Pembangunan vs Konservasi di Taman Nasional Komodo

  • Oleh : Redaksi

Minggu, 26/Des/2021 21:06 WIB
Komodo berkeliaran di pantai Pulau Komodo, habitat alami kadal terbesar di dunia. Indonesia telah mendeklarasikan pulau-pulau itu sebagai taman nasional pada tahun 1980 untuk melindungi komodo. Foto: bbcindonesia.com. Komodo berkeliaran di pantai Pulau Komodo, habitat alami kadal terbesar di dunia. Indonesia telah mendeklarasikan pulau-pulau itu sebagai taman nasional pada tahun 1980 untuk melindungi komodo. Foto: bbcindonesia.com.

JAKARTA (BeritaTrans.com) - UNESCO dan warga Pulau Komodo menyampaikan kekhawatiran akan keberlangsungan hidup komodo di tengah klaim potensi kehancuran habitat hewan ini akibat pembangunan pariwisata di Taman Nasional Komodo. Dua puluh tahun lalu taman ini telah dinyatakan sebagai Situs Warisan Dunia untuk melindungi komodo.

Taman Nasional Komodo yang terletak di Manggarai, Nusa Tenggara Timur, adalah rumah bagi komodo, hewan yang ikonik dan telah didaftarkan sebagai hewan yang “terancam punah” dalam Daftar Merah Spesies Terancam Punah di International Union for the Conservation of Nature atau Persatuan Internasional Untuk Konservasi Alam IUCN.

Baca Juga:
Savana di Pulau Komodo Terbakar

Keanekaragaman hayati dan keindahan alamnya membuat badan PBB urusan pendidikan, iptek dan kebudayaan PBB atau United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization atau UNESCO, pada 1981 menobatkannya sebagai Situs Warisan Dunia.

Taman ini merupakan salah satu permata mahkota Indonesia dalam bidang pariwisata, yang setiap tahun menarik ratusan ribu pengunjung dari berbagai belahan dunia.

Baca Juga:
Isi Lengkap Permintaan UNESCO agar Indonesia Setop Proyek Jurassic Park di TN Komodo

Selamat bertahun-tahun pemerintah berusaha mencari cara terbaik untuk memanfaatkan taman itu. Baru-baru ini Pulau Komodo ditetapkan sebagai bagian dari inisiatif “Sepuluh Bali Baru” atau “10 New Balis” – suatu upaya untuk menarik lebih banyak wisatawan sebagaimana yang ada di Bali sebelum pembatasan perjalanan terkait pandemi COVID-19.

Di Taman Nasional Komodo ini beberapa spesies kadal terbesar di dunia tampak bermalas-malasan di ujung taman, sementara sejumlah wisawatan mengambil foto. Namun di salah satu bagian lain, pepohonan telah ditebang dan beton dibangun untuk fasilitas wisata baru. 

Kantor berita Associated Pressberupaha keras untuk mendapatkan izin masuk ke lokasi konstruksi yang telah ditutup untuk publik selama berbulan-bulan, tetapi tetap tidak membuahkan hasil. Namun citra satelit menunjukkan proyek pembangunan di taman itu tetap berlanjut meskipun UNESCO telah meminta agar proyek itu dihentikan sementara.

UNESCO Belum Terima Kajian

Hingga 6 Desember, UNESCO mengatakan masih belum mendapat revisi kajian yang diminta dari otoritas berwenang.

Pembangunan itu merupakan bagian dari inisiatif ambisius Indonesia yang telah menimbulkan ketegangan antara pemerintah – yang ingin mengembangkan atraksi alam bagi pariwisata mewah – dan para konservasionis – yang khawatir habitat komodo yang terancam punah akan mengalami kerusakan permanen.

Bryan Fry, pakar ilmu biologi di Universitas Queensland, mengatakan setiap perkembangan akan menimbulkan konsekuensi bagi komodo.

“Tentu saja akan berdampak. Ini masalah seberapa besar dampaknya. Jika pembangunan ini hanya berlangsung di sebagian kecil wilayah, jelas komodo yang terganggu hanya yang berada di wilayah tersebut, tetapi tidak di seluruh pulau. Namun jika pembangunan berlangsung di tempat pengembangbiakan utama, maka ini akan menjadi masalah. Juga jika berlangsung di dekat daerah perburuan utama komodo, yang berarti akan mengganggu mangsa hewan ini sehingga pergerakan mangsa berubah dan berdampak pada keberhasilan perburuan komodo," paparnya.

Lebih jauh Bryan Fry mengatakan jika tidak dikelola dengan hati-hati maka proyek pariwisata itu akan mengganggu perilaku komodo dan mangsa mereka.

Para pejabat PBB juga telah menyampaikan keprihatinan tentang potensi dampak pariwisata itu pada taman nasional satwa liar yang unik ini.

Taman Nasional Komodo seluas 2.200 kilometer per segi, yang mencakup wilayah darat dan laut ini, dibangun pada 1980 untuk membantu melindungi spesies itu. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia memperkirakan ada sekitar 3.000 ekor reptil yang hidup di taman itu, bersama dengan dugong yang menyerupai manate, penyu, paus dan lebih dari seribu spesies ikan tropis.

Menparekraf: Kesalahpahaman di Media

Menurut Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia Sandiaga Uno, Indonesia sedang memulai era baru pariwisata berdasarkan “pariwisata berkualitas dan berkelanjutan.”

“Saya kira sudah banyak foto-foto yang diunggah di media sosial, tetapi kita perlu memastikan – bahkan di kementerian ini sendiri – kita sedang mempersiapkan rencana utama pariwisata terpadu Labuan Bajo, sesuai prinsip ini," katanya. 

Bagian dari pengembangan pariwisata bernilai jutaan dolar itu adalah proyek di Pulau Rinca, tempat lebih dari sepertiga komodo yang diperkirakan hidup di daerah itu. Daerah tersebut umumnya panas dan berhawa kering. Proyek konstruksi itu mencakup perluasan stasiun ranger, pembangunan tempat pengamatan, dermaga kapal, toilet dan infrastruktur lain.

Proyek ini menimbulkan kekhawatiran aktivis lingkungan lokal dan warga yang bermukim di dalam batas taman yang mengatakan mata pencaharian mereka sebagai pemandu wisata, pengemudi perahu dan penjual suvenir bergantung pada daya tarik keindahan alam daerahi tu.

Kepala Unit Warisan Alam di UNESCO, Guy Debonnet mengatakan proyek itu kini menjadi perhatian.

“Kami terkejut dengan pemberian izin (untuk pembangunan taman.red) pada 2015 tanpa kontak terlebih dahulu dengan UNESCO, karena ini sedianya merupakan prosedur normal.”

Selama pertemuan pada Juli, UNESCO juga menyampaikan keprihatinan lain seperti pengurangan zona hutan belantara – yang kini luasnya tinggal sepertiga dari sebelumnya – juga penambahan konsesi pariwisata di dalam properti. Kurangnya dampak lingkungan yang memadai, dan target untuk meningkatkan secara dramatis jumlah pengunjung yang datang.

Sandiaga Uno mengatakan ini merupakan kesalahpahaman di media

“Kami telah melakukan kontak erat dengan UNESCO – baik yang berada di Indonesia maupun di kawasan ini – dan kami telah mengklarifikasi bahwa ada beberapa kesalahpahaman dalam laporan media. Batas waktu untuk menyampaikan laporan itu sebenarnya baru Februari tahun depan," katanya.

UNESCO Minta Indonesia Hentikan Pembangunan di Taman Nasional Komodo

Atas permintaan UNESCO, Indonesia telah mengirim lebih banyak informasi tentang proyek pembangunan di Taman Nasional Komodo. Namun, setelah meninjaunya, UNESCO pada Oktober 2020 meminta agar Indonesia “tidak melanjutkan proyek infrastruktur apapun yang dapat mempengaruhi nilai universal luar biasa dari properti itu sebelum melakukan kajian penilaian dampak lingkungan yang relevan oleh International Union for the Conservation of Nature (IUCN) atau Persatuan Internasional Untuk Konservasi Alam.

IUCN adalah LSM internasional yang memberikan evaluasi teknis properti-properti alam pada Komite Warisan Dunia UNESCO.

Menurut email dari Otoritas Pariwisata pada Associated Press, pemerintah Indonesia juga mengeluarkan dua izin usaha di Taman Nasional Komodo, termasuk untuk proyek-proyek di Pulau Rinca, Pulau Komodo dan Pulau Padar.

Dalam daftar spesies yang terancam punah yang dikeluarkan IUCN, status kadal pemangsa – yang panjangnya dapat mencapai tiga meter dan berat lebih dari 135 kilogram – baru-baru ini dipindahkan dari “rentan” menjadi “terancam punah.” IUCN mengatakan dampak perubahan iklim dan kehancuran habitat – termasuk perambahan oleh manusia – menjadi alasan perubahan status itu.

Tanggal pembukaan fasilitas baru Pulau Rinca belum diumumkan. Guy Debonnet dari UNESCO mengatakan sedang melakukan pembicaraan dengan pejabat-pejabat Indonesia untuk mengatur misi pemantauan guna menilai dampak pembangunan yang sedang berlangsung di taman itu dan mengkaji status konservasinya.

Status Taman Nasional Komodo Dibahas pada 2022

Penetapan Situs Warisan Dunia biasanya dibahas oleh komite UNESCO setiap dua tahun sekali dan Taman Nasional Komodo akan dibahas pada 2022. Debonnet percaya ini menunjukkan urgensi masalah.

“Kita semua tahu bahwa pariwisata adalah motivasi besar, atau salah satu manfaat dari penetapan suatu lokasi sebagai Warisan Dunia, dan negara-negara tertarik pada hal itu. Namun pada saat yang sama, ini juga menjadi ancaman bagi banyak situs karena mengejar target pariwisata," katanya.

Ditambahkannya, ada kebutuhan untuk memahami “bagaimana kita memiliki pariwisata yang memiliki nilai universal yang sangat luar biasa sambil tetap mendatangkan pendapatan bagi lokasi tersebut, bagi pemerintah dan bagi masyarakatnya.” (dn/sumber: voaindonesia.com)