Bak Diserang Seluruh Bumi, Ramai-ramai Krisis Hantam China

  • Oleh : Redaksi

Jum'at, 12/Nov/2021 06:37 WIB
Foto:istimewa/reuters Foto:istimewa/reuters

CHINA (BeritaTrans.com) - China kini menghadapi banyak masalah. Krisis sepertinya bertubi-tubi datang ke Negeri Xi Jinping itu.

Ekonomi terbesar di Asia ini mengalami sejumlah hal kompleks mulai dari "ricuhnya" sektor properti hingga bahan pangan. Pemerintah pun meminta warga "menimbun" bahan-bahan pokok yang pada akhirnya menyebabkan panic buying.

Baca Juga:
IDSF Beri 3 Rekomendasi Akselerasi Pengembangan Ekonomi Digital

 

1. Krisis Properti

Baca Juga:
Kenaikan Tarif Tol Dinilai Bakal Datangkan Inflasi, Ekonom: Baiknya Ditunda

Krisis properti berawal di akhir September lalu. Ini ditandai dengan kejatuhan raksasa properti China, EvergrandeGroup.

Perusahaan itu terancam gagal membayar utang US$ 300 miliar (sekitar Rp 4.000 triliun). Analis menyebut hal ini terjadi lantaran perusahaan properti kedua terbesar China itu terlalu banyak meminjam uang sementara penjualan sektor properti sendiri sedang bermasalah.

Baca Juga:
Dorong Geliat Ekonomi Kreatif, DPR Apresiasi Gelaran BNI Java Jazz Festival 2023

Tak hanya Evergrande, perusahaan properti lainnya sepertiFantasia Holdings danSinic Holdings juga dilanda bencana keuangan yang sama.Fantasia Holdings dikabarkan gagal membayar kewajibannya senilai US$ 205,7 juta atau (Rp 2,9 triliun) sementara SinicHoldings disebut-sebut tak mampu menutupi beberapa kewajibannya, utamanya bunga pinjaman.

Terbaru, masalah industri properti di China juga melanda Kaisa Group. Dilaporkan akhir pekan lalu, perusahaan berisiko untuk gagal bayar. Bahkan perdagangan di bursaHong Kong ditangguhkan termasuk anak usaha pengembang berbasis Shenzhen itu.

Serentetan masalah properti di China ini membuat bank sentral AS, Federal Reserve, memberi peringatan. Tekanan di sektor real estate China, termasuk Evergrande yang terlilit utang, berpotensi berdampak ke AS. Apalagi jika ini menyebar ke sistem keuangan China.

Dalam laporan stabilitas keuangan terbaru, The Fed mengatakan ada kekhawatiran tentang tingkat utang yang tinggi dan peningkatan nilai properti yang menyebabkan regulator Beijing mengambil tindakan. Tekanan dapat menyebabkan koreksi tiba-tiba harga real estate dan berdampak ke sistem keuangan China.

"Mengingat ukuran ekonomi dan sistem keuangan China serta hubungan perdagangannya yang luas dengan negara-negara lain di dunia, tekanan keuangan di China dapat membebani pasar keuangan global. Melalui penurunan sentimen risiko, menimbulkan risiko terhadap pertumbuhan ekonomi global, Amerika Serikat," kata laporan itu, dikutip AFP, Selasa (9/11/2021).

 

2. Krisis Energi

Belum krisis properti berakhir, China kemudian dilanda krisis energi. Krisis ini ditandai dengan berkurangnya pasokan listrik yang krusial untuk industri dan rumah tangga.

Oktober lalu, krisis ini telah membuat 20 provinsi dan wilayah mengalami pemadaman listrik dalam beberapa bulan terakhir. Pemadaman ini diketahui bisa terjadi hingga beberapa kali dalam sehari.

"Pemadaman listrik delapan kali sehari, empat hari berturut-turut... Saya tidak bisa berkata-kata," tulis seorang warga dari Liaoning yang frustrasi, dilansir dari AFP, bulan lalu.

Ini sendiri tidak lepas dari ambisi Presiden Xi Jinpingdalam mengurangi emisi karbon pada 2030. Ia berencana untuk mulai menghentikan operasional pembangkit batu bara dan menggantinya dengan energi terbarukan.

Namun untuk mencapai target itu, dibutuhkan pembangunan 100 giga watt pembangkit tenaga surya dan 50 giga watt tenaga angin setiap tahun untuk menyeimbangkan kenaikan konsumsi sebesar 5%. Hal ini jauh dari pertumbuhan energi terbarukan tahunan China yang baru mencapai setengah dari itu.

Meski begitu, krisis ini cukup mampu ditangani China. Dalam laporan yang dibuat oleh Commonwealth Bank of Australia pada awal November, jumlah provinsi China yang mengalami kekurangan listrik turun menjadi hanya dua pada pertengahan Oktober.

Hal ini berkat kebijakan pemerintah Negeri Tirai Bambu yang berhasil menaikan produksi batu bara nasional. Administrasi Negara untuk Keselamatan Tambang Batu Bara meningkatkan produksinya sekitar 600 ton per hari, dengan total produksi 55 juta ton pada kuartal keempat.

Meskipun demikian, musim dingin yang datang diyakini akan menimbulkan masalah baru.

 

3. Lonjakan Covid-19

Sementara itu, di sisi lain, Covid-19 kembali menyerang China. Bahkan, wabah kali ini disebut yang kedua terparah setelah corona muncul di Wuhan pertama kali, akhir 2019.

Komisi Kesehatan Nasional (CMA) kembali melaporkan infeksi baru Covid-19 yang sebagian besar ditularkan melalui transmisi lokal, Senin (8/11/2021). China mencatat 62 kasus baru setelah Minggu mengumumkan 89 kasus.

Mengutip Financial Times, gelombang Covid-19 saat ini, yang dimulai sejak 17 Oktober, sudah mencapai sebagian besar dari 31 provinsi China. Ini menjadi penyebaran terluas sejak awal pandemi muncul akhir 2019 lalu di Wuhan, Provinsi Hubei.

Mengutip Reuters, hingga 5 November, ada 918 kasus terkait penularan baru ini. Persisnya di 44 kota di 20 provinsi. Varian Delta menjadi penyebab gelombang kali ini.

Worldometers mencatat terdapat total 97.885 kasus Covid-19 secara akumulatif sejak pandemi terjadi di akhir 2019. Tercatat 4.636 kematian.

 

4. Krisis Pangan

Bukan cuma Covid-19, masalah baru lainnya juga menyerang China yakni krisis pangan. Rata-rata harga pangan, terutama sayuran, melonjak 39,8% sejak September.

Ini disebabkan gagal panen akibat hujan lebat yang membanjiri lahan sayuran. Masalah bertambah karena langkah-langkah penguncian (lockdown) Covid-19 yang menghambat distribusi pangan di negara itu.

 

5. Cuaca Ekstrem

Cuaca ekstrem juga ikut mengancam China.Komisi Kesehatan Nasional (CMA) mengeluarkan peringatan badai salju oranye pertama musim dingin, tingkat tertinggi kedua, Minggu.

Pusat itu memperkirakan badai di timur laut akan terjadi, dengan salju setebal 45 milimeter (1,8) inci di beberapa wilayah.

"Cuaca dingin juga terjadi dari Beijing ke Shanghai ke Guangzhou, menekan suhu hingga 14 derajat celcius pada Minggu," kata badan tersebut.

 

6. Panic Buying

Sementara itu, panic buying terjadi di China. Hal ini dipicu oleh anjuran pemerintah yang meminta agar warga menimbun bahan-bahan pokok menjelang musim dingin.

"Kami meminta keluarga untuk menyimpan sejumlah kebutuhan sehari-hari yang diperlukan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari dan keadaan darurat," ujar situs resmi Kementerian Perdagangan China pekan lalu.

Mengutip laporan Reuters, Senin (8/11/2021) para manula di Beijing terlihat berebut sayur kubis di swalayan. Beberapa sudut memperlihatkan bagaimana orang-orang membawa bungkusan kubis sangat besar, yang kemungkinan bisa disimpan sebagai stok berbulan-bulan.

"Setiap tahun, di waktu ini, volume penjualan (kubis) memang meningkat. Tapi setelah laporan (penimbunan) keluar, semua orang buru-buru membeli semuanya bahkan lebih," kata seorang penjual di pasar Xinfadi, Beijing, Jia Jinzhi, dikutip Selasa (9/11/2021).

Beberapa supermarket disebut membatasi penjualan pada tiga kubis per orang. Namun warga yang datang setelah jam 9.00 tetap tak mendapat jatah.

Tak hanya di supermarket, warga juga mulai menyerbu beberapa website e-commerce seperti Alibaba. Bukan hanya sayuran, barang kebutuhan pokok lain seperti beras, kecap, dan saus sambal, menjadi tren di situs yang didirikan oleh Jack Ma itu.(amt/sumber:CNBC Indonesia.con

Tags :