Ramai di Tengah Pandemi, Pengurusan Jenazah Manusia: Dijadikan Terumbu Karang Buatan, Pupuk Kompos dan Dikirim ke Luar Angkasa

  • Oleh : Redaksi

Selasa, 04/Mei/2021 00:42 WIB
Terumbu Karang Abadi, yang mengandung abu manusia, terletak di lepas pantai timur Amerika. Foto:.Eternal Reefs  Terumbu Karang Abadi, yang mengandung abu manusia, terletak di lepas pantai timur Amerika. Foto:.Eternal Reefs

FLORIDA (BrritaTrans.com) - Perusahaan Eternal Reefs yang berbasis di Florida, AS, mengatakan minat akan layanan pemakaman nonkonvensional yang mereka tawarkan kian meningkat di tengah pandemi.

Sejak 1998, perusahaan itu telah melayani orang-orang yang menghendaki jenazah mereka menjadi formasi terumbu karang buatan di dasar laut.

Baca Juga:
Jokowi Bakal Nyatakan Sebentar Lagi Pandemi Berakhir

Ini dilakukan dengan menambahkan abu jenazah mereka ke dalam campuran beton yang ramah lingkungan.

"Pandemi telah meningkatkan minat, tentu saja," kata George Frankel, kepala eksekutif Eternal Reef.

Baca Juga:
WHO Tetapkan DKI di Level 3 Transmisi COVID-19!

"Saya yakin pandemi telah membuka mata banyak orang pada konsep pemakaman nontradisional.

"Ada orang-orang yang memiliki minat dengan laut, tetapi kami juga mendapatkan sejumlah orang yang menyukai gagasan memberi kembali."

Baca Juga:
Kasus Penularan COVID-19 Turun, Subsidi Biaya Rawat Akan Dihentikan

Pada tahun lalu, lebih dari 2.000 terumbu karang buatan perusahaan telah ditempatkan di 25 lokasi di lepas pantai timur AS.

An Eternal Reefs reef being placed in the seaKeluarga dari orang yang abu jenazahnya djadikan terumbu karang buatan bisa menyaksikan ketika terumbu itu dipindahkan ke dasar laut. Foto: ETERNAL REEFS

'Kompos manusia'

Pandemi Covid-19 telah membuat jutaan orang di seluruh dunia kehilangan orang-orang yang mereka sayang. Itu juga sekaligus mengingatkan kita bahwa hidup itu terbatas.

Hal ini pada gilirannya membuat banyak orang berpikir kreatif tentang apa yang mereka inginkan jenazah atau abu mereka ketika mereka meninggal.

Bagi orang-orang yang menghendaki jenazahnya tetap berada di tanah, perusahaan Recompose yang berbasis di Seattle mengembangkan teknologi "kompos manusia" yang mengubah mayat manusia menjadi tanah.

Jenazah dibaringkan di dalam silinder baja tertutup, bersama dengan serpihan kayu, jerami dan potongan dari tumbuhan polong-polongan yang disebut alfalfa.

Tingkat karbondioksida, nitrogen, oksigen, panas dan kelembaban di dalam tabung kemudian dikontrol untuk memungkinkan mikroba dan bakteri berkembang biak.

Setelah 30 hari, proses pengomposan selesai, dan tiga kaki kubik tanah dipindahkan dari tabung untuk kemudian diawetkan dan diangin-anginkan selama beberapa pekan.

Kemudian, tanah disebarkan di hutan konservasi di negara bagian Washington yang dirawat dengan baik, tapi keluarga juga dapat menyimpan tanah itu, atau kombinasi keduanya.

Katrina Spade, yang mendirikan bisnis itu pada tahun 2017, mengatakan bahwa dia melihat pelonjakan pengajuan aplikasi untuk program pembayaran di muka sejak pandemi bermula.

"Ini lebih merupakan cara bercakap-cakap dengan diri Anda sendiri dan dengan teman dan keluarga Anda," katanya, "tetapi juga membuat upaya bersama untuk mempertaruhkan tanah, dan mengatakan bahwa ketika Anda meninggal Anda menginginkan salah satu pilihan, yaitu berperilaku lembut pada planet ini.

"Kami telah mendengar dari banyak orang bahwa ini memberi mereka harapan dan kenyamanan."

A dummy photo of how Recompose worksTiruan dari tabung yang menunjukkan bagaimana sistem "kompos manusia" beroperasi (tak ada mayat dalam foto ini). Foto: RECOMPOSE

Bisnis bernilai Rp1,59 kuadriliun

Tahun ini, sektor layanan perawatan kematian global diperkirakan bernilai US$110 miliar, atau sekitar Rp1,59 kuadriliun, menurut firma riset pasar The Business Research Company.

Diperkirakan bahwa ini akan meningkat menjadi US$148 miliar (Rp2,14 kuadriliun) pada tahun 2025.

Meningkatnya pilihan terkait apa yang dapat Anda lakukan dengan jenazah orang yang Anda cintai dan pertumbuhan teknologi terkait, terjadi karena jumlah kremasi dalam beberapa dekade terakhir terus meningkat - semakin banyak orang tidak hanya ingin sekedar dimakamkan.

Di AS, diperkirakan 56% orang yang meninggal tahun lalu dikremasi, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 78% dalam 20 tahun ke depan.

Padahal, pada tahun 1960-an angkanya hanya 4%.

Gambaran serupa terjadi di Inggris, 78% jenazah orang yang meninggal dikremasi pada 2019, jauh lebih tinggi ketimbang 35% pada 1960.

Peter Billingham, pakar industri pemakaman dan akhirat yang tinggal di Inggris, menjalankan podcast berjudul Death Goes Digital.

Dia mengatakan bahwa pandemi telah mempercepat penggunaan dan penerimaan teknologi di sektor tersebut.

"Covid telah mempercepat perubahan ini jauh lebih banyak daripada yang saya yakini akan terjadi oleh pertumbuhan alami," katanya.

Tribucast live streaming a funeralVideo Tribucast disiarkan langsung melalui internet, sehingga dapat ditonton dari mana saja. Foto: ,TRIBUCAST

Siaran langsung pemakaman

Perpindahan ke layanan pemakaman live streaming karena pembatasan Covid membatasi jumlah pelayat yang dapat hadir secara langsung, adalah contohnya.

Ketika ayah Michael Berrin, Mervyn meninggal di New York awal tahun ini, dia melakukan hal ini.

Dia menyewa sebuah perusahaan bernama Tribucast untuk siaran langsung pemakaman, yang memungkinkan orang-orang di seluruh AS, dan di negara-negara lain termasuk Kanada, India, Israel, Panama, Swedia dan Inggris untuk menonton upacara misa pemakaman dalam video dan suara resolusi tinggi.

"Semua orang merasa seperti mereka adalah bagian dari upacara meskipun mereka tidak secara fisik hadir di sana," kata Berrin.

Bruce Likly, salah satu pendiri Tribucast yang berbasis di Connecticut, mengatakan bahwa telepon perusahaannya "berdering" sepanjang tahun lalu.

"Bisnis kami tumbuh secara dramatis," katanya.

"Kami menganggapnya sebagai tren yang sudah muncul, yang selanjutnya dipicu oleh pandemi."

Tribucast staff preparing to live stream a burial

Staf Tribucast memastikan bahwa kamera dan perangkat untuk siaran langsung telah terpasang dengan baik sebelum acara pemakaman. Foto: TRIBUCAST

Tribucast diluncurkan pada 2017, dan juga memfilmkan pemakaman.

Likly mengatakan teknologi jarak jauhnya sudah semakin populer sebagai hasil dari dinamika keluarga dan cara pertemanan yang berubah.

Padahal pada generasi sebelumnya keluarga dan kelompok sosial relatif lebih sering terkonsentrasi di wilayah geografis tertentu, kini semakin tersebar di suatu negara, atau bahkan internasional.

Hal ini seringkali mempersulit kehadiran dala, upacara pemakaman, terutama bagi orang-orang yang beragama Yahudi atau Islam yang agamanya mengharuskan jenazah dikuburkan dalam waktu 24 jam.

"Bahkan tiga atau empat tahun lalu kami melihat 40 hingga 60 orang menghadiri setiap pemakaman dari jarak jauh," kata Likly.

"Itu ironis, karena itu adalah rata-rata kehadiran orang nasional AS.

"Kami secara efektif menggandakan kehadiran pemakaman hanya dengan memberi orang kesempatan untuk hadir dari kejauhan."

Nasa`s New Horizons launch in 2006Abu pelanggan Celestis menumpang pada peluncuran NASA tahun 2006 ini. Foto: JOHN KRAUSE

Abu dikirim ke luar angkasa

Sementara beberapa orang menginginkan sebanyak mungkin teman dan keluarga untuk dapat melihat pemakaman orang yang mereka cintai, dan yang lain ingin jenazah mereka digunakan untuk tujuan lain, beberapa dari kita menginginkan sesuatu yang lebih dramatis terjadi pada abu kita.

Hal ini tentunya ditawarkan oleh perusahaan AS, Celestis, yang selama 20 tahun terakhir telah mengirimkan abu ke luar angkasa.

Dengan menumpang pada misi luar angkasa, ini memungkinkan orang untuk mengirim abu mereka ke orbit dan sekitarnya.

Charles Chafer, salah satu pendiri dan kepala eksekutif Celestis, mengatakan bahwa berkat pengembangan operator ruang komersial, seperti SpaceX milik Elon Musk, "kami sekarang meluncurkan dua hingga tiga kali setahun ... [dan] di lima tahun ke depan saya pikir kita akan mengirimkan setiap tiga bulan."

Sumber: BBC.com

Tags :