Bangga, Wilayah Terjauh Indonesia Lebih Cepat Terakses Internet

  • Oleh : Naomy

Jum'at, 04/Jun/2021 15:52 WIB
Salah satu BTS di salah satu wilayah Indonesia Salah satu BTS di salah satu wilayah Indonesia


JAKARTA (BeritaTrans.com/ Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencatat, 15% atau 20 ribu dari total 83 ribu desa di Indonesia belum mendapat akses internet yang layak. 

Kementerian pun menyiapkan satelit Satria dan jaringan internet generasi kelima (5G). 

Baca Juga:
Menkominfo Pastikan pada KTT ke-42 ASEAN Akses Internet Optimal

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (Ditjen PPI) Kementerian Kominfo, ada 12.548 desa yang belum memiliki akses layanan 4G. 

Sebanyak 9.113 di antaranya berada di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Kementerian menargetkan, layanan 4G hadir di 20 ribu desa tersebut.

Baca Juga:
Diskominfostandi Kota Bekasi Sosialisasi SP4N-LAPOR di Kecamatan Bekasi Barat

Setidaknya, pada awal 2023 semuanya bisa menggunakan internet layak. 

Untuk mewujudkan hal itu bukan tanpa tantangan. Kementerian baru memproses pembangunan infrastruktur jaringan di 1.100 dari 9.113 desa di wilayah 3T. 

Baca Juga:
Komisi 1 DPRD Provinsi Banten Kunjungi Diskominfostandi Terkait Wifi Publik di Kota Bekasi

Pembangunannya ditarget selesai tahun ini. Sedangkan 65% atau sekitar 7.904 lainnya berada di provinsi Papua dan Papua Barat. 

Geografi di wilayah ini menurut Direktur Utama BAKTI Kominfo, Anang Ahmad Latief, menjadi  tantangan utama, karena berupa gunung dan beberapa lokasi belum tersedia listrik. Oleh karena itu, Kementerian membangun satelit Satria yang ditargetkan meluncur pada 2023. 

"Proyek ini membutuhkan dana Rp6,4 triliun. Harapannya, di kuartal ketiga tahun ini bisa selesai proses pembiayaannya," ujar Anang. 

Saat ini, baru dua bank asing yang terlibat dalam pendanaan proyek Satria. Mereka yakni Banque publique d'investissement (BPI) dari Prancis dan Asia Infrastructure Investment Bank (AIIB) asal Tiongkok. Selain itu, pemerintah telah memilih mitra pabrikan untuk peluncuran satelit tersebut yakni SpaceX. 

Ini merupakan perusahaan transportasi luar angkasa milik Elon Musk.

Untuk meningkatkan kualitas jaringan, Kominfo juga menyiapkan aturan terkait 5G. Saat ini, kementerian masih mengkaji frekuensi yang cocok untuk jaringan internet generasi terbaru itu. 

Namun, Direktur Jenderal (Dirjen) Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kominfo Ismail mengatakan, frekuensi low layer dan middle layer masih digunakan oleh operator lain. 

Low layer memiliki tiga frekuensi yaitu 700, 800, dan 900. Sedangkan middle layer yakni 1800, 2100, dan 2300. Misalnya, di bandwidth 700 digunakan oleh broadcasting operator untuk saluran televisi. 

“Maka dilakukan proses Analog Switch Off.” Namun, regulasi yang mengatur tentang Analog Switch Off  justru diundur pembahasannya oleh DPR. Aturan yang dimaksud yakni Undang-undang (UU) Penyiaran. 
Kominfo mempercepat pembangunan infrastruktur digital di seluruh desa dari 2021 menjadi 2022 imbas pandemi Covid-19.

Menteri Kominfo Johnny G Plate mengatakan, percepatan pembangunan akses internet di wilayah blank spot tersebut didukung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan berdasarkan keputusan politik yang kuat. 

Kementerian pun mengandalkan dana campuran atau blended financing untuk membangun.
Dengan begitu, pembangunannya lebih cepat 10 tahun.

Adapun yang dibangun oleh kementerian yakni infrastruktur di 9.113 desa, karena masuk daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal (3T). 

Sedangkan sisanya di luar 3T sehingga menjadi kewajiban operator seluler. Pemerintah berharap mereka berkomitmen secara simultan untuk menghadirkan sinyal selambat-lambatnya pada 2022
Kementerian menyiapkan strategi dari hulu ke hilir untuk mempercepat ketersediaan akses internet di 9.113 desa.

Dari hulu, Kominfo mengandalkan sembilan satelit telekomunikasi. Lima di antaranya milik negara dan empat lainnya disewa.

Selain itu, kementerian akan mengorbitkan satelit multifungsi yakni Satria berkapasitas 150 gigabyte per second (gbps) di 146 bujur timur slot orbit. 

Dia berharap satelit ini meluncur pada kuartal akhir 2023. Kominfo telah menunjuk PT Satelit Nusantara Tiga (SNT) sebagai pelaksana pembangunan. 

Pabrikasi satelit dari perusahaan asal Prancis, Thales Alenia Space juga dimulai.
Selain itu, dua institusi keuangan yakni Banque publique d'investissement (BPI) dari Prancis dan Asia Infrastructure Investment Bank (AIIB) asal Tiongkok telah memberikan persetujuan pembiayaan. 

"Investasinya disebut-sebut US$ 500 juta atau setara 8,1 triliun," katanya.

Dengan adanya satelit Satria pada 2023, Johnny mengklaim akan ada 93.900 sekolah yang mendapatkan akses internet. 

Selain itu, digunakan untuk pelayanan pemerintah, baik pemerintahan desa, dan kebutuhan kemasyarakatan lainnya.

Dari sisi hilir, kementerian membangun 348 ribu kilometer fiber optik backbone broadband 226 ribu kilometer di darat dan 123 ribu kilometer di laut.

BAKTI Kominfo juga sudah menyelesaikan akses internet di sekitar 3.126 dari total 13.011 fasilitas layanan kesehatan pada akhir 2020.

Ini juga akan mengandalkan satelit.
Awal 2021 seluruh puskesmas dan rumah sakit di Indonesia sudah bisa terakses WiFi, sehingga telemedicine bisa dilakukan dengan baik. 
Percepatan dilakukan pandemi Covid-19 memaksa masyarakat di banyak negara untuk membatasi aktivitas di luar rumah.

Alhasil, internet menjadi semakin dibutuhkan.
Untuk pendidikan misalnya, pelajar diiimbau belajar dari rumah guna meminimalkan risiko penularan virus corona. 

Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan, 68,73 juta siswa yang belajar dari rumah.
Sebanyak 41,6% di antaranya merupakan pelajar tingkat sekolah dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah/sederajat. Lalu 19% merupakan siswa tingkat sekolah menengah pertama (SMP)/MTs/sederaja. Sekitar 6% lainnya yakni pengajar. 

Namun, akses internet di Indonesia masih timpang. Berdasarkan data indeks internet inklusif (Inclusive Internet Index) dari Economist Intelligence Unit, cakupan pengguna Internet di Tanah Air sebenarnya cukup luas. 

Sektor rumah tangga pengguna internet Indonesia mencapai 66,2%.

Angka tersebut melebihi rata-rata negara di Asia yang hanya 59,7%. Sekitar 93% dari 267 juta penduduk juga sudah mengakses layanan 4G.

Namun kecepatan internet di Indonesia hanya 14,4 Kbps, jauh di bawah rata-rata negara Asia 30,9 Kbps. Kecepatan mengunggah data juga hanya 10,9 Kbps, sementara rata-rata Asia 12,9 Kbps.

Oleh karena itu, kementerian mempercepat pembangunan infrastruktur digital di seluruh desa. Namun, ada tiga tantangan dalam membangun infrastruktur di daerah 3T. 

Pertama, kondisi geografis yang cukup menantang, karena didominasi pegunungan dan terbatasnya akses transportasi.

Selain itu, sebagian wilayah belum mendapat pasokan listrik. Untuk membangun infrastruktur internet di pegunungan Papua,  butuh satu pesawat helikopter bolak-balik untuk memasang menara.

Kedua, biaya mahal. Beban modal untuk membangun sarana internet per lokasi di 3T 1,3 kali lebih tinggi dibandingkan daerah lain. Biaya operasional juga dua kali lebih besar.

Membangun akses internet di daerah terpencil upayanya ekstra dibandingkan wilayah lain. 

Terakhir, pendapatan yang dihasilkan oleh perusahaan telekomunikasi 10 kali lebih rendah dibandingkan non-3T. Penghasilannya di bawah rata-rata, setiap membangun infrastruktur di wilayah ini. 

Ambisi pemerintah mempercepat perluasan dan peningkatan infrastruktur telekomunikasi patut diapresiasi, utamanya di tengah pandemi covid-19. Walau banyak rintangan buat mewujudkan jaringan internet hingga pelosok dengan kecepatan yang memadai.

Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) mengatakan, investasi BTS dan pembangunan menara antena di daerah yang infrastrukturnya telah tersedia menelan dana minimal Rp1 miliar. Dana melonjak hingga tiga kali lipat jika di daerah terpencil (daerah USO) yang memiliki geografis menantang. 

Dana yang dibutuhkan untuk investasi awal BTS di 12.500 desa minimal Rp40 triliun. Dalam kondisi real di lapangan, jumlah yang diperlukan bisa saja membengkak.
Untuk menikmati layanan broadband, minimal bandwidth yang dibutuhkan untuk transmisi mencapai 6 Mbps. 

Setiap mega bandwidth melalui satelit dibutuhkan biaya Rp30 juta. Jadi minimal biaya transmisi satelit yang harus dikeluarkan di daerah terpencil mencapai Rp180 juta.
Biaya operasional berupa sewa bandwidth, BBM, dan maintenance tersebut jika diperkirakan bisa lebih dari Rp 250 juta per bulan. 

Padahal pendapatan per BTS di daerah USO hanya Rp7 juta hingga Rp15 juta perbulan.
Pemerintah harus mengalokasikan dana untuk operasional BTS USO lebih dari Rp3 triliun perbulan untuk memenuhi layanan broadband di 12.500 desa. (Naomy Chandra Sari)