Mantan Dirut Citilink Diperiksa Terkait Kasus Korupsi Garuda Indonesia

  • Oleh : Redaksi

Rabu, 23/Mar/2022 11:08 WIB
Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana (Foto: dok. Kejagung) Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana (Foto: dok. Kejagung)

JAKARTA (BeritaTrans.com) - Kejaksaan Agung (Kejagung) terus mengusut dugaan kasus korupsi pengadaan pesawat PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk tahun 2011-2021. Hari ini tim penyidik memeriksa enam orang saksi, salah satunya saksi berinisial MAW selaku Direktur Utama PT Citilink Indonesia periode Agustus 2012-Desember 2014. 

"Tim jaksa penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung melakukan pemeriksaan terhadap enam orang saksi yang terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan pesawat udara pada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk tahun 2011-2021 atas nama Tersangka AW, Tersangka SA, dan Tersangka AB," kata Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana dalam keterangan tertulisnya, Selasa (22/3/2022). 

Baca Juga:
Momen Bersejarah Itu Tiba, Airnav Sukses Alihkan Ruang Udara Sektor ABC dari Singapura

Adapun 6 saksi yang diperiksa adalah: 

1. MT selaku team leader auditor PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk periode 2008-2015.
2. MAW selaku Direktur Utama PT Citilink Indonesia periode Agustus 2012 - Desember 2014.
3. MJ selaku Senior Manager Financial Planning dan Management Report PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk tahun 2011-2015.
4. EK selaku Senior Manager Keuangan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk tahun 1999-2015.
5. SM selaku VP Internal Audit PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk tahun 2012-2018.
6. JAT selaku VP Aircraft Maintenance Management PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk periode November 2012-September 2012. 

Baca Juga:
Ruang Udara di Atas Kepri-Natuna Resmi Diatur Indonesia

Keenam saksi diperiksa terkait pengadaan pesawat udara pada PT Garuda Indonesia (persero) Tbk tahun 2011-2021. 

Dalam kasus ini, sebelumnya terdapat tiga tersangka. Ketiga tersangka itu adalah Setijo Awibowo (SA) selaku VP Strategic Management Office Garuda Indonesia 2011-2012 dan Agus Wahjudo selaku Executive Project Manager Aircraft Delivery PT Garuda Indonesia 2009-2014. Serta ketiga Albert Burhan (AB) selaku VP Vice President Treasury Management PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk periode 2005-2012. 

Baca Juga:
"Ramadhan Bleisure Fair" 2024, Ajang Garuda Tebar Diskon Tiket hingga 80%

Kasus ini bermula pada 2011-2021, ketika PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk melakukan pengadaan pesawat dari berbagai jenis tipe pesawat, antara lain Bombardier CRJ-100 dan ATR 72-600, yang mana untuk pengadaan Bombardier CRJ-1000 dan ATR 72-600 yang dilaksanakan dalam periode 2011-2013 terdapat penyimpangan dalam proses pengadaannya antara lain: 

1. Kajian feasibility study/business plan rencana pengadaan pesawat Sub-100 Seaters (CRJ-1000) maupun pengadaan pesawat turbopropeller (ATR 72-600) yang memuat analisis pasar, rencana jaringan penerbangan, analisis kebutuhan pesawat, proyeksi keuangan dan analisis risiko tidak disusun atau dibuat secara memadai berdasarkan prinsip pengadaan barang dan jasa, yaitu efisien, efektif, kompetitif, transparan, adil, dan wajar serta akuntabel; 

2. Proses pelelangan dalam pengadaan pesawat Sub-100 Seaters (CRJ-1000) maupun pengadaan pesawat turbopropeller (ATR 72-600) mengarah untuk memenangkan pihak penyedia barang/jasa tertentu, yaitu Bombardier dan ATR; 

3. Adanya indikasi suap-menyuap dalam proses pengadaan pengadaan pesawat Sub-100 Seaters (CRJ-1000) maupun pengadaan pesawat turbopropeller (ATR 72-600) dari manufacture. 

Dengan demikian, penyimpangan dalam proses pengadaan pesawat CRJ-1000 dan ATR 72-600 tersebut mengakibatkan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk mengalami kerugian dalam mengoperasionalkan pesawat CRJ-1000 dan ATR 72-600. 

"Atas kerugian keuangan negara yang ditimbulkan tersebut, diduga telah menguntungkan pihak terkait dalam hal ini perusahaan Bombardier Inc-Kanada dan perusahaan Avions de Transport Regional (ATR)- Perancis masing-masing selaku pihak penyedia barang dan jasa serta perusahaan Alberta S.A.S. -Perancis dan Nordic Aviation Capital (NAC) - Irlandia selaku lessor atau pihak yang memberikan pembiayaan pengadaan pesawat tersebut," imbuh Ketut Sumedana. 

Restorative Justice, Kejagung Hentikan 15 Kasus Pencurian-Penganiayaan 

Kejaksaan Agung (Kejagung) menghentikan 15 kasus terkait pencurian hingga penganiayaan berdasarkan restorative justice. Pertimbangan dilakukannya restorative justice itu salah satunya telah terjadi perdamaian antara korban dan pelaku. 

"Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Fadil Zumhana melakukan ekspose dan menyetujui 15 Permohonan Penghentian Penuntutan Berdasarkan keadilan restoratif," kata Ketut Sumedana. 

Ekspose penetapan restorative justice itu dilakukan secara virtual yang dihadiri oleh Jampidum Fadil Zumhana; Direktur Tindak Pidana Terhadap Orang dan Harta Benda Agnes Triani; Direktur Tindak Pidana terhadap Keamanan Negara, Ketertiban Umum dan Tindak Pidana Umum Lainnya Yudi Handono; Koordinator pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum; 3 orang Kepala Kejaksaan Tinggi; serta 8 orang Kepala Kejaksaan Negeri; dan 1 orang Kepala Cabang Kejaksaan Negeri yang mengajukan permohonan restorative justice serta Kasubdit dan Kasi Wilayah di Direktorat Oharda. 

Adapun 15 kasus yang dihentikan penuntutannya berdasarkan restorative justice adalah: 

1. Tersangka Shinta dari Cabang Kejaksaan Negeri Makassar di Pelabuhan Makassar yang disangkakan melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
2. Tersangka Gusti dari Kejaksaan Negeri Pangkajene Kepulauan yang disangkakan melanggar Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan.
3. Tersangka Sucipto dari Kejaksaan Negeri Langkat yang disangkakan melanggar Pasal 44 Ayat (1) UU RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
4. Tersangka Muhammad Amin dari Kejaksaan Negeri Mamuju yang disangkakan melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
5. Tersangka Wahyu Arel Budiman Zamili dari Kejaksaan Negeri Nias Selatan yang disangkakan melanggar Pasal 335 Ayat (1) ke-1 KUHP tentang Pengancaman.
6. Tersangka Muniarti dari Kejaksaan Negeri Tapanuli Selatan yang disangkakan melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
7. Tersangka I Justan Efendi Harahap dan Tersangka II ADI GUNAWAN HARAHAP dari Kejaksaan Negeri Padang Lawas Utara yang disangkakan melanggar Pasal 406 Ayat (1) jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 170 Ayat (1) KUHP tentang Perusakan.
8. Tersangka I Gandaria Siringo-Ringo dan Tersangka II Dedi Hendra Lumbanraja dari Kejaksaan Negeri Samosir yang disangkakan melanggar Pasal Pasal 406 Ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP tentang Perusakan.
9. Tersangka Fauzi dari Kejaksaan Negeri Simalungun yang disangkakan melanggar Pasal 111 UU RI Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan atau Pasal 107 huruf d UU RI Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
10. Tersangka Lanjut Butar-Butar dari Kejaksaan Negeri Simalungun yang disangkakan melanggar Pasal 111 UU RI Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan atau Pasal 107 huruf d UU RI Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
11. Tersangka Nurlela Purba dari Kejaksaan Negeri Simalungun yang disangkakan melanggar Pasal 111 UU RI Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan atau Pasal 107 huruf d UU RI Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
12. Tersangka I Rina dan Tersangka II Ismawati dari Kejaksaan Negeri Simalungun yang disangkakan melanggar Pasal 111 UU RI Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan atau Pasal 107 huruf d UU RI Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
13. Tersangka Sarwedi dari Kejaksaan Negeri Simalungun yang disangkakan melanggar Pasal 111 UU RI Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan atau Pasal 107 huruf d UU RI Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
14. Tersangka Sutra Purnama dari Kejaksaan Negeri Simalungun yang disangkakan melanggar Pasal 111 UU RI Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan atau Pasal 107 huruf d UU RI Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
15. Tersangka Suparni Harahap dari Kejaksaan Negeri Simalungun yang disangkakan melanggar Pasal 111 UU RI Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan atau Pasal 107 huruf d UU RI Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. 

Adapun alasan diberlakukannya restorative justice adalah para tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana/belum pernah dihukum; ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 tahun; telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf. 

"Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya; Proses perdamaian dilakukan secara sukarela, dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan dan intimidasi; Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar," imbuhnya. 

Sementara itu, pertimbangan sosiologisnya masyarakat merespons positif. 

Selanjutnya, JAM-Pidum memerintahkan kepada Para Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif, sesuai Berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, sebagai perwujudan kepastian hukum. 

Selain itu, apabila ada masyarakat yang ingin mengajukan permohonan Restorative Justice, Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum membuka hotline layanan restorative justice melalui nomor 0813-9000-2207.(fh/sumber:detik)