BPTJ Sebut Penerapan TOD Belum Sepenuhnya Berorientasi Transportasi Massal

  • Oleh : Naomy

Senin, 27/Jun/2022 15:34 WIB
Pengguna KRL yang akan transit di Manggarai Pengguna KRL yang akan transit di Manggarai


JAKARTA (BeritaTrans.com) - Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) menyebutkan, pengembangan kawasan dengan konsep Transit Oriented Development (TOD) khususnya di wilayah Bodetabek saat ini umumnya belum sepenuhnya menerapkan pola transportasi yang terpadu/terintegrasi khusus berkenaan dengan aksessibilitas ke simpul moda dan pusat kegiatan. 

Direktur Prasarana BPTJ Jumardi hal itu terjadi karena konsep TOD belum disepenuhnya dipahami secara utuh, sehingga implementasi yang dilakukan juga belum menyeluruh. 

Baca Juga:
BPTJ Pastikan Kesiapan SPM di Stasiun Pondok Rajeg Jelang Dioperasikan

"Sering terjadi, para pengembang kawasan merasa sudah menerapkan TOD apabila kawasan yang dikembangkan sudah memiliki fasilitas terhubung angkutan umum massal berbasis rel seperti KRL untuk menfasilitasi mobilitas lintas wilayah," ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (27/6/2022). 

Sementara itu fasilitas transportasi massal yang mengakomodir pergerakan di dalam kawasan TOD tersebut justru belum tersedia. 

Baca Juga:
BPTJ Akan Tambah Lintasan Skybridge Bojonggede Menuju Peron Arah Jakarta

Mengenai bagaimana sebenarnya konsep TOD, dia menjelaskan ada dua pendekatan dalam penataan kawasan berkonsep TOD. 

Pertama, bagaimana mengoptimalkan pemanfaatan lahan yang relatif tidak terlalu luas untuk banyak fungsi. 

Baca Juga:
MRT & LRT Jakarta Beroperasi hingga Jam 2 di Malam Tahun Baru

"Jadi dalam satu kawasan semua kegiatan yang berkaitan dengan kebutuhan sehari-hari pergerakannya dapat dilakukan sefisien mungkin, cukup menggunakan Non Motorized Transport (NMT)," urainya. 

Kebutuhan sehari-hari manusia yang tinggal di kawasan tersebut setidaknya bisa dipenuhi juga di kawasan tersebut. 

Misalnya mau belanja cukup dengan berjalan kaki atau bersepeda karena jaraknya dekat. 

Pendekatan kedua adalah pendekatan transportasi massal, untuk kebutuhan pergerakan yang lebih jauh, baik yang masih dalam kawasan TOD ataupun ke luar wilayah TOD. 

"Tujuannya adalah bagaimana aksesibilitas masyarakat di sekitar simpul transportasi semakin baik yang ditandai dengan warga bisa bergerak dengan mudah dan tidak ada hambatan. 

"Sistem transportasi massal yang ada juga harus memiliki integrasi antarmoda yang memadai dan mampu menghubungkan pusat kegiatan dengan mudah," ucap Jumardi.

Kedua pendekatan itu, kemudian digabung sehingga lahirlah satu konsep penataan TOD yang merupakan wujud interaksi sektor transportasi dengan tata guna lahan yang mengedepankan aksesibilitas/konektivitas yang seamless, penggunaan angkutan umum massal dan Non Motorized Transport (NMT) serta fungsi pemanfaatan ruang campuran. 

Konsep ini, menurut Jumardi, tidak hanya menciptakan transportasi yang berkelanjutan namun juga kawasan berkelanjutan dengan dampak sosial, ekonomi dan lingkungan yang signifikan
 
“Saat ini kecenderungan yang terjadi pengembangan kawaasan TOD belum banyak menyediakan transportasi massal untuk pergerakan di dalam kawasan tersebut, sehingga yang terjadi mobilitas masyarakat di dalam kawasan tersebut tetap mengandalkan kendaraan pribadi,” katanya. 

Kondisi ini tentunya berpotensi menyebabkan kemacetan seiring dengan pertambahan penghuninya dari waktu ke waktu dan menjadi kontradiktif terhadap tujuan pengembangan kawasan berkonsep TOD.

Agar penerapam TOD dapat berjalan dengan menyeluruh dan optimal, dia menggarisbawahi pentingnya peran Pemerintah Daerah setempat. 

“Pemerintah Daerah sesuai ketentuan peraturan yang ada memiliki kewenangan yang kuat agar TOD di wilayahnya dapat berjalan dengan seharusnya,” kata Jumardi. 

Pemerintah Daerah menurut Jumardi harus mampu mengambil peran kongkret dengan tidak menyerahkan semuanya kepada pengembang. Misalnya pada kasus di mana fasilitas transportasi massal untuk mobilitas di dalam kawasan TOD belum tersedia, maka Pemerintah Daerah harus terlibat di dalamnya untuk menyelesaikan masalah tersebut. 

“Pemerintah Daerah bisa saja membangun sistem angkutan umum massal berbasis BRT (Bus Rapid Transit) dengan mekanisme “Buy The Service" (BTS),” kata Jumardi. 

Menurutnya, Pemerintah Daerah tidak bisa lepas tangan karena sesuai dengan ketentuan perundangan yang memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan angkutan umum perkotaan adalah Pemerintah Daerah setempat.

Lebih lanjut Jumardi memberikan contoh pengembangan kawasan TOD yang berada di sekitar wilayah Tangerang. 

Terdapat pengembangan kawasan berkonsep TOD dengan cakupan wilayah yang relatif berdekatan baik di Kota Tengerang, Tangerang Selatan, dan Kabupaten Tangerang yang bahkan bersinggungan sebagian wilayah Kabupaten Bogor seperti di TOD Tenjo yg berpusat pada stasiun KRL Tenjo. 

Menurutnya, fokus pendekatan transportasi pada implementasi TOD di wilayah tersebut masih terbatas pada bagaimana mendekatkan pemukiman ke stasiun kereta, sementara kebutuhan transportasi massal untuk menjangkau kawasan sekitar yang terlalu jauh apabila menggunakan non motorized transportation belum tersedia. 

“Sebenarnya bisa saja Pemerintah Daerah di sekitar wilayah tersebut saling bekerja sama dan berkolaborasi untuk menyelenggarakan layanan Bus Rapid Transit yang teintegrasi antar wilayah. Jadi tidak perlu setiap Pemerintah Daerah membangun sendiri sendiri, Pemerintah Pusat dalam hal ini BPTJ siap untuk menfasilitasi sesuai dengan kewenangan dan tugas serta fungsi yang dimiliki,” ujar Jumardi.

Dia menilai hal tersebut perlu mendapatkan perhatian agar nantinya tidak muncul permasalahah kemacetan yang berdampak negatif terhadap kualitas hidup masyarakat. 

Data menunjukkan pada tahun 2019, Kota Tangerang Selatan menjadi kota paling tercemar kualitas udaranya se-Asia Tenggara, dengan rata rata indeks kualitas udara sebesar 81.3. 

Kemudian pada tahun 2020, peringkat pertama kota paling tercemar kualitas udaranya se-Asia Tenggara masih diduduki oleh Kota Tangerang Selatan dengan indeks kualitas udara sebesar 74.9. 

“Memang belum tentu transportasi menjadi kontributor utama buruknya kualitas udara di wilayah Tangerang mengingat besar kemungkinan sektor industri juga berperan besar. Namun demikian jangan sampai suatu saat nanti permasalahan transportasi seperti kemacetan membuat kondisi menjadi semakin buruk karena dampak yang dihasilkan akan lebih luas pada aspek sosial, ekonomi dan lingkungan.” pungkas Jumardi. (omy)

 

Tags :