Kesaksian Korban Dugaan Pelanggaran HAM di Aceh yang Gugat ExxonMobil di AS: `Ada yang Ditembak dan Dipukul Gegara Pohon Durian, Besoknya Minta Maaf`

  • Oleh : Redaksi

Rabu, 05/Janu/2022 16:59 WIB
Menara suar yang mengeluarkan api dan asap terlihat dari fasilitas Gas Perta Arun di Lhokseumawe, Aceh Menara suar yang mengeluarkan api dan asap terlihat dari fasilitas Gas Perta Arun di Lhokseumawe, Aceh

JAKARTA (BeritaTrans.com) - Setelah menunggu 20 tahun, gugatan 11 warga Aceh Utara terhadap perusahaan ExxonMobil di pengadilan Amerika Serikat akan maju ke persidangan dan diperkirakan dapat dimulai pada sekitar September mendatang di Washington DC. 

Terry Collingsworth dari The International Labor Rights Fund, organisasi yang mengajukan tuntutan atas nama 11 penduduk desa di Aceh pada 2001 mengatakan para korban diduga mengalami penyiksaan oleh oknum militer yang disewa ExxonMobil untuk menjaga kilang gas itu di salah satu perusahaan minyak dan gas terbesar di dunia itu. 

Baca Juga:
Komitmen Keberlanjutan FIFGROUP di Hutan Mangrove Terluas se-Asia Tenggara

Para anggota militer itu kemudian diduga melakukan pelanggaran HAM terhadap warga sekitar. 

Agnieszka Fryszman, kuasa hukum yang mewakili 11 penduduk desa di Aceh itu, mengatakan tujuan dari tuntutan ini adalah menuntut "kompensasi, keadilan dan kebenaran". 

Baca Juga:
100 Tukik Belimbing Dilepasliarkan ke Laut Aceh Upaya Jaga Biota Laut

Fryszman juga mengatakan mereka punya begitu banyak bukti dengan mengajukan "lebih dari 300 halaman temuan, sekitar 400 lampiran dan lima laporan pakar serta melakukan sekitar 40 pemeriksaan saksi dan bukti". 

"Contohnya, salah satu korban adalah seorang penyintas, anak muda yang ditembak di depan fasilitas Exxon ... saat dia tengah berjalan ... Jelas, kami punya bukti sangat kuat yang menunnjukkan apa yang terjadi," kata Fryszman yang berkantor di Washington DC kepada BBC News Indonesia. 

Baca Juga:
2.669 Warga 5 Desa di Aceh Utara Terdampak Banjir

Lamanya gugatan sampai ke pengadilan, kata Fryszman, karena yang mereka hadapi adalah perusahaan raksasa. 

Namun ia mengatakan optimistis. 

"Jalannya sudah panjang dan sangat lama, namun hasilnya adalah kami punya banyak bukti yang kami ajukan ke pengadilan," tambahnya. 

Sebelas penduduk desa di Aceh ini, tambahnya lagi akan diundang ke Amerika Serikat untuk memberikan kesaksian mereka. 

Aktivis hak asasi manusia, berharap persidangan di AS ini akan menjadi pintu masuk penelusuran lebih lanjut keterlibatan oknum militer dan juga menjadi bahan evaluasi untuk memperketat penetapan objek vital nasional karena berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM. 

Terkait dugaan keterlibatan militer, hingga berita ini diturunkan, BBC News Indonesia telah menghubungi Kepala Pusat Penerangan TNI, Kepala Dinas Penerangan TNI AD, dan Kepala Penerangan Kodam Iskandar Muda, namun belum ada jawaban. 

Beberapa warga yang identitasnya dirahasiakan menceritakan kepada BBC News Indonesia tentang penyiksaan yang mereka alami. Ada yang dipukul dan ditembak dan ada pula yang dipukul karena pohon durian. 

Pengacara pelapor: Pertanggungjawaban ExxonMobil atas pasukan 'brutal dan disengaja'

Pandangan umum dari pabrik gas alam Arun di Aceh. 

Persidangan kasus dugaan pelanggaran HAM di Aceh Utara yang diduga dilakukan oleh ExxonMobil diperkirakan akan dilaksanakan pada September 2022. 

Terry Collingsworth mengatakan, gugatan ini untuk meminta pertanggungjawaban ExxonMobil atas penggunaan pasukan "yang disengaja dan brutal" dalam mengawasi wilayahnya, dan mengetahui tindakan penyiksaan, hingga pembunuhan oleh aparat keamanannya. 

"Klien kami menginginkan pertanggungjawaban publik dengan membawa pengadilan, dan mereka ingin ganti rugi berupa uang untuk cedera serius mereka," kata Collingsworth kepada wartawan BBC News Indonesia, Raja Eben Lumbanrau, Selasa, (04/01). 

Collingsworth menambahkan, perjalanan 20 tahun kasus itu menjadi contoh buruk bagaimana perusahaan multinasional raksasa mencoba untuk menghindari pertanggungjawaban dengan cara menyewa firma hukum raksasa guna mengulur waktu dan membuat proses menjadi sangat mahal bagi para penggugat. 

Ia mengatakan, akan menghadirkan 11 pelapor dalam persidangan, namun tergantung dari pemberian visa dari pemerintah AS. 

Tahun 2001, organisasi advokasi International Labor Rights Fund mewakili 11 warga korban yang mengalami kekerasan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Distrik Columbia, AS. 

Kesaksian korban: Gigi rontok, kaki ditembak

Seorang perempuan warga Lhokseumawe, Aceh, dan seorang lainnya, di hadapan seorang anggota TNI, saat wilayah itu masih dilanda konflik bersenjata, 25 Mei 2003. (Foto ilustrasi). 

Satu dari 11 korban yang rencananya akan diberangkatkan ke AS untuk memberikan kesaksian dalam persidangan ExxonMobil menceritakan kekerasan yang dialami kepada BBC News Indonesia, bagaimana luka tembak masih membekas hingga saat ini. 

Saat itu, awal tahun 2000-an, Zakir (bukan nama sebenarnya) dan rekannya melakukan penjagaan malam desa, suatu kewajiban saat konflik melanda wilayahnya. Mereka adalah warga yang tinggal di sekitar kawasan kilang gas ExxonMobil Arun, Aceh Utara. 

Kemudian, tiba-tiba mereka diserang oleh tentara yang berjaga di jalan pipa ExxonMobil karena dituding sebagai pembantu GAM (Gerakan Aceh Merdeka). 

Zaki mengatakan, giginya dipukul sampai rontok, lutut kaki bagian kanannya ditembak. Sementara rekannya meninggal setelah peluru menembus dadanya. 

"Pada masa itu tidak ada pertanyaan, baru setelah pemukulan adanya pertanyaan, dan baru ketahuan salah pukul. Setelah itu dilakukan upaya damai, aparat pemukul datang ke rumah untuk meminta maaf," kata Zakir wartawan di Aceh, Selasa (04/01). 

Zakir menambahkan, tentara yang menjaga ExxonMobil juga sering meminta barang milik warga secara paksa, "kalau tidak dikasih, akan dipukul". 

Zakir mengingat, terdapat puluhan warga yang menjadi korban kekerasan para penjaga ExxonMobil, di antara mereka telah meninggal dunia. 

Korban: 'Dipukul karena menolak jual pohon durian' 

Tindakan kekerasan juga dialami oleh Umar, bukan nama sebenarnya. Umar mengatakan dipukul oleh tentara ketika menolak untuk menjual pohon durian miliknya. 

"Penyebab dasarnya mereka (tentara) meminta untuk membeli pohon durian dari saya, sementara harga pohon durian ditawar oleh orang lain seharga Rp700.000 per pohon, mereka malah meminta beli dengan harga Rp300.000. Karena saya tidak mau menjualnya, maka saya dipukul," kata Umar. 

Umar yang kini berusia 63 tahun menceritakan, pemukulan itu terjadi saat ia mengendarai sepeda motor, lalu diberhentikan dan dibawa ke pos penjagaan untuk ditendang dan dipukul. 

"Setelah kejadian pemukulan, besoknya satu pos itu datang ke tempat saya untuk membuat perdamaian, ada surat sebagai buktinya. Surat saya itu sudah sampai ke Amerika," kata Umar. 

Selain pengalaman itu, dalam gugatan yang dikutip dari laporan ICTJ, HRWG, KontraS, dan Imparsial berjudul 'Kasus Keterlibatan? Exxon Mobil di Pengadilan karena Perannya dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Aceh', beberapa korban menceritakan kekerasan yang dialami. 

• Penggugat John Doe IV (nama samaran) dipukul, dituduh anggota GAM, dan punggungnya diukir huruf "GAM" dengan menggunakan pisau. 

• Penggugat Joh Doe II disiksa selama tiga bulan dengan penutup mata terpasang. Alat kelamin korban juga disetrum listrik, dan rumahnya dibakar habis. 

• Penggugat Jane Doe I, yang pada waktu itu sedang hamil, dipukul dan diserang secara seksual oleh seorang tentara yang ditugaskan untuk Exxon Mobil. 

ExxonMobil disebut bayar militer US$500.000 per bulan 

Patroli pasukan TNI di sebuah desa di Lhok Seumawe, 21 Mei 2003. 

Dalam laporan gabungan LSM itu, para korban diduga mengalami penyiksaan, perkosaan dan pembunuhan, yang diduga dilakukan oleh aparat TNI. 

ExxonMobil yang mengeksploitasi gas alam skala besar di Arun, Aceh Utara, dalam surat gugatan, disebut membayar US$500.000 per bulan ke TNI pada tahun 2000. 

Jumlah anggota militer di Aceh Utara saja pada akhir tahun 2001 diperkirakan mencapai 10.755 personel di mana pos penjagaan militer dibangun setiap 500 meter di dekat wilayah operasi ExxonMobil. 

Aktivis HAM dari Business and Human Rights Institute (BHRI) Wahyu Wagiman mengatakan, persidangan perdata di AS akan membuka pintu keadilan bagi para korban. 

"Ada proses perjuangan untuk pemulihan hak korban, bagaimana kerugian bisa dipulihkan, diberikan kompensasi," kata Wahyu. 

Wahyu menambahkan, persidangan itu juga menjadi "pintu masuk" bagi pemerintah Indonesia untuk menelusuri dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oknum tentara di wilayah ExxonMobil dan área lainnya di Aceh. 

"Apalagi kalau terbukti ada pelanggaran HAM oleh ExxonMobil dengan melibatkan aparat keamanan Indonesia, pemerintah dan terutama Komnas HAM harus mengkaji hingga menyelidiki kasus ini," katanya. 

Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, mengatakan, lembaganya belum pernah melakukan penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran HAM di Aceh Utara tersebut. 

Saat ditanya mengenai dugaan adanya pelanggaran HAM di Aceh Utara dan kemungkinan melakukan pengkajian hingga penyelidikan, saat ini, kata Ahmad Taufan, Komnas HAM tengah fokus pada penanganan lima kasus. 

Kasus itu adalah pelanggaran HAM berat di Jambo Keupok Aceh Selatan pada 2003, Simpang KKA di Aceh Utara pada 1999, dan Rumoh Geudong dan Pos Sattis lainnya di Pidie pada 1989-1998, pelanggaran HAM di Timang Gajar, Bener Meriah 2000-2004, dan kasus Bumi Flora, Aceh Timur 2001. 

"Kami fokus pada lima dulu, yang ini saja belum selesai, belum ada kelanjutan dari jaksa agung," kata Taufan. 

Objek vital nasional, pengerahan aparat keamanan 

Ilustrasi area objek vital nasional. 

Dugaan tindak kekerasan yang dilakukan tentara kepada warga di wilayah ExxonMobil dan wilayah investasi lainnya, menurut pegiat HAM dari lembaga Human Rights Watch Andreas Harsono, tidak lepas dari status wilayah pabrik ExxonMobil sebagai objek vital nasional. 

"Yang berimplikasi, mereka berhak mendapat perlindungan dari aparat keamanan, baik polisi dan tentara. 

"Dan ini membuat kerentanan terhadap warga sekitar yang tinggal, protes tanahnya dirampas dengan kekuasan, seperti di Papua dengan Freeport, di Banyuwangi, Aceh dan banyak tempat lain," kata Andreas. 

Andreas meminta agar definisi dan proses penetapan objek vital nasional diperketat, yaitu tidak hanya diputuskan oleh eksekutif tapi juga melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat. 

Terkait dugaan keterlibatan militer, hingga berita ini diturunkan, BBC News Indonesia telah menghubungi Kepala Pusat Penerangan TNI, Kepala Dinas Penerangan TNI AD, dan Kepala Penerangan Kodam Iskandar Muda, namun belum ada jawaban. 

Pemeritah Kabupaten Aceh Utara, menyerahkan proses pengusutan dugaan pelanggaran HAM dan pemenuhan hak korban kepada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh. 

"Ada lembaga pemerintah yang telah direkomendaskan seperti KKR, sudah dibentuk dan sudah berjalan dua periode. Inilah tugas KKR untuk melakukan rekonsiliasi bagaimana advokasi terhadap masyarakat, sehingga yang tertimpa musibah dapat sembuh," Kepala Bagian Humas Aceh Utara Hamdan. 

Hamdan mengatakan, Pemkab Aceh Utara mendukung sepenuhnya pemenuhan hak korban warganya yang diduga mengalami penyiksaan oleh aparat keamanan. 

Cadangan gas di Arun ditemukan pada tahun 1971 dan diperkirakan mencapai 17,1 triliun kaki kubik. 

Pabrik gas terbesar di Indonesia ini dikelola oleh ExxonMobil hingga akhirnya pada Oktober 2015, Pertamina secara resmi mengakusisi tiga aset ExxonMobil di Aceh yaitu Blok B, Blok North Sumatera Offshore (NSO), dan PT Arun NGL di Aceh.(sumber:BBC/Hidayatullah)