Ini Cerita Awak Kapal Riset Baruna Jaya: "Tak Ada Surat, Lisan Begitu Saja dari BRIN, Tanggal 1 Harus Hengkang Semuanya"

  • Oleh : Redaksi

Jum'at, 07/Janu/2022 08:47 WIB
Sejumlah eks anggota Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mendatangi kantor Komnas HAM di Jakarta, Rabu (5/1/2021), mengadukan nasib mereka. Mereka yang tergabung dalam Paguyuban Pegawai Pemerintah Non-PNS (PPNPN) BPPT itu telah bekerja lebih dari 5 tahun, sebelum kehilangan pekerjaan imbas peleburan BPPT ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).(KOMPAS.com / VITORIO MANTALEAN) Sejumlah eks anggota Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mendatangi kantor Komnas HAM di Jakarta, Rabu (5/1/2021), mengadukan nasib mereka. Mereka yang tergabung dalam Paguyuban Pegawai Pemerintah Non-PNS (PPNPN) BPPT itu telah bekerja lebih dari 5 tahun, sebelum kehilangan pekerjaan imbas peleburan BPPT ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).(KOMPAS.com / VITORIO MANTALEAN)

JAKARTA (Beritatrans.com) – Hari itu, Kamis, 30 Desember 2021, malam baru berganti pagi.

Sedikitnya 40 orang dalam Kapal Riset (KR) Baruna Jaya akhirnya kembali menghirup udara Ibu Kota.

Baca Juga:
Kepala PPSDMPL Lantik 226 Perwira Kapal Negara Lulusan BPPTL Jakarta

Kapal yang mereka tumpangi baru saja sandar di Pelabuhan Nizam Zachman, Muara Baru, Jakarta Utara.

“Kami berangkat sejak satu bulan lalu itu dari Selat Sunda, Samudra Hindia, lalu Malang, Denpasar, habis itu ke Sumba yang waktu itu gempa 7,5 skala Richter. Terakhir itu kami (berlayar) dari Sumba,” ujar Andika, salah satu teknisi ahli Balai Teknologi Survei Kelautan (Teksurla) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Rabu (5/1/2022).

Baca Juga:
Kemenhub Gelar Diklat Keselamatan Transportasi Darat di Ketapang

Di tempat-tempat tersebut, Andika dkk melakukan pemetaan sekaligus pemasangan alat-alat deteksi dini tsunami dan gempa

Pekerjaan ini merupakan bagian dari proyek InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System – Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia) hasil pengembangan BPPT.

Baca Juga:
Gelar DPM di Kalbar, Kemenhub Siapkan SDM Kompeten Hadapi Persaingan Dunia Kerja

Proyek ini sangat krusial dalam mempercepat informasi peringatan dini potensi tsunami, yang menggunakan sensor di dasar laut guna melihat perbedaan-perbedaan tekanan air.

Data dari sensor itu lalu secara aktif dikirim ke buoy (pelampung) di permukaan laut melalui underwater acoustic modem.

Pelampung tersebut kemudian mentransmisikan data itu ke InaTOC (Indonesia Tsunami Observation Center – Pusat Pemantauan Tsunami Indonesia) di Jakarta.

“(Pemasangannya) sudah selesai semua. Sudah ada data gempa yang terkirim ke InaTOC di Thamrin itu. Jadi, kami pasang sudah langsung terhubung,” ujar Andika.

Usai merampungkan pekerjaan yang bisa menyelamatkan puluhan, ratusan, bahkan ribuan nyawa itu, Andika dan kolega hanya dapat mengambil napas panjang sesaat.

Andika bercerita, hari itu juga, seseorang yang mengaku perwakilan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) datang ke kapal.

 

KR Baruna Jaya I milik BPPT yang juga dikerahkan dalam pencarian pesawat Lion Air JT 610 di perairan Tanjung Karawang.

 

Tidak ada pertemuan resmi atau pengumpulan semua ilmuwan dan awak kapal.

Yang ia tahu, setelah perwakilan BRIN itu datang, mereka semua dipaksa menelan pil pahit menjelang tahun baru.

“Tidak ada surat juga, jadi lisan begitu saja dari pihak BRIN, cuma ngomong bahwa tanggal 1 (Januari 2022, kami) harus hengkang semuanya. Ya sudah, begitu saja,” ucap Andika.

Terusir

BRIN dibentuk Presiden RI Joko Widodo pada 2019, meski sejak awal pembentukannya dikritik karena rentan mengganggu independensi ilmuwan dan membuka pintu politisasi.

Kekhawatiran ini beralasan karena terbukti bahwa bos Jokowi di PDI-P, Megawati Soekarnoputri, didaulat sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN.

PDI-P bahkan menyebut hal itu bertujuan agar riset BRIN “sesuai Pancasila”.

BRIN diciptakan bukan sebagai koordinator lembaga-lembaga penelitian yang ada saat ini, melainkan badan tunggal yang menaungi seluruh kegiatan penelitian di Tanah Air.

Tak ayal, lembaga-lembaga penelitian yang sejauh ini sudah berjalan dengan baik dipaksa melebur ke BRIN secara struktural.

Hingga sekarang, sedikitnya sudah 39 lembaga penelitian yang dipaksa melebur ke BRIN, termasuk di antaranya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), serta Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan BPPT sendiri.

Peleburan ini menimbulkan masalah. Ratusan ilmuwan kehilangan pekerjaan karena terhalang status non-PNS.

Andika yang sudah 7 tahun bekerja sebagai Pegawai Pemerintah non-Pegawai Negeri (PPNPN) BPPT, misalnya, ditendang karena alasan tersebut.

Sementara itu, Kapten Ishak Ismail, nakhoda KR Baruna Jaya yang ditumpangi Andika dalam proyek InaTEWS, malah sudah 19 tahun mengabdi.

 

Kepala Basarnas Marsekal Madya TNI Muhammad Syaugi (kedua kiri) menunjukkan bagian dari kotak hitam (black box) pesawat Lion Air bernomor registrasi PK-LQP dengan nomor penerbangan  JT 610 yang telah ditemukan oleh tim SAR gabungan di KR Baruna Jaya I, di perairan Tanjung Karawang, Jawa Barat, Kamis (1/11/2018). Bagian dari kotak hitam tersebut diserahkan ke pihak KNKT untuk dilakukan investigasi lebih lanjut. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/wsj.

 

Bahkan, pada 2015, Ishak pernah dianugerahkan oleh Jokowi Tanda Kehormatan Satyalancana Wira Karya.

“Sebagai nakhoda KR Baruna Jaya, berhasil melakukan pencarian lokasi jatuhnya pesawat Air Asia QZ 8501 di perairan Selat Karimata Laut Jawa dan aktif melakukan kooridinasi dan kerja sama antara crew kapal dengan Balai Teknologi Survei Kelautan, sehingga semua crew pulang dengan selamat,” tulis Jokowi dalam Keppres Nomor 77/TK/Tahun 2015 yang ia teken.

Dalam operasi tersebut, peran Ishak tak bisa dikesampingkan dalam penemuan kotak hitam Air Asia QZ 8501.

Namun, lantaran berstatus PPNPN, nama Ishak termasuk dalam daftar ratusan ilmuwan BPPT yang terpaksa angkat kaki karena BRIN.

Andika bercerita, seisi kapal hanya dapat melongo mendengar titah perwakilan BRIN itu.

Mereka diperintahkan mengosongkan KR Baruna Jaya, kapal yang bukan sekadar alat transportasi bagi mereka, tetapi juga telah menjelma kantor atau boleh jadi rumah kedua.

Apa boleh buat, palu telah diketuk.

“Otomatis kami kan harus meninggalkan kapal itu dalam keadaan bersih, tanpa kendala apa pun,” ucapnya.

Luntang-lantung

Perbincangan Kompas.com dengan Andika terjadi di kantor Komnas HAM, kemarin siang.

Siang itu, Ishak juga hadir. Ia turut duduk-duduk di trotoar bersama awak media dan menikmati segelas kopi dari pedagang starling di Jalan Latuharhary.

Baik Ishak maupun Andika, keduanya sama-sama mengenakan pakaian bersemat logo kebanggaan mereka. Logo KR Baruna Jaya. Logo Balai Teksurla. Logo BPPT.

Sayang, Ishak tak berkenan diwawancarai mengenai 19 tahun pengabdiannya di kapal yang dipaksa kandas bukan di laut, melainkan di darat.

“Mau lanjut kuliah,” ucapnya singkat, tanpa menjelaskan kuliah apa yang tengah ia geluti.

Ishak dan Andika datang sebagai perwakilan Paguyuban PPNPN BPPT. Mereka hendak mengadukan nasib mereka ke Komnas HAM.

Paguyuban itu menaungi ratusan ilmuwan BPPT bernasib sama, dan diperkirakan masih ada ratusan lain yang masih menanti pendataan lebih lengkap.

Mereka tidak meminta pesangon. Mereka hanya meminta dipekerjakan kembali.

Pasalnya, usia mereka sudah dihabiskan untuk mengabdi di BPPT. Tak lagi muda, sulit bagi mereka mencari lapangan kerja, terlebih di masa pandemi Covid-19.

Namun, toh Andika dkk bukan memikirkan nasib mereka saja, melainkan juga kelangsungan BPPT kelak, lembaga yang mereka cintai itu.

“Pemeliharaan alat pendeteksi tsunami itu setiap delapan bulan sekali. Jika (BPPT) dibubarkan, siapa yang mau mengurusnya? Alat itu dipasang di kedalaman ribuan meter. Di Bali saja 4.000 meter. Di Selat Sunda 2.700 meter. Di Samudra Hindia itu 3.000 meter. Peralatan itu beratnya 3 ton,” jelasnya.

Ini bukan hanya kerugian bagi ilmuwan seperti Andika atau Ishak. Ini kerugian negara yang tak mampu menghargai kerja-kerja para ilmuwan.

“Indonesia membutuhkan jajaran SDM riset yang tidak hanya bergelar tertentu, tetapi berkapasitas sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan bagi pengembangan sains dan teknologi yang dicita-citakan,” tulis Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI).Rabu.  (ny/Sumber: Kompas.com)