SCI:Evaluasi soal daya saing dan infrastruktur bisa mengacu pada GCI

  • Oleh : Wilam

Kamis, 12/Agu/2021 15:40 WIB
Setijadi,  Chairman Supply Chain Indonesia (SCI) Setijadi, Chairman Supply Chain Indonesia (SCI)

BANDUNG (Beritatrans.com) - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengatakan biaya logistik Indonesia sebelas persen lebih mahal dari rata-rata biaya logistik dunia. Biaya logistik Indonesia sebesar 24 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) berdampak Indonesia kurang bersaing dengan negara-negara lain.

Erick menyebut biaya logistik Indonesia yang mahal disebabkan oleh fasilitas infrastruktur dalam negeri yang kurang memadai, sehingga infrastruktur BUMN tetap harus diperbaiki meski di tengah pandemi.

Baca Juga:
Hadapi Kompleksitas Logistik, SCI Tingkatkan Kompetensi SDM

Chairman Supply Chain Indonesia (SCI) Setijadi menyatakan evaluasi atas daya saing dan kondisi infrastruktur Indonesia bisa mengacu terhadap The Global Competitiveness Index (GCI) yang dikeluarkan World Economic Forum secara berkala.

The Global Competitiveness Index 4.0 2019 menempatkan Indonesia pada peringkat 50 dari 141 ekonomi. Dengan peringkat itu, Indonesia turun 5 peringkat dari tahun sebelumnya. Di antara negara-negara ASEAN, posisi Indonesia itu di bawah Singapura (peringkat ke-1), Malaysia (27), dan Thailand (40).

Baca Juga:
Ancaman Krisis Pangan Makin Terasa, SCI Beri 5 Rekomendasi Ini

Setijadi menyampaikan analisis atas infrastruktur Indonesia yang berada pada peringkat 72. Untuk pilar infrastruktur, khususnya konektivitas, peringkat terendah pada konektivitas jalan (peringkat 109), diikuti liner shipping connectivity (36). Airport connectivity Indonesia sangat baik pada peringkat 5.

Selain perlu perbaikan kualitas infrastruktur jalan, Indonesia menghadapi tantangan peningkatan railroad density terkait wilayah yang luas. Efisiensi pelayanan juga perlu ditingkatkan baik untuk transportasi udara maupun pelabuhan.

Baca Juga:
Penerapan Logistik Hijau Tingkatkan Efisiensi Hingga 20 Persen

SCI merekomendasikan perencanaan dan pembangunan infrastruktur berorientasi tidak hanya terhadap output, tetapi juga harus terhadap outcome dan impact.

Seperti dalam pembangunan pelabuhan, orientasi seharusnya tidak hanya hasil fisik pelabuhan, namun juga terhadap volume barang yang ditangani, bahkan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah.

Pembangunan infrastruktur juga harus terintegrasi dengan program-program terkait lainnya, sehingga membutuhkan kolaborasi dan sinergi antar pihak, seperti Kementerian PUPR, Kemenhub, Kementerian ESDM, serta perusahaan BUMN dan swasta.

Kolaborasi dan sinergi juga melibatkan kementerian terkait produk atau komoditas, seperti Kemenperin, Kementan, dan KKP. Pemda setempat juga harus terlibat dalam upaya peningkatan daya saing produk/komoditas dan pertumbuhan ekonomi wilayahnya.

Setijadi menyatakan perencanaan pembangunan infrastruktur, terutama logistik, seharusnya dituangkan dalam suatu rencana induk jangka panjang agar bisa menjadi acuan, baik bagi kementerian terkait, pemerintah daerah, dan pelaku usaha. (wilam/ny)