Kisah Mustafa Pawang Orang Utan Penyandang Tuli Wicara dari Aceh Singkil

  • Oleh : Redaksi

Jum'at, 08/Okt/2021 00:06 WIB
Mustafa, 33 tahun, pawang tuna wicara dari Aceh Singkil. Mustafa, 33 tahun, pawang tuna wicara dari Aceh Singkil.

Mustafa adalah penyandang tuli wicara. Tapi setiap kali menelusuri sungai di Rawa Singkil dengan perahu, matanya tajam mengawasi sekitarnya, mencari tanda kehadiran orang utan liar yang menghuni hutan gambut itu. 

Jalan menuju Desa Rantau Gedang, Kabupaten Aceh Singkil, masih belum diaspal. Jika hujan turun, banjir kerap kali menerjang. 

Baca Juga:
Demi Mata Air, Bukan Air Mata` Perempuan Penjaga `Hutan Adat Satu-satunya di Yogyakarta`, Melestarikan Hutan`

Untuk mencapai desa ini, butuh waktu 16 jam perjalanan darat dari Kota Banda Aceh, melalui pegunungan dan perbukitan. 

Kabupaten Aceh Singkil sendiri berada di ujung barat Provinsi Aceh, tepat berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. 

Baca Juga:
Hili Warga yang Berhasil Lepaskan Kalung Ban di Buaya Penghuni Sungai Palu, Cuma Pakai Alat Ini!

Warga desa ini menyebut diri mereka sebagai 'Manusia Rawa', suku asli Singkil yang konon sudah mendiami wilayah tersebut sejak sebelum Indonesia merdeka. Kebanyakan menggantungkan hidup dari pendapatan menjaring lele di Rawa Singkil. 

Mustafa, sang pawang orang utan liar dapat ditemui di Desa Rantau Gedang. 

Baca Juga:
Menilik Kembali Komitmen Restorasi Lahan Gambut

Berambut panjang dengan wajah ditutupi kumis dan berewok, Mustafa memperkenalkan diri. 

Dia mengeja namanya dengan memperagakan huruf demi huruf di telapak tangannya." Saya Mustafa," ujarnya. 

Sejenak kemudian, dia membuat gerakan seperti orang utan. 

"Di ujung jalan sana ada orang utan, mereka besar dan suka mematahkan ranting pohon untuk mengambil makanan," kata Muriadi, kakak kandung Mustafa, menerjemahkan gerakan tubuh adiknya. 

Setiap hari, Mustafa melakukan patroli mandiri di  kawasan hutan Rawa Singkil untuk menengok dan mengawasi orang utan liar yang tinggal di sana.

Mustafa menjadi pemandu wisata untuk turis maupun pegiat konservasi. 

Jika ada turis berkunjung, Mustafa akan memandu para wisatawan masuk ke Rawa Singkil. Muriadi, yang sehari-hari bekerja sebagai nelayan, biasanya mendampingi untuk menjadi penerjemah Mustafa. 

Dengan menyusuri sungai menggunakan perahu motor perjalanan menjelajahi Rawa Singkil dimulai. 

Kawasan Rawa Singkil adalah salah satu wilayah dengan populasi orang utan terpadat di Sumatera. 

Baru lima menit perahu berjalan, Mustafa menengok ke arah kiri lalu berteriak. 

"Ha! Ha! Ha!" 

Mustafa segera menepikan perahu lalu meloncat ke daratan. Dia berjalan bolak-balik sambil berteriak dan menunjuk-nunjuk. 

"Tadi di situ dia melihat ada orang utan, tapi cuma sebentar dan [orang utan itu] pergi menjauh," Muriadi menjelaskan maksud tingkah Mustafa. 

Perjalanan pun dilanjutkan kembali. 

Suaka Margasatwa Rawa Singkil terbentang seluas nyaris 82 ribu hektar. Hutan rawa gambut ini juga menjadi bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser. 

Selain Suaq Balimbing yang ada di Taman Nasional Gunung Leuser, Rawa Singkil tercatat sebagai wilayah populasi padat orang utan sumatra di Aceh. 

Mustafa, yang kini berusia 33 tahun, dijuluki 'pawang orang utan' karena kemampuannya untuk memanggil orang utan liar, layaknya teman.

Kemampuan Mustafa memanggil orang utan membuat dia dikenal sebagai pawang orang utan liar Rawa Singkil. 

Namun setelah tiga jam menyusuri sungai dengan perahu motor ini, belum satu pun orang utan menghampiri. 

Perahu membelah sungai yang airnya semula kekuningan, menjadi berwarna hitam. Pepohonan menjulang, menutupi sisi kiri dan kanan sampan. 

Lutung, monyet, burung enggang, burung kuntul, hingga kerbau mewarnai perjalanan ini — tapi tidak ada orang utan. 

Sementara itu, sambil memegang kendali perahu, mata Mustafa masih tajam mengawasi sekelilingnya. 

Sesekali dia berhenti saat Muriadi yang ada di ujung perahu memberi tanda silang dengan tangannya. 

"Pohon itu ada buahnya. Biasanya ada orang utan yang datang mencari makan ke sini," jelas Mustafa. Wajahnya mulai tampak lesu. 

"Sejak itu dia jadi sayang dengan orang utan. Orang utan pun sayang sama dia," kata Muriadi, kakak Mustafa, tentang adiknya.

Kakak-beradik itu kemudian sepakat untuk mencari tempat teduh di bagian lain rawa. 

"Kita ke arah sana, di sana ada pondok pencari lele. Kita istirahat dulu, makan siang. Biar Mustafa yang masuk sendiri ke dalam hutan untuk memanggil orang utan," kata Muriadi. 

Mustafa membalikkan arah perahu dengan tak bersemangat, namun matanya tetap tajam menyapu pandangan ke arah pepohonan. 

Bertemu empat orang utan 

Orang utan terlihat berada di atas pohon. "Dia takut, karena kita ramai, dikira mau ambil bayinya," kata Mustafa. 

Baru sebentar berpindah tempat, sekelebat bayangan terlihat di antara dua batang pohon. 

Raut wajah Mustafa seketika kembali bersemangat. Dia berteriak dan mengayunkan tangan, memberi isyarat kepada orang utan itu supaya mendekat. 

"Itu induk orang utan. Dia takut, makanya tidak mau mendekat karena sedang menggendong dua bayinya," Mustafa menjelaskan dengan bahasa isyarat. 

"Karena kita ramai, dikira mau ambil bayi dia. Makanya dia pindah ke pohon lain," lanjutnya. 

"Sampai rambut memutih, saya akan tetap mencintai orang utan dan akan bolak-balik ke hutan untuk melihat kondisi mereka.”Mustafa 

Menurut Muriadi, biasanya orang utan akan datang mendekat ketika Mustafa memanggil. Namun karena sekarang marak terjadi pengambilan anak orang utan oleh pemburu, primata itu mungkin merasa takut. 

"Dulu, Si Mus sering datang membawa makanan seperti tebu dan lainnya. Kalau dua sudah datang, orang utan pasti merapat ke dia," ujar Muriadi. 

"Itulah uniknya Si Mus. Mungkin kalau kita yang teriak, orang utan malah kabur." 

Sebagai penyandang disabilitas tuli wicara, Mustafa hanya mengenyam pendidikan hingga kelas enam sekolah dasar. 

Itu pun asal naik kelas, kata Muriadi, mengikuti teman-temannya yang naik kelas. 

Mustafa juga tidak pernah belajar bahasa isyarat secara formal, maka komunikasi dengan keluarga pun dilakukannya dengan bahasa isyarat seadanya.


Tapi keterbatasan ini kemudian menjadi kelebihan tersendiri bagi Mustafa. Sejak dia mulai masuk ke hutan pada 2015, ada sembilan orang utan yang dekat dengannya. 

"Mulanya dia coba teriakin dan coba mendekat. Orang utan itu pun suka dengan dia. Beberapa hari kemudian dia bawa makanan, seperti tebu," lanjut Muriadi. 

"Sembilan orang utan akan datang kalau saya ke sini membawa makanan," kata Mustafa, menambahkan bahwa sekarang membawa makanan untuk orang utan dilarang. 

"Makanya dia semakin sayang pada orang utan. Dan orang utan pun sayang sama dia," ujar Muriadi. 

Dalam perjalanan menuju pondok pemancing lele, Mustafa melihat satu lagi orang utan. Ini orang utan jantan dan lebih muda dari yang ditemui sebelumnya, kata dia. 

"Dia sedang mematahkan ranting untuk mencari makan," sebut Mustafa. 

Wajahnya kini tampak begitu bahagia. Dia tertawa kegirangan dan meloncat-loncat di atas perahu.


Perjalanan menyusuri Rawa Singkil menggunakan perahu mesin yang muat dinaiki lima orang. 

Diikat dan dipukuli pembalak 

Pada Maret 2019, dunia konservasi dihebohkan dengan kasus Hope, orang utan berusia 30 tahun yang tewas diberondong 74 butir peluru senapan angin saat sedang menyusui bayinya di kawasan Subulussalam, Aceh. 

Kisah Hope dan masa penyembuhannya sempat menjadi sorotan dunia. Pelaku penembakan, dua orang remaja di bawah umur, diberi hukuman ringan menjadi muadzin selama satu bulan. 

Sebulan setelah itu, kisah Bom Bom, bayi orang utan yang diasuh oleh manusia selama tiga tahun menjadi tajuk berita. 

Masih di tahun yang sama, pada Oktober, seekor orang utan jenis Pongo Abelii jantan berusia 25 tahun ditemukan mati di kawasan Lae Treup, Rawa Singkil. 

Mustafa lah yang menemukan jasadnya. Itu adalah satu dari sembilan orang utan yang sering diberinya makanan. 

"Orang utan yang sering saya kasih makan itu tiba-tiba mati. Saya menangis sampai tubuh bergetar karena marah ketika menemukannya di dalam air," kenang Mustafa. 

"Menggunakan dayung perahu, saya membalikkan badan orang utan itu. Baunya sudah sangat menyengat. 

"Ada luka bacokan di bahu bagian kiri dan kanan, dan di bagian paha juga ada luka bacokan," dia melanjutkan. 

Peristiwa ini membuat Mustafa semakin marah pada pembalak liar.

Lahan gambut di Suaka Margasatwa Rawa Singkil telah banyak ditebangi untuk pembukaan lahan ilegal perkebunan sawit. Foto diambil pada 2018. 

"Saya melarang orang-orang menebang kayu menggunakan gergaji mesin, karena bisa membuat orang utan marah dan lapar," ujar Mustafa. 

"Tapi kemudian saya diusir oleh para penebang. Saya dipukul, dicekik, diancam dibunuh dan diikat di dalam hutan. Namun saya berhasil kabur dan pulang ke kampung," kisah Mustafa. Peristiwa ini terjadi pada 2018. 

Meski begitu, Mustafa tak kapok menegur para pembalak liar. Jika bertemu para pembalak di warung kopi di kampungnya, dia akan menyilangkan tangan pada mereka, tanda tak setuju dengan penebangan hutan. 

"Sampai rambut memutih, saya akan tetap mencintai orang utan dan akan bolak-balik ke hutan untuk melihat kondisi mereka," kata Mustafa, sambil meletakkan tangannya di dada.(BBC)