Maya Ghazal, Pengungsi Perempuan Suriah Pertama yang Jadi Pilot

  • Oleh : Redaksi

Selasa, 09/Mar/2021 14:58 WIB
Maya Ghazal, pengungsi Suriah perempuan pertama yang menjadi pilot. Maya Ghazal, pengungsi Suriah perempuan pertama yang menjadi pilot.

Jakarta (BeritaTrans.com) - Maya Ghaza. Profilnya diulas dalam sebuah utas yang diunggah akun Twitter UN Refugee Agency, @refugees, pada Senin (8/3/2021), bertepatan dengan peringatan Hari Perempuan Internasional atau International Women's Day.

Siapa Maya Ghazal? Maya adalah satu di antara jutaan pengunngsi .

Baca Juga:
Menyedihkan, Putroe Sambinoe Meutuah, Kisah Pilot Perempuan Aceh Sering Dinomorduakan

Dari tahun ke tahun, jumlah pengungsi secara global terus mengalami peningkatan. Bahkan 2019 menjadi tahun dengan jumlah pengungsi tertinggi sejak penghitungan statistika dimulai.

Baca Juga:
Mengharukan, Pilot Wanita 84 Tahun Terbangkan Pesawat untuk Terakhir Kalinya

Tercatat, ada sekitar 79,5 juta pengungsi di seluruh dunia atau 1 pengungsi dari setiap 97 penduduk bumi pada akhir 2019.

Suriah masih menjadi negara dengan jumlah pengungsi terbanyak (6,6 juta) sejak perang meletus pada 2011.

Baca Juga:
Kisah Calon Pilot Militer Perempuan Afghanistan: Mengungsi dan Mulai Hidup Baru di Australia

Status sebagai seorang pengungsi tak menyurutkan semangat Maya Ghazal dalam meraih kesuksesan.

Maya Ghazal yang kini tinggal di Inggris merupakan pengungsi perempuan Suriah pertama yang menjadi pilot.

Tak hanya itu, Maya juga ditunjuk sebagai Goodwill Ambassador untuk Badan pengungsi PBB UNHCR 2021 setelah komitmennya dalam memberikan dukungan selama 4 tahun.

Ingin menjadi diplomat

Kala tumbuh di Damaskus dan menjalani pendidikannya sebagai seorang siswi, Maya memiliki keinginan menjadi seorang diplomat.

Namun, perang saudara di Suriah sejak 2011 mengubah segalanya.

"Itu adalah situasi ketika kebutuhan dasar hidup jauh lebih mahal dan tidak bisa diakses untuk semua orang," kata Maya dalam wawancara dengan UNHCR.

Bersama keluarganya, Maya pergi dari Damaskus pada 2015 dan memulai hidup baru di Inggris di bawah skema reunifikasi keluarga.

Saat itu, usianya baru 16 tahun.

Ketika pertama kali tiba di Inggris, dia berjuang dengan kendala bahasa dan merasa sulit untuk mendapatkan tempat di sekolah.

"Saya pikir mereka akan memandang rendah saya sebagai seseorang yang tidak berpendidikan, tidak terampil, tidak layak untuk bersekolah," jelas dia, dikutip dari World Economic Forum, 19 Desember 2019.

Akan tetapi, ia kemudian belajar bahwa pendidikan adalah hak.

Suatu hari, dia melihat pesawat lepas landas dan mendarat di Heathrow bersama ibunya, dan menyadari dia ingin belajar terbang.

"Saya selalu hanya mengamati pesawat dan saya terpesona oleh mesin-mesin besar itu," ujar Maya.

Berkat kerja kerasnya, ia bisa mengenyam pendidikan di Teknik Penerbangan dan Pilot di salah universitas di London.

Pada 2019, ia melakukan penerbangan solo pertamanya. Tak lama setelah itu, Maya sukses mendapatkan lisensi penerbangan pada usia 21 tahun.

Melalui berbagi kisah inspiratifnyai, Maya mendukung inklusi pengungsi, akses pendidikan dan peluang kerja, dan melawan stereotip negatif tentang pengungsi.

"Saya pikir, penting bagi para pengungsi untuk mendapatkan edukasi. Tanpa kesempatan itu, mereka tidak akan memiliki harapan untuk masa depan," kata Maya.

"Kita bisa hidup, bermimpi, dan sukses sama seperti semua orang. Perbedaan kami dengan kebanyakan orang hanya satu, yaitu kami kehilangan rumah," ujar Maya.

(sumber:kompas.com)