Harga Tiket Pesawat Naik Tinggi, Begini Penjelasan INACA

  • Oleh : Fahmi

Sabtu, 09/Jul/2022 09:02 WIB
Foto:Ilustrasi Foto:Ilustrasi

JAKARTA (BeritaTrans.com) - Harga tiket pesawat terbang pada beberapa waktu terakhir sempat mengalami harga tinggi. 

Kenaikan harga tiket pesawat misalnya tercermin pada harga tiket rute Jakarta-Singapura yang berdasarkan pantauan di penjualan online pada Rabu (6/7/2022) mencapai berkisar Rp 4,4 juta - Rp 7,2 juta. Sebelum kenaikan, harga tiket rata-rata maskapai penerbangan untuk rute Jakarta-Singapura biasanya berkisar Rp 3 juta. 

Baca Juga:
Tiket Penerbangan Internasional Akan Naik 5 Persen?

Ketua Umum Indonesia National Air Carrier Association (INACA),  Denon Prawiraatmadja menjabarkan sejumlah faktor yang berperan besar dalam mendorong kenaikan harga tiket pesawat, salah satunya kenaikan harga avtur. 

“Harga avtur ini sangat  berpengaruh terhadap beban operasi kegiatan penerbangan,” ujar Denon kepada wartawan, Rabu (6/7/2022). 

Baca Juga:
Pengamat Sebut Saat Revisi TBA Tiket Pesawat, Komponen Biaya Perlu Dipertimbangkan

Sejalan dengan penuturan Denon, harga avtur memang mengalami kenaikan. Mengutip pemberitaan (1/7), harga avtur di Bandara Soekarno-Hatta periode 15-30 Juni 2022 sebesar Rp 17.362 per liter. Angka ini mengalami kenaikan dibandingkan periode 15-30 Maret 2022 yang sebesar Rp 13.677 per liter. 

Menurut Denon, biaya avtur dan biaya leasing menjadi 2 komponen biaya dengan porsi paling besar dalam biaya operasional. Porsi keduanya mencapai sekitar 60% dalam pos beban tersebut. 

Baca Juga:
INACA: Dampak Keterbatasan Jumlah Pesawat, Target Penumpang Tahun 2023 Tidak Tercapai

Selain avtur, penguatan dolar Amerika Serikat (AS) yang mendekati Rp 15.000 per dolar AS juga turut menambah beban maskapai, sebab biaya sewa pesawat dibayarkan dengan menggunakan mata uang dolar AS. 

Faktor lainnya, pasokan pesawat yang beroperasi saat ini terbatas akibat efek menyusutnya permintaan akibat pagebluk Covid-19 sebelumnya. Denon mengaku tidak mempunyai hitungan pasti berapa persisnya jumlah pesawat yang aktif beroperasi saat ini, namun ia memperkirakan jumlahnya berkisar 50%-60% dari jumlah pesawat yang beroperasi saat sebelum pandemi Covid-19 dulu. 

Di sisi lain, opsi untuk kembali mengoperasikan pesawat yang tidak aktif selama masa pandemi juga tidak mudah dan perlu melalui proses yang memakan waktu. Walhasil, permintaan penerbangan yang ada melebih supply pesawat yang ada.  

“Untuk bisa membuat pesawat yang tidak beroperasi lebih dari setahun menjadi layak terbang lagi harus masuk ke MRO, nah MRO ini kan ketersediaannya terbatas, jadi sekarang ini antrean pesawat untuk bisa layak terbang lagi dari MRO ini juga menjadi tantangan tersendiri bagi maskapai,” terang Denon.(fh/sumber:kontan)