Sejarah Moskva, Kapal Perang yang Kini Karam `Terhantam Rudal`:Simbol Dominasi Rusia di Laut Hitam dan Duri Bagi Ukraina

  • Oleh : Redaksi

Sabtu, 16/Apr/2022 00:49 WIB
Kapal perang Moskva saat melakukan patroli di Laut Mediterania di Teluk Suriah. Foto: bbcindonesia.com. Kapal perang Moskva saat melakukan patroli di Laut Mediterania di Teluk Suriah. Foto: bbcindonesia.com.

JAKARTA (BeritaTrans.com) - Moskva, kapal perang milik Rusia yang rusak karena ledakan pada Rabu, telah karam, kata Kementerian Pertahanan Rusia. Ia menjadi kapal perang terbesar pertama yang karam dalam pertempuran sejak Perang Dunia Kedua. 

Kapal perang dari Armada Laut Hitam milik Rusia ini tengah diderek ketika "badai kencang" membuatnya karam, menurut pernyataan kementerian.

Baca Juga:
Berani! Houthi Yaman Balas Serang Balik Kapal Perang AS

Kapal penjelajah dengan 510 kru ini adalah simbol kekuatan militer Rusia di Laut Hitam, kata Michael Petersen, peneliti di Institut Kajian Maritim Rusia.

Moskva juga dikenal karena memimpin serangan ke Ukraina melalui jalur laut.

Baca Juga:
KSAL Tegaskan 4 Kapal Perang Indonesia Siaga di Laut Natuna: Kapal China Hanya Boleh Melintas

"Ia adalah simbol kekuatan angkatan laut Rusia di Laut Hitam," ujar Petersen.

"Ia ibarat duri bagi Ukraina sejak invasi dilancarkan ... karamnya [Moskva] akan menjadi penambah semengat dan moral bertempur bagi Ukraina," tambahnya.

Baca Juga:
Menhan Prabowo Subianto Ingin Tingkatkan Modernisasi Kapal Perang TNI AL: Yang Tidak Bisa Operasional Segera Masuk Dock

Militer Rusia mendominasi Laut Hitam sejak aneksasi pada 2014. Mereka menggunakan Moskva untuk melancarkan serangan dan memasok kebutuhan invasi ke Ukraina.

Kehadirannya membuat Rusia bisa melancarkan serangan rudal ke wilayah mana pun di Ukraina. Ia memegang perang penting dalam upaya Rusia menguasai sepenuhnya kota pelabuhan Mariupol di selatan.

Moskva dibuat di era Soviet dan mulai dipergunakan sejak 1980-an, kata media Rusia.

Kapal yang bisa menembakkan rudal ini pernah dipakai Rusia dalam konflik Suriah. Dikatakan, Moskva dilengkapi rudal antikapal Vulkan, perlengkapan anti-kapal selam, dan persenjataan lain.

Moskva menjadi kapal utama Rusia kedua yang ancur sejak invasi dimulai.

'Rusak parak terkena rudal Neptune'

Kyiv mengatakan misil yang mereka luncurkan telah mengenai kapal tersebut. Namun Moskow tak melaporkan adanya serangan apapun. Rusia hanya mengatakan, kapal itu karam setelah ada kebakaran.

Kobaran api ini menimbulkan ledakan dari amunisi yang disimpan di dalam kapal tersebut, kata Rusia, menambahkan bahwa seluruh kru kemudian dievakuasi ke kapal-kapal terdekat lain milik Rusia di Laut Hitam. Mereka tidak memberikan detail lebih jauh.

Setelah sebelumnya mengatakan kapal perang itu masih terapung, pada Kamis petang, media milik pemerintah Rusia menyiarkan berita bahwa Moskva telah hilang.

"Ketika sedang diderek ... menuju pelabuhan, kapal tersebut kehilangan keseimbangan karena kerusakan di bagian lambung kapal, yang terjadi akibat ledakan amunisi. Karena ombak begitu dahsyat, kapal karam," lapor kantor berita pemerintah Tass, yang mengutip kementerian pertahanan.

Pejabat militer Ukraina berkata mereka menembak Moskva dengan misil Neptune buatan Ukraina sendiri - sebuah senjata yang didesain setelah aneksasi Rusia pada Krimea pada 2014, dan ancaman dari laut terhadap negara tersebut di Laut Hitam semakin meningkat.

Seorang pejabat senior Ukraina berkata, setidaknya ada 510 awak kapal yang seharusnya berada di atas Moskva.

Dibuat pada era Soviet, Moskva mulai dipergunakan pada awal 1980-an. Kapal ini dulunya bersandar di kota pelabuhan di selatan Ukraina, Mykolaiv, yang beberapa hari belakangan dibombardir oleh Rusia.

Kapal penjelajah dengan peluru kendali ini sebelumnya diberangkatkan oleh Moskow ke konflik Suriah, di mana Moskva berfungsi untuk memperkuat pertahanan armada laut Rusia.

Dilaporkan kapal ini memiliki 16 anti-rudal Vulkan dan seperangkat peralatan anti-kapal selam dan anti-torpedo.

Jika serangan dari Ukraina dapat dikonfirmasi, kapal Moskva dengan berat 12.490 ton ini menjadi kapal perang terbesar yang karam karena serangan lawan sejak Perang Dunia Kedua.

Ini adalah kehilangan kapal besar Rusia yang kedua sejak invasi dimulai. Pada Maret, kapal pendarat Saratov rusak karena serangan Ukraina di Bandar Berdyansk, yang terletak di Pelabuhan Laut Azov, sebuah pelabuhan milik Ukraina yang diambil alih oleh Rusia.

Rusia klaim 1.000 marinir Ukraina menyerahkan diri

Dalam perkembangan sebelumnya, Rusia mengatakan lebih dari 1.000 marinir Ukraina telah menyerah di kota pelabuhan Mariupol - yang telah berminggu-minggu dikepung dan dibombardir oleh pasukan Rusia - tetapi Ukraina membantah klaim itu.

Wakil Wali Kota Mariopol, Serhiy Orlov mengatakan kepada BBC bahwa pasukan Ukraina di kota itu masih bertempur. Sementara, tambahnya, puluhan ribu orang diperkirakan tewas di kota itu.

Televisi Rusia menyiarkan rekaman yang menurut mereka menunjukkan para marinir itu menyerahkan diri di pabrik baja.

Namun seorang penasihat presiden Ukraina bersikeras bahwa para marinir sebetulnya telah menerobos untuk terhubung dengan pasukan batalyon Azov di kantong lain.

Mariupol adalah sebuah kota pelabuhan besar dan merupakan target utama Rusia yang berupaya membangun jalur darat ke Semenanjung Krimea, wilayah di Ukraina yang dicaploknya pada 2014.

Kota itu telah menjadi target serangan dahsyat pasukan Rusia, sedangkan pasukan Ukraina di wilayah itu mengatakan mereka kehabisan amunisi.

Populasi Mariupol mencapai lebih dari 400.000 sebelum invasi Rusia. Penduduk yang tidak dapat melarikan diri kesulitan mengakses kebutuhan dasar untuk bertahan hidup.

Seorang pejabat senior pertahanan AS menuturkan bahwa serangan udara Rusia terus menargetkan Mariupol dan AS tidak percaya bahwa kota itu telah sepenuhnya diambil alih oleh Rusia.

Sebelumnya, pada Rabu, wartawan Reuters melihat api mengepul dari pabrik baja Azovstal di mana marinir dan brigade ke-36 bersembunyi selama berminggu-minggu.

Putin lanjutkan serangan sampai tujuan Rusia tercapai

Sebelumnya, Presiden Vladimir Putin bertekad tetap melanjutkan invasi Rusia di Ukraina sampai tujuan "mulia" negaranya tercapai.

Dalam penampilan publiknya yang jarang terjadi, Putin menyatakan perundingan damai telah mencapai jalan buntu.

Putin juga bersikeras bahwa invasi yang kini memasuki pekan keenam masih berjalan sesuai rencana.

Sementara itu, seorang pejabat Ukraina mengatakan kepada Reuters bahwa negosiasi dengan Rusia berjalan alot, namun masih terus berlanjut.

Ini merupakan komentar pertama Putin terkait konflik di Ukraina dalam kurun lebih dari seminggu belakangan. Dia tidak banyak muncul belakangan ini, berbeda dengan masa-masa awal invasi.

Pernyataan itu dia sampaikan ketika mengunjungi fasilitas luar angkasa di Rusia timur bersama pemimpin Belarusia sekaligus salah satu sekutu terdekatnya, Aleksandr Lukashenko, untuk memperingati ulang tahun ke-61 Yuri Gagarin, orang pertama yang pergi ke luar angkasa.

Putin mengklaim dia tidak memiliki pilihan selain melancarkan invasi demi melindungi penduduk penutur bahasa Rusia di Ukraina timur.

Kremlin menuding Kyiv telah melakukan genosida terhadap penutur bahasa Rusia di Ukraina timur, tetapi tidak ada bukti yang mendukung tuduhan itu.

"Di satu sisi, kami membantu dan menyelamatkan orang-orang, dan di sisi lain, kami hanya mengambil tindakan untuk memastikan keamanan Rusia sendiri," tegas Putin.

"Jelas bahwa kami tidak punya pilihan. Itu adalah keputusan yang tepat," katanya, seraya menambahkan bahwa Rusia akan "secara tenang dan berirama " melanjutkan invasi.

Fokus Moskow dalam invasi telah beralih ke Ukraina timur. Mereka memindahkan pasukan dari utara setelah menghadapi perlawanan sengit pada pekan-pekan awal invasi atau apa yang disebut oleh Putin sebagai "operasi khusus".

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengungkapkan 10 juta orang telah mengungsi dari rumah-rumah mereka sejak invasi dimulai.

Juru bicara kepresidenan Rusia, Dmitry Peskov pada pekan lalu mengakui bahwa Rusia telah "kehilangan tentara dalam jumlah yang signifikan" sejak konflik dimulai.

Namun jumlah kehilangan itu, baik berdasarkan versi Rusia maupun versi Ukraina, tidak bisa diverifikasi secara independen.

Sejumlah pengamat memperingatkan bahwa Rusia mungkin menyampaikan jumlah yang lebih kecil dari yang sebenarnya. Sedangkan Ukraina mungkin menyampaikan jumlah yang lebih banyak demi mengangkat moral.

Para pemimpi Barat meyakini sekitar 7.000 hingga 15.000 tentara Rusia telah terbunuh.

Perekonomian Rusia pun telah terpukul oleh beragam sanksi yang diberikan negara-negara Barat.

Namun Putin mengatakan Rusia "tidak ingin diasingkan" , dengan alasan bahwa "tidak mungkin mengasingkan siapa pun di dunia modern ini - terutama atas negara sebesar Rusia".

Lukashenko juga menepis dampak dari sanksi negara-negara Barat. "Mengapa kita begitu khawatir mengenai sanksi ini?"

Rusia terus menggempur

Pada akhir Maret lalu, Gubernur Chernihiv, Ukraina utara mengatakan pasukan Rusia terus menggempur kota-kota di wilayah itu, meskipun Moskow telah berjanji mengurangi operasi militer di Chernihiv dan di sekitar Kyiv. 

Vyacheslav Chaus mengatakan pasukan Rusia menyerang Kota Chernihiv, menghancurkan gedung-gedung sipil dan juga menyasar kota kecil di dekatnya, Nizhyn. 

"Kami belum menyaksikan adanya jeda yang menunjukkan militer mereka menepati janji," kata Viacheslav Chaus kepada BBC.

Ditambahkan, yang menjadi sasaran serangan adalah infrastruktur sipil. 

Serangan artileri juga terjadi di luar ibu kota Kyiv pada Selasa malam (29/03) hanya beberapa jam sesudah delegasi Rusia dalam perundingan dengan Ukraina mengatakan Moskow memutuskan untuk "secara drastis mengurangi" operasi militer di Kyiv dan Chernihiv.

Pengumuman itu dikeluarkan menyusul perundingan yang ditengahi Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan di Istanbul.

Meski demikian juru bicara Kremlin pada Rabu (30/03) mengatakan bahwa delegasi Rusia dan Ukraina tidak menghasilkan "terobosan" dalam perundingan.

"Yang menggembirakan adalah Ukraina setidaknya mulai secara khusus memformulasikan dan menulis apa yang diajukan. Sampai sekarang kami belum mencapai tahap itu," kata Dmitry Peskov dalam jumpa pers di Moskow.

Sehari sebelumnya di Istanbul, Wakil Menteri Pertahanan Rusia Alexander Fomin mengatakan langkah itu diambil "untuk meningkatkan rasa saling percaya". 

Di samping itu, keputusan diambil untuk menciptakan situasi yang diperlukan bagi perundingan selanjutnya dan bagi penandatangan perjanjian pada akhirnya nanti.

Namun putaran perundingan pada Selasa (29/03) lalu belum sampai menghasilkan gencatan senjata. 

Delegasi Ukraina mengatakan pihaknya setuju mengadopsi status netral - salah satu tuntutan utama Rusia - dengan imbalan jaminan keamanan. 

Dengan status netral maka Ukraina tidak akan bergabung ke dalam aliansi militer seperti Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan tidak menjadi basis militer bagi negara-negara lain. Ukraina sebelumnya ingin menjadi anggota NATO yang mendapat penolakan keras dari Rusia.

Perkembangan ini terjadi dalam perundingan di kantor presiden Turki yang disebut Istana Dolmabahce, terletak di pinggir Selat Bosphorus, Istanbul.

Dalam sambutannya, Presiden Recep Tayyip Erdogan mendesak Rusia dan Ukraina untuk mengakhiri apa yang disebutnya sebagai tragedi bersama dari perang ketika membuka putaran terbaru perundingan perdamaian di Istanbul pada Selasa (29/03).

Presiden Erdogan kembali menyerukan perlunya gencatan senjata dan sudah waktunya perundingan membuahkan hasil nyata.

Ia menambahkan persahabatan Turki dengan kedua negara membuatnya merasa perlu untuk menjadi penengah.

"Upaya mengakhiri tragedi ini tergantung pada kedua pihak," kata Presiden Erdogan ketika membuka pertemuan kala itu. (dn/sumber: bbcindonesia.com)