Pentingnya Penyeberangan Perintis untuk Konektivitas dan Pengembangan Ekonomi

  • Oleh : Naomy

Minggu, 19/Feb/2023 12:36 WIB
Penyeberangan perintis Penyeberangan perintis


JAKARTA (BeritaTrans.com) - Kebijakan Sabuk Penyeberangan Nasional adalah konsepsi spesial terkait pengembangan jaringan transportasi penyeberangan nasional sebagai jembatan bergerak yang menghubungkan jaringan jalan nasional dan jariangan jalan rel yang terputus oleh perairan, sehingga menjadi suatu kesatuan pengembangan transportasi darat nasional yang utuh dan tak terpisahkan.

Dasar hukum penyelenggaraan pemberian subsidi angkutan penyeberangan perintis di Pasal 71 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan, menyatakan kegiatan pelayaran perintis dilakukan untuk (a) menghubungkan daerah yang masih tertinggal dan/atau wilayah terpencil yang belum berkembang dengan daerah yang sudah berkembang atau maju.

Baca Juga:
Kemenhub Gelar Workshop On The Maritime Single Window

Selanjutnya (b) menghubungkan daerah yang moda transportasi lainnya belum memadai; dan (c) menghubungkan daerah yang secara komersial belum menguntungkan untuk dilayani oleh pelaksana kegiatan angkutan laut, angkutan sungai dan danau, atau angkutan penyeberangan.

"Kegiatan pelayaran perintis yang dilakukan di daerah yang masih tertinggal dan/atau wilayah terpencil ditentukan berdasarkan kriteria (a) belum dilayani oleh pelaksana kegiatan angkutan laut, angkutan sungai dan danau atau angkutan penyeberangan yang beroperasi secara tetap dan teratur; (b) secara komersial belum menguntungkan; atau c. tingkat pendapatan perkapita penduduknya masih rendah," jabar Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata, Ahad (19/2/2023).

Baca Juga:
Pengoperasian Truk dan Percepat Bongkar Muat, Terminal Teluk Lamong Berkolaborasi dengan MTI

Pasal 61, menyebutkan angkutan penyeberangan merupakan angkutan yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan jaringan jalan atau jaringan jalur kereta api yang dipisahkan oleh perairan untuk mengangkut penumpang dan kendaraan beserta muatannya. 

Pelayaran perintis dilaksanakan pelaksana kegiatan angkutan laut, angkutan sungai dan danau atau angkutan penyeberangan dengan biaya yang disediakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.  

Baca Juga:
Pengamat MTI: Penyesuaian Tarif Penyeberangan Tingkatkan Pelayanan Pengguna Jasa

Biaya yang disediakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah merupakan subsidi sebesar selisih biaya pengoperasian kapal dengan pendapatan dan/atau penghasilan uang tambang barang dan penumpang pada suatu trayek tertentu (pasal 72).

Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik untuk Angkutan Barang dari dan ke Daerah tertinggal, Teropencil, Terluar dan Perbatasan, menyatakan penyelenggaraan kewajiban pelayanan publik untuk angkutan barang di darat termasuk angkutan jalan dan/atau penyeberangan diselenggarakan oleh pemerintah.

Angkutan penyeberangan perintis

Data dari Direktorat Transportasi Sungai, Danau dan Penyeberangan, Ditjen Hubdat menyebutkan ada 259 pelabuhan penyeberangan.

Terdiri dari 233 pelabuhan penyeberangan yang beroperasi, tujuh pelabuhan penyeberangan yang belum beroperasi (selesai dibangun 2021) dan 19 pelabuhan penyeberangan dalam proses konstruksi. 

"Selain itu terdapat 57 lintas angkutan penyeberangan (83 lintas angkutan penyeberangan komersial dan 274 lintas angkutan penyeberangan perintis)," katanya. 

Dilayani oleh 427 kapal yang terbagi 321 kapal komersial dan 107 kapal perintis. Kapal milik swasta 5 persen, BUMN 37 persen dan sisanya BUMD 5 persen.

Sebanyak 47 lintas antarprovinsi (13 persen). Sisanya 150 lintas dalam provinsi atau antar kab/kota (42 persen) dan 161 lintas dalam kab/kota (45 persen). 

Untuk memuluskan layanan diperlukan koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah dalam hal (1) pelaksanaan dan kewenangan tarif lintas penyeberangan; (2) penetapan lintas baru; (3) dan evaluasi lintas eksisting.

Disamping itu ada operator kapal swasta hanya sebanyak enam unit (5 persen) dari 107 kapal yang melayani lintas perintis, sisannya merupakan BUMN (82 persen) dan BUMD (13 persen) yang merupakan kapal dibangun oleh Pemerintah. 

"Saat ini, kebijakan Kementerian Perhubungan adalah tidak ada pembangunan kapal. Sementara masih terdapat banyak usulan lintas yang belum dapat terlayani karena keterbatasan kapal/sarana," ucap dia. 

Sesungguhnya, swasta dapat juga untuk ikut berpartisipasi melayani lintas angkutan penyeberangan perintis. 

Harus ada insentif yang dapat diberikan pada pihak swasta untuk lebih banyak ikut serta dalam pengoperasian angkutan penyeberangan perintis.

Ada kriteria untuk lintas angkutan penyeberangan perintis, seperti belum tersedia layanan yang tetap dan teratur; secara komersial belum menguntungkan; tingkat pendapatan penduduk masih rendah; dan faktor muat rata rata per tahun kurang dari 60 persen.

Perkembangan angkutan penyeberangan perintis dalam lima tahun terakhir, tahun 2019 jumlah lintasan 229 dilayani 88 kapal dengan anggaran subsidi Rp477.950.233.000. 

"Tahun 2020 jumlah lintasan 253 dilayani 96 kapal dengan anggaran subsidi Rp500.000.000.000," ujar Djoko.

Tahun 2021 jumlah lintasan 276 dilayani 100 kapal dengan anggaran subsidi Rp487.068.884.000. Tahun 2022 jumlah lintasan 289 dilayani 106 kapal dengan anggaran subsidi Rp448.587.599.000.

Tahun 2023 jumlah lintasan 274 dilayani 107 kapal dengan anggaran subsidi Rp 583.083.311.000. Anggaran subsidi terbesar berada di Provinsi Maluku Rp91,5 miliar (15,7 persen), berikutnya Provinsi Papua (Rp87,4 miliar (14,99 persen) dan Direktorat TSDP Rp72,1 miliar (12,38 persen).

Angkutan penyeberangan perintis tidak selamanya mendapatkan subsidi dari pemerintah, sehingga setiap tahun dapat dilakukan evaluasi.

Jika ekonomi wilayah tersebut sudah berkembang, angkutan penyeberangan perintis beralih dapat menjadi angkutan komersial. 

Peralihan subsidi menjadi komersial

Dalam lima tahun terakhir data dari Ditjen Hubdat, ada 24 lintas yang alami peralihan dari subsidi menjadi komersial. 

Tahun 2017 ada enam lintas, yaitu lintas Tanjung Balai Karimun – Kundur dan lintas Tanjung Balai Karimun – Mengkapan (Provinsi Kepulauan Riau); lintas Jepara – Karimun Jawa (Provinsi Jawa Tengah), lintas Bitung – Minanga dan lintas Melonguane – Musi (Provinsi Sulawesi Utara).

Tahun 2018 ada empat lintas, yaitu lintas Padang – Sikakap (Provinsi Sumatera Barat); lintas Sadai – Tanjung Ru (Provinsi Kepulauan Bangka Belitung); lintas Bitung – Melonguane (Provinsi Sulawesi Utara); dan lintas Sanana - Mangole (Provinsi Maluku).

"Tahun 2021 ada tiga lintas, yaitu lintas Meulaboh – Sinabang (Provinsi Aceh); lintas Batulicin – Garongkong (Provinsi Kalimantan Timur); dan lintas Tarakan – Sembawang (Provinsi Kalimantan Utara)," imbuhnya.

Tahun 2022 ada 11 lintas, yaitu lintas Calang – Sinabang (Provinsi Aceh); lintas Telaga Punggur – Dabo dan lintas Dabo – Kuala Tungkal (Provinsi Jambi dan Provinsi Kepulauan Riau); lintas Bitung – Melonguane dan lintas Boitung – Mangaran (Provinsi Sulawesi  Utara); lintas Kendal – Kumai (Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Kalimantan Tengah); lintas Kalianget – Kangean, lintas Paciran – Bawean, lintas Kalianget – Raas (Provinsi Jawa Timur); dan lintas Aimere – Waingapu (Provinsi Nusa Tenggara Timur).

"Peranan transportasi penyeberangan antara lain menghubungkan daerah yang masih 3TP yang belum berkembang dengan daerah yang sudah maju/berkembang; meningkatkan perekonomian daerah; menjaga tingkat inflasi; dan pemerataan pembangunan," urainya.

Untuk mengoptimalkan peranan angkutan penyeberangan tersebut diperlukan dukungan, pertama Operator Kapal dan Pelabuhan, yang Berperan penting untuk menjaga performa kapal, dan pelabuhan agar tetap dapat beroperasi. 

Kedua, Pemerintah Daerah, terkait kebijakan perizinan kapal dan kebijakan tarif lintas sesuai kewenangan. Ketiga, Pemerintah Pusat (Dit. TSDP dan BPTD), dalam hal penyediaan anggaran subsidi, melakukan pengawasan dan pengendalian, dan melakukan evaluasi secara berkala.

Rata-rata persentase pertumbuhan angkutan penyeberangan perintis per tahun untuk trip sebesar 11,17 persen; kendaraan roda 4 campuran 11,37 persen dan barang (ton) 19,78 persen. 

"Peningkatan tersebut menunjukan adanya bangkitan perjalanan, peningkatan ekonomi, peningkatan pembangunan pada daerah yang terlayani," pungkas Djoko. (omy)