 20 Januari 2021 lalu.

ETLE sebenarnya bukan barang baru. Kecanggihan itu sudah diterapkan di sejumlah titik ruas jalan Ibu Kota DKI Jakarta sejak 1 November 2018 lalu.

Tercatat, ada ribuan pengendara yang sudah ditilang dengan sistem ETLE. Seperti dialami Rizki, warga DKI Jakarta. Dia pernah mendapat surat tilang pada 5 Desember 2020 dengan jenis pelanggaran tidak menggunakan sabuk pengaman. Tercatat, Rizki tepergok saat melintas di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan.

Surat tilang pada 5 Desember dan diberi waktu hingga 13 Desember untuk membayar denda. Kemudian di tanggal 8 Januari ia dijadwalkan mengikuti sidang. Setelah kena tilang dengan sistem ETLE, Rizki mengaku jera dan jadi lebih disiplin berlalu lintas.

"Jadi takut (kena tilang), saya sebagai warga Indonesia pasti takut denda kalau sistemnya. Jadi efeknya kena banget, dan kalau positif ini positif banget," ujar dia.

Sebenarnya sistem ini dirasa bagus. Rizki menyarankan perlu adanya edukasi dan sebaran informasi yang lebih luas lagi terkait teknis pelaksanaan ETLE tersebut. Salah satunya saksi jika telat membayar denda. Sebab hanya tertulis batas pembayaran sanksi.

Selama ini untuk cara pembayaran tilang elektronik di DKI Jakarta, petugas memakai nomor rekening virtual dari BRI, yaitu Briva. Di dalam surat juga ditunjukkan foto pelanggaran dan cara pembayaran.
Sayangnya, Rizki ketika itu telah membayar sanksi sehingga nomor rekening virtual Briva miliknya berubah. "Itu harus dikasih tahu apa yang harus dilakukan pelanggar nantinya untuk membayar sanksi," ujar dia..

Ribuan Pelanggar 'Tertangkap' Kamera ETLE

Kakorlantas Polri Irjen Istiono mengatakan siap mendukung program Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang berencana mengganti tilang manual ke elektronik.

Dalam mendukung program Percepatan ETLE Nasional, selain kamera canggih, pihaknya akan membuat regulasinya. Termasuk berkoordinasi dengan berbagai pihak. Mulai dari aplikasi hingga server untuk menunjang kinerja ETLE.

Istiono menegaskan program ETLE sangat efektif karena bisa memberikan supremasi hukum, city smart yang dapat meningkatkan PAD dan menuju tertib berlalu lintas.

Kemudian pihaknya akan meniadakan pertemuan langsung antara petugas dan pelanggar di lapangan. Sehingga mencegah terjadinya penyimpangan, apalagi di saat pandemi covid-19 dapat mengurangi penyebaran covid-19.
"Sistem ETLE ini berjalan dan berfungsi 24 jam nonstop dengan dukungan kecerdasan buatan," kata Istiono menegaskan.

Sementara itu, Kasubditdakgar Ditgakkum Korlantas Polri Kombes Abrianto Pardede mengatakan tercatat sudah 42.523 pengendara yang 'tertangkap' melanggar aturan lalu lintas oleh kamera ETLE.

Puluhan pelanggar tersebar di tiga wilayah hukum yakni, Polda Metro Jaya, Polda Jawa Timur (Jatim) dan Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) kurun waktu 2019 hingga awal 2021. Dengan rincian sebagai berikut:

Abrianto mengakui memang baru tiga wilayah hukum tersebut yang sudah diterapkan sistem ETLE. Padahal, saat ini kamera ETLE sudah dipasang di lima wilayah hukum Kepolisian Daerah (Polda).

"Betul ada 5 Polda yang sudah terpasang (kamera ETLE). Namun, yang operasional 3 Polda, yang sudah ada tapi masih ada sedikit kendala 2 Polda yaitu Jateng dan Jabar. Ini lagi digarap untuk cepat," jelasnya.

ETLE berbeda dengan E-Tilang.

Jika ETLE merupakan teknologi kamera pintar yang bisa menangkap pelanggaran yang terjadi, maka E-Tilang merupakan sistem yang dimiliki oleh setiap petugas kepolisian untuk mencegah praktik pungli dalam mempermudah pembayaran tilang.

Setiap petugas kepolisian di lapangan memiliki aplikasi E-Tilang di ponselnya masing-masing. Setiap pelanggaran yang terjadi akan dicatat melalui aplikasi tersebut. Melalui aplikasi tersebut, nantinya pelanggar akan menerima kode untuk membayar denda tilang beserta besarannya.

Penerapan sistem ETLE juga bukanlah barang baru. Di sejumlah negara maju, sebutlah Amerika Serikat, Singapura maupun Australia sudah memberlakukan sistem serupa. Jarang ditemui petugas Kepolisian yang melakukan tilang manual maupun menggelar razia pengendara di jalan. Seperti di Missouri, negara bagian di Midwestern Amerika Serikat yang pengendaranya sudah sangat disiplin berlalu lintas.

Hal itu diungkapkan Ravendio, pemuda berkewarganegaraan Indonesia yang sudah dua tahun bermukim di Kota Springfield, Missouri, Amerika Serikat. Dio, panggilannya, sudah mengantongi driving license jenis personal vehicle. "Aku punya personal vehicle. Personal vehicle ini dibagi jadi dua, motor sama mobil. Aku ambil yang mobil," ujarnya membuka obrolan.

Ia menceritakan sistem penilangan elektronik sudah lama diberlakukan di Negeri Paman Sam. Pun, ia jarang mendapati polisi lalu lintas yang melakukan tilang secara langsung atau tilang manual. "Kalau di sini untuk penilangan elektronik digunakan untuk pelanggaran rambu lalu lintas stop sign (nerebos lampu merah), tapi kalau polisi menindak secara langsung itu jarang," katanya.

Di sana, kata Dio, polisi hanya menindak secara langsung saat melihat ada gelagat pengendara yang mencurigakan atau berhenti secara tiba-tiba.

"Di sini kalau polisi lagi patroli itu biasanya ada di belakang kita karena diwajibkan plat nomor itu ada di di belakang. Nah kalau misalkan polisi itu lagi dibelakang kita, kadang suka ngecek misalkan si pengadara ada record kejahatan segala macem gitu. Jadi setelah dicek lewat plat nomornya itu baru di setopin nanti," ujarnya.

Dio sendiri mengaku pernah kena tilang namun, tidak sampai dapat sanksi. Ketika itu dia ingin berbelok dan memberi tanda lampu. Lantaran jarak terlalu dekat, dia kemudian diminta hentikan laju kendaraan. Ini dikarenaka kepolisian di sana mencurigai seseorang yang belok mendadak, terlalu pelan membawa kendaraan dan melewati batas kecepatan. speed limit itu kita bisa disetopin kalau lagi apesnya sih," dia menceritakan.

Sementara itu di Canberra, Australia juga sudah diterapkan sistem ETLE. Menurut Dodi, WNI yang bekerja di Kedutaan Besar Indonesia untuk Australia mengaku pernah kena tilang saat berkendara. "Pelanggarannya saya speeding sekitar 10km/jam lebih cepat di sekitar school zone (yang seharusnya) 40km/jam," ujar Dodi.

Sistem penilangannya pun mirip dengan ETLE. Prosesnya kala itu, kata Dodi, surat tilang fisik dikirm ke KBRI dan dialamatkan atas nama dirinya. Selain itu juga dikirim via email dan bisa juga diakses lewat situs.

Kemudian di Singapur, hampir tidak pernah ditemui petugas kepolisian yang berjaga di jalan raya. Seperti diungkapkan Agus, seorang WNI yang sudah sejak 2010 bermukim di Kota Singa tersebut. Polisi di Singapura, kata Agus, memantau pengendara sudah melalui CCTV.

"Cuma ya di sini mereka itu sudah terlihat bila ada pelanggaran itu terpantau lewat CCTV ya, misal parkir sembarangan, tidak makai safety belt, terobos lampu merah. Jadi bisa keliatan cctv itu," katanya. Bila ditemukan pelanggaran lalu lintas, warga Singapura biasanya tinggal menunggu surat tilang dari Polisi.

Agus menceritakan prosedur penilangan di sana diawali dengan peringatan yang kemudian akan dikurangi point pengendara jika melanggar. Jika poin suda lewat batas makan surat izin pengendara (SIM) dipastikan dicabut.

Sedangkan di Jepang, mereka lebih selektif memilih warganya untuk bisa mengantongi SIM. Biaya pembuatan SIM bisa mencapai 300.000 Yen atau sekitar Rp40 juta. Besaran angka itu diungkap Fisda, salah satu WNI yang bermukim di Shizuoka, Jepang. "Mahal banget kan. Harus nabung dulu baru bisa bikin SIM. Saya juga kaget waktu awal-awal," tuturnya.

Meski begitu, Fisda mau tidak mau harus mengantongi SIM karena daerah tempat dia tinggal termasuk jauh dari ibu kota. Harus diakui sulit mengantongi SIM di Negeri Sakura itu. "Kalau enggak lulus ujian, ulang lagi ujiannya. Dan ada bayarannya. Trus kalau kursus 6 bulan tapi enggak lulus, mesti ulang dari nol lagi," kata dia mengungkapkan. (ds/sumber Merdeka.com)