Cadangan Minyak Makin Habis, Timor Leste Ngaku Nyesel Nekat Merdeka Dari Indonesia? Analis: Bagaimana Makan Bila Minyak Habis

  • Oleh : Redaksi

Senin, 08/Nov/2021 21:22 WIB
Foto:istimewa Foto:istimewa

TIMOR LESTE (BeritaTrans.com) - Negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia, Timor Leste dikenal sebagai salah satu negara dengan pendapatan minyak dan gas cukup besar.

Bahkan negara ini bisa disebut-sebut sebagai negara yang menggantungkan kehidupan rakyatnya dari kilang-kilang minyak mereka.

Baca Juga:
Harga Minyak Mentah Naik karena Ketidakpastian Pasokan Meningkat

Setidaknya pendapatan dari minyak dan gas Timor Leste tercatat sebesar US$23 miliar atau sekitar Rp 329 triliun selama 15 tahun terakhir.

Pendapatan tersebut digadang-gadang mampu menghidupi negara dan bahkan membayar 86% kegiatan negara.

Baca Juga:
Kemendag Siapkan Kapal ke Papua untuk Angkut 1.000 Ton Minyak Goreng

Namun kabar mengejutkan datang dari Timor Leste mengenai era tambang minyak yang diprediksi bakal berakhir tak lama lagi.

Bahkan disebutkan, mengekspor sisa minyak serta gas mungkin hanya bisa membiayai pemerintah satu atau dua tahun lagi.

Baca Juga:
Bongkar Mafia Minyak Goreng Pejabat Kemendag, Kejagung Pakai Pasal Hukuman Mati

Tak sampai di situ saja, jika investasi dana kekayaan negara US$19 miliar (Dana Perminyakan) terus berjalan dengan baik, Timor Leste hanya punya waktu sedikit dengan masa depan tidak pasti dan menakutkan.

Mengutip dari Intisari Online yang melansir dalam artikel Charles Scheiner, peneliti di La'o Hamutuk, Institut Pemantauan dan Analisis Pembangunan Timor-Leste, yang berjudul 'Survei ekonomi Timor-Leste, ia menyoroti ketersediaan minyak dan gas di negara yang berbatasan dengan Kupang NTT itu.

Charles mengungkapkan bahwa: "Akhir dari pendapatan minyak bumi,' para pemimpin negaranya mengelola aliran masuk pendapatan minyak bumi dengan baik, menghindari korupsi, kekerasan, kriminalitas, dan inkonstitusionalitas yang signifikan."

Namun beberapa konsekuensi negatif dari ketergantungan minyak tidak dapat dihindari.

Ekonomi bergantung pada impor, produksi lokal minimal, lapangan kerja langka, dan hanya kelas menengah serta atas perkotaan yang dapat menikmati manfaatnya.

Sebagian besar uang minyak telah membayar perusahaan asing untuk membangun proyek infrastruktur besar, tetapi kehidupan pedesaan, mayoritas pertanian hampir tidak membaik.

Hanya sebagian kecil dari pendapatan minyak bumi yang telah digunakan untuk mendukung kehidupan masyarakat dan produktivitas masa depan.

Kondisi ini sedikit lebih baik daripada tahun 1990-an, tahun-tahun terakhir pendudukan militer Indonesia.

Diketahui kini kebanyakan masyarakat Timor Leste bertahan hidup dengan pertanian subsisten, sementara pekerjaan sektor swasta telah menurun sejak tahun 2014.

Diversifikasi ekonomi, meskipun sering dibahas, belum terjadi.

Pembuat kebijakan masih mengacu pada Rencana Pembangunan Strategis 2011 yang tidak realistis dan ketinggalan jaman.

Tak hanya masyarakat biasa, ternyata sebagian besar pejabat pemerintah, telah menginternalisasi ketergantungan pada minyak dan gas yang telah mendominasi Timor Leste.

Kini rakyat Timor Leste pun merasa sulit untuk membayangkan ekonomi pasca-minyak, atau untuk memulai pekerjaan yang menantang guna memperkuat pangan lokal dan produksi lainnya.

Mereka menghindari pertanyaan-pertanyaan yang tidak mengenakkan, seperti bagaimana orang akan makan ketika uang minyak untuk membayar makanan dari luar negeri habis.

Urgensi perubahan visi dan kebijakan tidak bisa dihindari.

Meskipun para pemimpin saat ini masih menyangkal dan tidak mengatasi tantangan yang sulit ini, generasi pemimpin politik yang baru akan datang.

Mereka tidak dikondisikan oleh pendudukan brutal dan perjuangan yang menantang dunia untuk kemerdekaan nasional, dan telah lebih terpapar pada tren serta pengetahuan global, yang dapat membantu mereka menggerakkan ekonomi ke arah yang lebih berkelanjutan dan adil.(amt/sumber:sosok.id)