Dengan Pesawat CN 235, PTDI Berhasil Uji Coba Terbangi Bandung-Jakarta Gunakan Campuran Bahan Bakar Nabati

  • Oleh : Naomy

Rabu, 06/Okt/2021 16:27 WIB
Pesawat PT DI Pesawat PT DI

TANGERANG (BeritaTrans.com) - Salah satu strategi yang didorong Pemerintah untuk percepatan implementasi energi baru terbarukan (EBT) demi pencapaian target bauran energi EBT 23% di 2025 dan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) yaitu melakukan substitusi energi primer dan final dengan teknologi eksisting.

Setelah sukses dengan program  Mandatori B30  untuk sektor  transportasi darat, saat ini  pemanfaatan  bahan  bakar  nabati telah berhasil diuji coba untuk sektor transportasi udara. 

Baca Juga:
Garuda Luncurkan Livery Tematik The Beauty Of Kembara Angkasa di Pesawat A330-900 Neo

“Hari ini sejarah telah tercipta, berkat dukungan dan kerja sama seluruh  stakeholder yang  terlibat, penerbangan perdana menggunakan bahan bakar nabati, campuran Bioavtur 2,4% yang  telah dinanti Bangsa Indonesia, akhirnya terlaksana menempuh jarak Bandung - Jakarta menggunakan pesawat CN235”, ungkap Menteri Energi dan  Sumber  Daya Mineral, Arifin Tasrif.

Hal itu pada  kegiatan Seremoni Keberhasilan  Uji Terbang Pesawat CN235-220 FTB (Flying Test Bed)  milik  PT  Dirgantara Indonesia, menggunakan campuran bahan bakar bioavtur di  Hanggar  2 PT Garuda Maintenance Facility  Aero Asia Tbk (GMF) Tangerang, Rabu (6/10/2021).

Baca Juga:
Kisah PT DI Rumahkan 12.000 Karyawannya di Balik Kesuksesan Pesawat CN235

Perjalanan panjang telah dilalui untuk sampai di tahap keberhasilan uji terbang. Dimulai melalui sinergi penelitian antara Pertamina Research & Technology Innovation  (Pertamina RTI) dan  Pusat Rekayasa Katalisis Institut Teknologi Bandung (PRK-ITB) dalam pengembangan katalis “MerahPutih”   untuk mengkonversi  minyaki nti sawit menjadi bahan baku bioavtur pada tahun 2012. 

Selanjutnya kerja sama diperluas bersama PT KPI (Kilang Pertamina Internasional) untuk melakukan uji produksi co-processing skala industri di Refinery Unit (RU) IV Cilacap untuk mengolah campuran RBDPKO (Refined, Bleached, and Deodorized Palm Kernel Oil) dan kerosin menggunakan katalis merah putih, sebagai salah satu inovasi karya terbaik anak bangsa.

Baca Juga:
PT DI Siapkan Wisata Edukasi Dirgantara di Bandung

Pada pengujian ini telah berhasil diproduksi bioavtur 2,4 %-v yang disebut dengan J2.4. 

Selanjutnya serangkaian uji teknis dilakukan, hingga pelaksanaan uji  terbang dari 8 September hingga 6 Oktober  2021  termasuk pengujian In-flight Engine Restarting. 

Keberhasilan  ini akan menjadi tahap awal dalam peningkatan kontribusi bioavtur di sektor transportasi udara dalam rangka  meningkatkan ketahanan dan  kemandirian energi nasional. 

Kegiatan ini  termasuk  dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) Hilirisasi Industri Katalis dan Bahan Bakar Biohidrokarbon yang dikoordinasikan Kementerian ESDM, serta termasuk dalam  etalase PrioritasRiset Nasional (PRN) Pengembangan Teknologi Produksi Bahan Bakar Nabati berbasis Minyak Sawit dan Inti Sawit, yang dikoordinasikan oleh Badan Riset & Inovasi Nasional  (BRIN). 

“Semua keberhasilan ini dimulai dari ambisi, kepercayaan diri dan keinginan untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara, tentunya kita tidak akan berhenti dan berpuas diri di tahapan ini, penelitian dan pengembangan akan terus dilakukan untuk nantinya dapat menghasilkan produk J100 dan penggunaan bioavtur dilakukan pada seluruh maskapai Indonesia, dan bahkan mancanegara," kata Arifin.

Dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 tahun 2015 telah mengatur kewajiban  pencampuran bahan bakar nabati dalam bahan bakar jenis avtur dengan persentase sebesar 3% pada tahun 2020, dan pada tahun 2025 akan meningkat menjadi bioavtur 5%.

Menteri Arifin mengharapkan dukungan  semua pihak dalam tahapan-tahapan  uji berikutnya, termasuk penyusunan roadmap untuk komersialisasi.

Menurutnya, industri aviation biofuel dapat terwujud apabila ada sinergi positif antara Pemerintah sebagai regulator, lembaga-lembaga penelitian, produsen bioavtur, dan para  pengguna aviation biofuel yaitu pihak operator  penerbangan.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto yang hadir secara virtual,  menyampaikan bahwa konsep triple helix yang merupakan kolaborasi antara Perguruan Tinggi, industri dan Pemerintah telah dilaksanakan secara baik dalam kegiatan uji terbang menggunakan bioavtur.

Dengan begitu ke depan, momentum ini menjadi salah satu upaya dalam mewujudkan Indonesia sebagai negara yang berbasis riset dan inovasi.

Keberhasilan uji terbang bioavtur ini telah memberikan kepercayaan tinggi terhadap kemampuan kita dalam memanfaatkan sumber daya domestik, khususnya minyak sawit, untuk dimanfaatkan sebagai upaya membangun kemandirian energi nasional.

"Oleh karenanya, hal ini akan berdampak pada pengurangan ketergantungan energi dari impor, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi," ujar Airlangga. 

Menurutnya, agar hal ini dapat terealisasikan, keekonomian Bioavtur J2.4 harus terpenuhi dengan memanfaatkan segala fasilitas yang telah diberikan oleh Pemerintah, baik terkait perpajakan seperti super tax deduction untuk riset maupun insentif non fiskal.

Dengan perkiraan konsumsi avtur harian sekitar 14 ribu KL,  maka potensi pasar bioavtur J2.4 akan mencapai sekitar  Rp1,1 triliun per tahunnya.

Tentunya akan menjadi pangsa pasar yang besar bagi pengembangan industri sawit nasional. 

Mengacu kepada Paris Agreement, sektor aviasi termasukke dalam top ten global CO2 emitter, di mana diperkirakan emisi dari sektor ini akan meningkat tajam di pertengahan abad.

Emisi CO2 dari sektor penerbangan diperkirakan menyumbang sebesar 2,1% dari kontribusi global.

Sektor penerbangan internasional di bawah naungan International Civil Aviation Organization (ICAO) telah mengeluarkan target aspirasional yaitu efisiensi bahan bakar sebesar2% per tahun hingga 2050 dan mencapai Carbon Neutral Growth dari tahun 2020. 

Direktur Jenderal Perhubungan Udara, Novie Rianto sangat  mengapresiasi pencapaian pengembangan bahan bakar alternatif untuk pesawat udara.

Hal ini sejalan dengan roadmap Direktorat Jenderal Perhubungan Udara yang mendorong penggunaan bahan bakar alternatif untuk pesawat udara. 

“Penggunaan bahan bakar nabati untuk pesawat merupakan wujud upaya menurunkan emisi  karbon di sektor penerbangan, sesuai kebijakan yang dikeluarkan ICAO," kata Dirjen Novie. 

Direktur Utama GMF, Andi Fahrurrozi  menerangkan bahwa dalam prosesnya, GMF  senantiasa mematuhi  manual  yang diterbitkan oleh  manufaktur mesin  pesawat. 

Prosedur khusus juga dijalankan  agar  avtur jet A1  dan bioavtur  J2 .4  tidak bercampur ketika melakukan testing,  sehingga memberikan hasil yang representatif dan akurat.

“Hasilnya, performansi keduanya sangat dekat. Tidak ada perbedaan yang signifikan, sehingga bioavtur J2.4 diputuskan layak untuk menjalani tahapan uji non-statis ke pesawat CN235-220," tutur Andi. (omy)