Pembunuhan aktivis lingkungan dan pembela tanah adat cetak rekor tertinggi, siapa yang bertanggung jawab?

  • Oleh : Redaksi

Selasa, 14/Sep/2021 17:18 WIB
Aktivis lingkungan Afrika Selatan Fikile Ntshangase ditembak di rumahnya sendiri. Foto: bbcindonesia.com. Aktivis lingkungan Afrika Selatan Fikile Ntshangase ditembak di rumahnya sendiri. Foto: bbcindonesia.com.

JAKARTA (BeritaTrans.com) - Jumlah aktivis pembela lingkungan hidup dan hak-hak tanah adat yang dibunuh tahun lalu mencapai rekor tertinggi, ungkap laporan lembaga pemantau HAM dan lingkungan. 

Pada 2020, sebanyak 227 aktivis lingkungan jadi korban pembunuhan - itu merupakan angka tertinggi yang dicatat dalam dua tahun berturut-turut, menurut laporan dari Global Witness. 

Baca Juga:
Kesaksian Korban Dugaan Pelanggaran HAM di Aceh yang Gugat ExxonMobil di AS: `Ada yang Ditembak dan Dipukul Gegara Pohon Durian, Besoknya Minta Maaf`

Hampir sepertiga dari pembunuhan itu terkait dengan eksploitasi sumber daya - mulai dari pembalakan hutan, pertambangan, agribisnis skala besar, pembangkit listrik tenaga air, dan infrastruktur lain. 

Laporan itu melanjutkan bahwa para korban "pembela lingkungan hidup" itu dibunuh saat melindungi sumber-sumber daya alam yang patut untuk dijaga, termasuk hutan, wilayah pemasok air, dan lautan.

Baca Juga:
Dugaan Pelanggaran HAM Masyarakat Adat di Danau Toba, Komnas HAM Bentuk Tim Selidiki Kasus

Sejak Kesepakatan Paris atas perubahan iklim ditandatangani pada 2015, Global Witness mengatakan bahwa rata-rata empat aktivis dibunuh setiap pekan. 

Angka ini diyakini bisa lebih besar karena makin bertambahnya pengekangan atas para jurnalis dan kebebasan sipil lainnya.

Baca Juga:
Ikan Langka Hawaii Bisa Panjat Tebing Air Terjun Setinggi 300 meter

Pembalakan hutan merupakan industri yang terkait dengan pembunuhan terbanyak, yaitu 23 kasus - terjadi di Brasil, Nikaragua, Peru, dan Filipina. 

Masyarakat adat, yang kebanyakan sering berada di garis depan perubahan iklim, menjadi korban yang paling banyak, yaitu sepertiga dari total kasus. 

Kolombia merupakan negara yang tercatat memiliki kasus pembunuhan aktivis lingkungan terbanyak, tahun lalu 65 orang meregang nyawa. 

'Beban berat yang tak tertahankan'

Pegiat senior Global Witness, Chris Madden, menyerukan para pemerintah agar "serius melindungi para penjaga pembela lingkungan." Menurutnya, pihak-pihak korporat juga harus "mengutamakan manusia dan Bumi ini di atas mengejar laba" kalau tidak ingin melihat "masalah iklim dan pembunuhan" terus berlanjut. 

"Data ini jadi pengingat terbaru bahwa memerangi krisis iklim membawa beban berat yang tidak tertahankan bagi beberapa pihak, yang berisiko mempertaruhkan nyawa mereka untuk melindungi hutan, sungai, dan biosfer yang penting untuk menanggulangi pemanasan global. Ini harus dihentikan."

Organisasi itu pun menyerukan para pemerintah untuk secara resmi mengakui hak asasi mendapatkan lingkungan hidup yang sehat dan berkelanjutan, serta memastikan komitmen yang telah dibuat pada konferensi perubahan iklim PBB November lalu, COP26, dan penegakan HAM.

Menanggapi seruan itu, Presiden COP26 Alok Sharma kepada BBC mengaku telah "memprioritaskan untuk bertemu dengan orang-orang yang berada di garis depan perubahan iklim" untuk memastikan suara dari semua pihak telah didengar. 

'Ditembak di rumahnya sendiri'

Termasuk yang jadi korban pembunuhan adalah pegiat dari Afrika Selatan, Fikile Ntshangase. Perempuan 65 tahun itu dikenal terlibat dalam gugatan hukum atas perluasan wilayah pertambangan terbuka yang dijalankan Tendele Coal di dekat Kota Somkhele, Provinsi KwaZulu. 

Dia ditembak mati di ruang tengah rumahnya sendiri.

Putrinya, Malungelo Xhakaza, 31, mengungkapkan perjuangan ibunya tetap berlanjut. "Hingga kini tidak ada yang ditahan terkait penyelidikan pembunuhan ibu saya. Tidak ada pertanggungjawaban. 

Saya rasa ada pihak yang ingin tambang itu diperluas dan penambangannya terus berlanjut, berapa pun biayanya." 

Petmin Limited, yang memiliki pertambangan Somkhele melalui anak perusahaan Tendele Coal Mining, kepada Global Times menyatakan bahwa ketegangan di masyarakat mungkin jadi faktor terkait kematian Fikile. 

"Kami mengecam keras segala bentuk kekerasan atau intimidasi," ujar perusahaan itu sambil menyatakan telah bersikap kooperatif dengan polisi.

Pembunuhan juga menimpa Oscar Eyraud Adams di Meksiko pada September 2020. Aktivis tersebut saat itu membantu masyarakat adat Kumiai di Negara Bagian Baja California, Meksiko untuk mendapat akses yang lebih baik dalam mendapatkan air bersih. 

Menurut Global Witness, para aktivis lainnya masih mengalami ancaman, termasuk komunitas di Guapinol, Honduras. Di sana, puluhan orang telah memprotes konsesi pertambangan oksida besi yang diberikan oleh pemerintah pusat di suatu wilayah yang terlindungi. 

Kalangan pembela lingkungan yakin bahwa Sungai Guapinol, yang merupakan sumber air yang vital, jadi terancam. Organisasi itu menyatakan bahwa "banyak anggota komunitas yang masih dipenjara." (dn/sumber: bbcindonesia.com)