Perusahaan Keagenan Awak Kapal Merasa Tidak Tenang! Beredar Teror WA ke Pemilik SIUPPAK di Jateng, Tak Miliki SIP3MI Akan Disweeping yang Diduga Oknum Aparat

  • Oleh : Ahmad

Jum'at, 26/Jul/2024 12:39 WIB
Foto istimewa/ Foto istimewa/

JAWA TENGAH (BeritaTrans.com) - Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (DPP AP2I) mendapatkan informasi mengenai beredarnya pesan berantai melalui pesan WhatsApp Broadcast, yang didapat dari beberapa Perusahaan Keagenan Awak Kapal Mitra Kerja Tripartit (MKT) AP2I (Unsur Pengusaha/UPs) pemilik Surat Izin Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK) yang merasa tidak tenang dan terganggu dalam aktivitas usahanya dalam menjalankan usaha keagenan awak kapal yang ditempatkan di kapal berbendera asing di luar negeri.

Pesan tersebut, yang AP2I dapatkan dari beberapa MKT AP2I UPs, berikut kutipannya:

Baca Juga:
Perusahaan Tak Miliki Izin Bisa Rekrut dan Kirim Pelaut ke Luar Negeri? Ini Penjelasannya!

“Kabar angin terbaru di wilayah jateng infonya tim gabungan kepolisian akan turun sweping, sidak ke PT, PT yang belum ber SIP3MI yang masih buka/aktif mulai tanggal 25 Juli 2024 hingga Agustus 2024 entah benar atau kabar hoak tentunya itu sudah membuat para Ship Manning Agency seperti didiskriminasi oleh aparat penegak hukum di wilayahnya... Mohon masukan dan pencerahanya para senior dan para ahli......”

Menanggapi beredarnya pesan tersebut di atas, AP2I menyarankan kepada MKT AP2I Ups, untuk:

Baca Juga:
Pelaut Dianggap Pekerja Migran, AP2I Gugat UU PPMI ke Mahkamah Konstitusi

1. Pemilik SIUPPAK disarankan untuk menanyakan atau memperjelas maksud dan tujuan dari disebarnya pesan tersebut kepada orang atau oknum yang meyebarkan pesan tersebut agar dapat mempertanggungjawabkan apa yang telah disebarkan, apakah benar pesan tersebut bersumber dari pejabat kepolisian? atau bersumber dari pejabat dari instansi lain selain dari kepolisian? atau bersumber dari organisasi masyarakat? atau bersumber dari orang perseorangan?

2. Pemilik SIUPPAK disarankan untuk berkomunikasi dan berkoordinasi dengan pihak kepolisian setempat (Polsek atau Polres), supaya kabar yang beredar tersebut dapat diklarifikasi oleh pihak kepolisian, apakah benar pesan tersebut memang betul bersumber dari pihak kepolisian, baik bersumber dari kepolisian di Tingkat Pusat atau Provinsi atau Kabupaten/Kota atau Kecamatan?

Bahwa menurut AP2I, jika memang benar hal “isu” di atas adalah benar adanya, maka apa yang menjadi dasar dari kegiatan “Sweeping” tersebut dilakukan oleh Pihak Kepolisian? Bukankah dalam hal Perusahaan tidak memiliki SIP3MI (terbitan Kemnaker) dan SIP2MI (terbitan BP2MI) sebagaimana dimaksud dalam UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) bukanlah tindak pidana, melainkan pelanggaran perizinan berusaha yang sanksinya adalah administratif sebagaiman telah di atur dalam PP 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko?

Bahwa jika memang benar hal “isu” di atas adalah benar adanya, kenapa yang akan di “Sweeping” hanya Perusahaan Pemilik SIUPPAK? Bukankah dalam UU PPMI perizinan dibagi menjadi 2 (dua), yakni SIP3MI atau Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (terbitan Kemnaker) merupakan IZIN BADAN HUKUMNYA dan SIP2MI atau Surat Izin Usaha Perekrutan Pekerja Migran Indonesia (terbitan BP2MI) sebagai IZIN REKRUTNYA, di mana SEHARUSNYA sangat perlu dilakukan “Sweeping” terhadap Pemilik SIP3MI apakah sudah dipastikan semua pemilik SIP3MI dalam melakukan aktivitas PEREKRUTANNYA telah MEMILIKI SIP2MI dari BP2MI? Selain itu, apakah pernah terpikir juga untuk melakukan “Sweeping” terhadap LPK atau Lembaga Pelatihan Kerja yang terdapat fakta-fakta di lapangan dalam menjaring calon pekerja untuk masuk ke LPK adalah IMING-IMING akan disalurkan ke pemilik SIP3MI setelah selesai menjalani masa pelatihan di LPK, yang juga tidak sedikit terjadi masalah (tidak diberangkatkan), tetapi adapula praktek LPK dapat menempatkan pekerja ke luar negeri layaknya pemilik SIP3MI?

Bahwa AP2I secara Organisasi sepakat perlu dilakukan “Sweeping” terhadap Pemilik SIUPPAK, tetapi kegiatan tersebut dilakukan oleh Tim Gabungan lintas institusi, misalnya: Polri (Polairud), Kemenhub (PPNS/Marine Inspector), Asosiasi Pengusaha Keagenan Awak Kapal, dan Asosiasi Awak Kapal, tetapi untuk kepentingan MENEGAKKAN atau MENGIMPLEMENTASIKAN ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang Pelayaran beserta aturan-aturan turunannya, misalnya adalah kewajiban mengenai Penyijilan Dokumen Pelaut: Buku Pelaut dan Pengesahan Perjanjian Kerja Laut (PKL), dalam keterangan tertulis Jumat (26/7/2024). 

Berikut kami kutipkan ketentuannya sesuai dengan hukum khusus yang mengatur mengenai tata kelola awak kapal:

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Pasal 1 ayat (61):

“SETIAP ORANG adalah ORANG PERSEORANGAN atau KORPORASI”

KORPORASI atau korporat merupakan istilah yang menunjukkan suatu badan usaha atau perusahaan yang melakukan kegiatan dalam bisnis perdagangan. Definisi korporasi menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Penggolongan korporasi sebagai badan hukum dapat dibagi menjadi korporasi badan hukum publik dan korporasi badan hukum perdata. Yang termasuk dalam korporasi badan hukum publik adalah negara, lembaga-lembaga negara berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sementara, korporasi badan hukum perdata antara lain Perseroan Terbatas, Koperasi, Yayasan, BUMN, hingga Perum (https://bit.ly/MengenalKorporasi).

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Pasal 1 ayat (64):

“Menteri adalah Menteri yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang pelayaran”

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Pasal 145:

“SETIAP ORANG dilarang mempekerjakan seseorang di kapal dalam jabatan apa pun tanpa disijil dan tanpa memiliki kompetensi dan keterampilan serta dokumen pelaut yang dipersyaratkan.”

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Pasal 312:

“SETIAP ORANG yang mempekerjakan seseorang di kapal dalam jabatan apa pun tanpa disijil dan tanpa memiliki kompetensi dan keterampilan serta dokumen pelaut yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).”

Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan (aturan turunan yang masih berlaku dari UU No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran “lama”), Pasal 1 ayat (8):

“Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang pelayaran.”

PP 7/2000, Pasal 15 ayat (1):

“Setiap pelaut yang bekerja di kapal dengan ukuran kurang dari GT.35 untuk kapal jenis tertentu, ukuran GT. 35 atau lebih untuk kapal dengan tenaga penggerak mesin, dan ukuran GT.105 atau lebih untuk kapal tanpa tenaga penggerak mesin, harus disijil oleh pejabat Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri.”

PP 7/2000, Pasal 17:

“Untuk dapat bekerja sebagai awak kapal, wajib memenuhi persyaratan:

a. memiliki Sertifikat Keahlian Pelaut dan/atau Sertifikat Keterampilan Pelaut;

b. berumur sekurang-kurangnya 18 tahun;

c. sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan Kesehatan yang khusus dilakukan untuk itu;

d. disijil.”

PP 7/2000, Pasal 18 ayat (4):

“Perjanjian Kerja Laut harus diketahui oleh pejabat Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri.”

Permenhub No. PM 59/2021, Pasal 113:

(1) Pengesahan PKL dan penyijilan buku Pelaut wajib dilakukan sebelum penempatan Pelaut di atas Kapal oleh Direktur Jenderal atau Syahbandar.

(2) Pengajuan permohonan proses pengurusan pengesahan PKL dan penyijilan buku Pelaut dapat dilakukan oleh:

a. perusahaan angkutan laut yang telah memiliki perizinan berusaha sesuai daftar kepemilikan atau sewa Kapal; atau

b. perusahaan keagenan Awak Kapal yang telah memiliki Perizinan Berusaha sesuai daftar PKB pada lampiran surat atau sertifikat tanda kebangsaan Kapal.

Permenhub No. PM 59/2021, Pasal 133:

(1) Perusahaan usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan yang tidak melaksanakan kewajibannya dapat dikenai sanksi administratif secara bertahap sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.

(2) Selain pengenaan sanksi administratif secara bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perizinan Berusaha jasa terkait dengan angkutan di perairan dapat dicabut secara langsung dalam hal perusahaan yang bersangkutan:

a. melakukan kegiatan yang membahayakan angkutan di perairan, Kesehatan, keselamatan, keamanan negara dan atau perlindungan lingkungan maritime keamanannya berdasarkan keputusan dari instansi yang berwenang;

b. membubarkan diri atau dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap;

c. memperoleh perizinan berusaha dengan cara tidak sah yang dibuktikan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

(3) Selain pengenaan sanksi sebagaimana diamaksud pada ayat (2), perusahaan

keagenan awak kapal, perizinan berusahanya dapat dicabut secara langsung dalam hal perusahaan yang bersangkutan:

a. tidak memberitahukan PKL dan tidak melakukan penyijilan pada buku Pelaut yang ditempatkannya kepada Syahbandar;

b. menempatkan atau mempekerjakan Pelaut diatas tanpa memiliki sertifikat atau dokumen kepelautan sesuai ketentuan yang berlaku;

c. terdapat kelalaian dalam melaksanakan kewajibannya seperti pembayaran gaji belum dibayar setidaknya lebih 2 (dua) bulan atau hal lain terkait hak dasar Pelaut sesuai PKL yang tidak terpenuhi; atau

d. berdasarkan hasil verifikasi tahunan dan tindakan perbaikan ditemukan ketidaksesuaian major yang tidak dapat dipenuhi sesuai ketentuan yang berlaku.

Bahwa berdasarkan hal di atas, masih sering terjadi beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh pemilik SIUPPAK adalah sebagai berikut:

1. Pemilik SIUPPAK kerap tidak melaksanakan ketentuan mengenai penyijilan buku pelaut dan pengesahan PKL di Kantor Kesyahbandaran setempat, tetapi belum dilakukan tindakan tegas terhadap pelanggaran tersebut kepada pemilik SIUPPAK yang melanggar, padahal terdapat ketentuan pidana apabila tidak melaksanakan hal tersebut, bahkan SIUPPAK perusahaan tersebut dapat langsung dicabut.

1.1. Upaya: Perlu tindakan untuk pembinaan, pengawasan, dan penertiban dalam mengimplementasikan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelayaran beserta aturan turunnanya.

2. Pemilik SIUPPAK belum sepenuhnya melakukan Pemeriksaan Kesehatan Pelaut di Rumah Sakit atau Klinik Utama yang telah terakreditasi oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.

2.1. Kendala: RS/Klinik Utama belum tersedia di tiap-tiap Kabupaten/Kota, sehingga Pemilik SIUPPAK atau Awak Kapal kerap mengeluh dan mengaku mengalami kerugian dari sisi waktu, tenaga, dan biaya.

2.2. Upaya: Perlu tindakan untuk pembinaan, pengawasan, dan penertiban dalam mengimplementasikan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelayaran beserta aturan turunnanya.

Bahwa jika yang akan di “Sweeping” jika benar, adalah hanya Pemilik SIUPPAK, maka akan ada kesan atau penilaian dari Masyarakat bahwa pihak kepolisian tebang pilih dalam melakukan penindakan dalam upaya mengimplementasikan keberlakuan PP 22/2022 mengenai kewajiban PENYESUAIAN SIUPPAK ke SIP3MI, tanpa melihat lebih luas aspek-aspek hukum lainnya, misalnya, secara etika hukum, apakah sudah tepat apabila ada suatu pasal pada PP dapat mengakuisisi suatu pasal pada PP lainnya, yang notabene kedua PP tersebut merupakan suatu aturan turunan dari UU yang berbeda.

Kemudian, nampaknya kepolisian juga perlu membaca Putusan MA No. 67 P/HUM/2022, jika benar akan melakukan "Sweeping" di mana dalam pertimbangannya, Majelis Hakim MA melalui pertimbangannya dalam memutus perkara aquo, telah sangat jelas MEMBEDAKAN tata kelola perekrutan dan penempatan termasuk perizinan bagi awak kapal dengan pekerja migran Indonesia, di mana tata kelola awak kapal di bawah Kemenhub sedangkan tata kelola pekerja migran Indonesia di bawah Kemnaker. Maka seyogyanya, secara etis dan hukum, paska adanya Putusan MA aquo, semestinya putusan dimaksud dapat menjadi dasar bagi Pemerintah untuk mengevaluasi PP 22/2022 agar dapat diperbaiki/direvisi supaya ketentuan dalam PP 22/2022 tidak bertentangan atau menabrak ketentuan dalam PP yang sebelumnya telah mengatur mengenai penyelenggaraan bidang pelayaran, dalam hal ini PP 31/2021, yang notabene PP tersebut merupakan salah satu turunan dari UU tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja yang telah merevisi beberapa ketentuan atau pasal dalam UU 17/2008 tentang Pelayaran. Apalagi, saat ini kepala atau dasar dari lahirnya PP 22/2022, yakni UU No. 18/2017 sedang dimohonkan Uji Materiil di Mahkamah Konstitusi. Alih-alih berharap akan ada evaluasi pasca adanya Putusan MA No. 67 P/HUM/2022 terhadap PP 22/2022, justru BP2MI kemudian menerbitkan SE No. 1 Tahun 2023 tentang Pelayanan Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran, yang parahnya malah didukung dengan terbitnya SE Binapenta Kemnaker No. B/6925/PK.02.02/VI/2024, Perihal Penempatan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran, yang menurut kami semakin mempertegas penilaian kami bahwa ada dugaan Kemnaker dan BP2MI melawan atau mengabaikan atau tidak menghormati adanya Putusan MA No. 67 B/HUM/2022 yang telah berkekuatan hukum tetap (BHT). (ahmad)