Oleh : Naomy
JAKARTA (BeritaTrans.com) - Upaya pemerintah menurunkan tarif tiket pesawat di masa libur Natal dan Tahun Baru (Nataru), diharapkan masyarakat pengguna jasa.
Baca Juga:
DPR Dorong Pemerintah Kaji Penurunan Harga Tiket Pesawat Tanpa Bikin Maskapai Merugi
Namun, langkah ini dinilai butuh kajian lebih mendalam, mengingat tarif akan berkaitan dengan keselamatan para penumpang pesawat.
Sebagaimana diketahui, pemerintah berupaya menurunkan tarif biaya penerbangan dengan melakukan pemotongan tarif jasa kebandaraudaraan sebesar 50 persen, memberi diskon avtur pertamina sebesar 5.3 persen, dan penurunan Fuel Surcharge untuk mesin jet sebesar 8 persen.
Baca Juga:
Presiden: Penurunan Harga Tiket Pesawat Bentuk Komitmen Pemerintah pada Rakyat
Upaya ini diharapkan mampu menekan harga tiket pesawat hingga 9.9 persen atau setara dengan Rp157.000 per tiket untuk lintasan Surabaya - Jakarta.
Diharapkan dapat menghemat Rp472.2 milliar di masa liburan Nataru pada 19 Desember 2024 hingga 3 Januari 2025.
Baca Juga:
Pemerintah Ketuk Palu Penurunan Tiket Pesawat 10%, Pertamina Turunkan Harga Avtur di 19 Bandara
Pengamat Transportasi, Bambang Haryo menilai langkah penurunan harga tiket yang dilakukan sangat diharapkan oleh masyarakat pengguna jasa.
"Tetapi ada yang perlu dikaji, bahwa tranportasi udara merupakan sarana berisiko tinggi, yang bila terjadi kegagalan akan berakibat fatal," tutur Bambang Haryo ditulis Senin (2/12/2024).
Menurutnya, sebuah perusahaan penerbangan harus bisa menutup biaya keselamatan sesuai dengan standarisasi keselamatan yang telah diatur oleh ICAO (International Civil Aviation Organization).
Faktanya, biaya keselamatan tersebut, saat ini masih belum bisa dilaksanakan maksimal beberapa perusahaan penerbangan.
"Ada beberapa yang melakukan kanibal komponen pesawat untuk mengganti komponen yang aus. Termasuk juga standarisasi pelayanan kenyamanan minimum yang sudah diatur dalam Undang-undang No 1 tahun 2009, banyak tidak dapat dipenuhi oleh masakapai penerbangan," ungkapnya.
Bambang Haryo menyatakan banyak pesawat yang diterbangkan tidak memenuhi standarisasi kenyamanan minimum.
Misalnya, pada kelas economy full service, tidak ada sarana hiburan televisi, toilet masih sering tidak ada air, air sickness tidak ada, kebersihan kabin yang sangat kurang dan seringnya terjadi keterlambatan.
"Itu semua menjadi standarisasi pelayanan minimum yang harus direalisasikan oleh airlines," tambahnya.
Anggota DPR periode 2024-2029 ini menjelaskan, harga tiket pesawat pada tahun 2016 memang masih murah, yaitu sekitar Rp700 ribu untuk maskapai lowcost dan sekitar Rp900 ribu untuk economy full service.
"Tetapi, saat itu kurs mata uang per 1 Dollar Amerika adalah Rp11 ribu. Sementara, saat ini sudah mencapai Rp15.800 naik sekitar 40 persen. Dengan demikian, masih wajar jika tarif saat ini mengalami kenaikan 40 persen atau menjadi Rp1 juta rupiah," urainya.
Apalagi pada saat peak season, dimana biasanya terjadi kenaikan semua harga tiket pesawat domestik maupun internasional.
Hal itu, kata Bambang Haryo, sesuai dengan hukum pasar. Biasanya kenaikan penerbangan domestik masih wajar, berkisar 30-50 persen dari harga tiket harga normal.
Sementara untuk tiket internasional mencatat kenaikan sampai mencapai 300 persen bahkan lebih, dari harga normal.
"Kenaikan harga tiket mendekati masa liburan tersebut, sebenarnya bisa membantu pemerintah untuk penyebaran demand atau konsumen airline, sehingga tidak akan terjadi penumpukan pengguna transportasi penerbangan di hari H peak season, sebagai akibat karena keterbatasan jumlah airline yang tidak bisa mengakomodir lebih banyak demand dari kapasitas angkutnya. Jadi bukan malah sebaliknya harga tiket dibuat murah saat mendekati dan hari H liburan," bebernya.
Bambang Haryo menyatakan kajian tentang airline ini juga perlu membahas terkait transportasi publik murah lanjutan yang harus disediakan oleh pemerintah.
Karena dengan adanya kebijakan pemindahan, banyak bandara yang belum mempunyai tranportasi publik murah lanjutan ke kota yangg dituju. Sehingga konektivitas transportasi daratnya harus menggunakan taksi yang harganya bisa lebih mahal dari penerbangannya.
Misalnya, bandara yang ada di Lombok, bila menggunakan taksi menuju ke Mataram tarifnya mencapai Rp400 ribu dan tentunya penumpang pesawat harus menanggung biaya pulang pergi.
"Padahal, harga tiket pesawat dari Surabaya ke Lombok saat ini berkisar Rp500 ribu. Jadi di kasus ini bisa dikatakan harga tiket pesawat jauh lebih murah daripada konektivitas transportasi daratnya," kata Bambang Haryo.
Lebih ironis lagi, lanjutnya, apabila harga tiket pesawat tesebut dibandingkan dengan tarif pengiriman barang melalui udara, yang memiliki minimal berat 10 kilogram, dengan tarif Rp170 ribu per kilogramnya, untuk rute Surabaya-Jakarta.
"Bisa dibayangkan, saya yang beratnya 100 kg, bila dianggap barang, tarif penerbangannya menjadi Rp1,7 juta. Nah ternyata harga manusia yang dianggap barang, yang diangkut penerbangan, jauh lebih mahal kan daripada harga tiket penumpang pesawat yang sudah diberikan fasilitas kenyamanan sesuai dengan standarisasi pelayanan minimum."
"Jadi masuk akal kan bila kita katakan tiket pesawat di Indonesia masih relatif murah untuk menjamin keselamatan nyawa publik dan barang publik yang diangkut. Tidak pernah ada yang memprotes terkait tarif barang ini. Kesannya, barang dianggap lebih berharga dibandingkan nyawa manusia. Lagipula, masyarakat yang menggunakan pesawat terbang mayoritas adalah masyarakat menengah ke atas. Bila tidak sanggup bisa menggunakan kereta api, angkutan bus, dan kapal untuk antarpulaunya," pungkasnya. (omy)