Konflik Rusia-Ukraina Jadi Pelajaran Bagus untuk China dan Taiwan

  • Oleh : Redaksi

Sabtu, 26/Feb/2022 07:28 WIB


Berbeda dengan negara lainnya, Pemerintah China menolak untuk menyebut langkah Rusia di Ukraina sebagai "invasi". Baca Juga: Taiwan Sebut China Bisa Memblokade Pelabuhan Utamanya Juru bicara Kemenlu China,

Hua Chunying, mengatakan, "Ini mungkin perbedaan antara China dan kalian negara Barat. Kami tidak akan terburu-buru mengambil kesimpulan". "China memantau dengan cermat situasi terbaru. Kami meminta kepada semua pihak untuk menahan diri agar situasi tidak lepas kendali," kata Hua Chunying.

"Mengenai definisi invasi, saya pikir kita harus melihat situasi saat ini di Ukraina. Masalah Ukraina memiliki latar belakang sejarah yang sangat rumit hingga hari ini. Mungkin tidak semua orang ingin melihat hal itu," paparnya.

Di tengah eskalasi situasi di Ukraina, Angkatan Udara Taiwan kembali bersiaga tinggi pada hari Kamis (24/02) setelah sembilan pesawat militer China yang memasuki zona pertahanan udara Taiwan. Menurut Kementerian Pertahanan Taiwan, tindakan militer China itu terjadi pada hari yang sama ketika Rusia menginvasi Ukraina. Disebutkan, delapan pesawat tempur J-16 China dan satu pesawat pengintai Y-8 terlibat terbang di daerah timur laut Kepulauan Pratas yang dikuasai Taiwan.

Dua fakta itu memperlihatkan pada satu sisi China tidak berada pada arus besar dunia untuk mengutuk invasi Rusia. Pada sisi lain, Taiwan harus bersiap menghadapi invasi skala penuh dari China.

Sikap China itu amat mudah dipahami karena merupakan sekutu dekat Rusia. Hubungan Moskow-Beijing dan Putin-X Jinping relatif mesra. Satu sama lain memberikan dukungan.

Sejarah memperlihatkan Rusia tidak bereaksi negatif terhadap aksi China ie muslim Uighur dan Taiwan.

Serangan Rusia ke Ukraina juga menjadi pelajaran efektif bagi China untuk mengkalkulasi aneksasi Taiwan dan risiko ekonomi serta politik, yang mengiringinya.

Skenario Rusia menghantam Ukraina dari proses perencanaan hingga eksekusi dapat dipelajari China. Selain itu, China juga melihat sejauh mana reaksi (sanksi) Barat terhadap Rusia, dan seberapa besar sanksi menyebabkan kerusakan terhadap ekonomi Rusia.

Dari sana China dapat menganalisis dan memformulasikan contigency plan atau atnsipasi sekaligus solusi ketahanan ekonomi bila terjadi sanksi massif Barat bila meginvasi Taiwan.

Dalam konteks itu, China juga hatus memastikan dukungan dari negara, yang dianggap sekutu, seperti Rusia, Pakistan, Iran dan negara-negara di Afrika.

Jika seluruh skenario dan formulasi telah matang disiapkan maka tinggal menunggu waktu saja China menginvasi Taiwan. 

Invasi itu tenru dengan pertimbangan kedaulatan dan aksi pembangkangan Taiwan untuk mengakui sebagai bagian dari China daratan.

Seperti halnya Rusia dengan mudah menaklukkan Ukraina, maka China juga tidak membutuhkan waktu lama untuk menguasai Taiwan, karena kekuatan militer jauh di atas Taiwan.

Pada sisi lain, Taiwan juga dapat belajar dari invasi Rusia ke Ukraina dan Krimea. Taiwan harus memastikan dukungan efektif Barat dalam konteks pertahanan untuk menahan serangan militer China.

Taiwan tentu tidak ingin bernasib sama dengan Ukraina, yang dibiarkan sendirian oleh Barat, termasuk NATO, dalam menghadapi Rusia. Taiwan tidak sekadar membutuhkan dukungan peralatan militer, tetapi keterlibatan aktif pasukan dan peralatan perang Barat.

(Agus W/Direktur Institut MD9).