Resmikan Pabrik Biodiesel, Jokowi Ingin Segera Tinggalkan Penggunaan Bahan Bakar Fosil

  • Oleh : Redaksi

Jum'at, 22/Okt/2021 16:31 WIB
Presiden Jokowi meresmikan pabrik biodiesel PT Jhonlin Group di Tanah Bumbu, Kalsel, 21 Oktober 2021. Foto: voaindonedia.com. Presiden Jokowi meresmikan pabrik biodiesel PT Jhonlin Group di Tanah Bumbu, Kalsel, 21 Oktober 2021. Foto: voaindonedia.com.

JAKARTA (BeritaTrans.com) - Presiden Joko Widodo menegaskan komitmen Indonesia untuk segera meninggalkan ketergantungan terhadap energi fosil dengan menggunakan energi baru terbarukan (EBT), salah satunya mendorong produksi biodiesel.

“Saya ingin menegaskan, kita harus memegang teguh komitmen untuk meninggalkan energi fosil dan beralih ke energi baru terbarukan (EBT). Oleh karena itu produksi B30 ini, produksi biodiesel ini harus terus kita tingkatkan dan tahun 2021 ditargetkan kita mampu memproduksi dan menyalurkan 9,2 juta kiloliter dan saya minta tahun depan juga bisa meningkatkan lebih tinggi,” ungkap Jokowi dalam peresmian pabrik biodiesel milik PT Jhonlin Agro Raya di Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan, Kamis (21/10/2021).

Baca Juga:
Jokowi Sebut Pembangunan Sodetan Kali Ciliwung Selesai April Tahun Ini

Jokowi menjelaskan, Indonesia mempunyai potensi produksi CPO yang sangat besar yakni mencapai 52 juta ton per tahun. Maka dari itu, katanya potensi yang besar tersebut jangan terhenti dengan sekedar menjadi eksportir CPO mentah saja. Ia menekankan hilirisasi dan industrialisasi harus dilakukan di tanah air. Ia pun mengapresiasi PT Johnlin Group yang bersedia untuk membangun pabrik biodiesel untuk memproduksi CPO menjadi B30, yang menurutnya akan memberikan nilai tambah yang cukup besar dan menciptakan lebih banyak lagi produk-produk turunan dari CPO.

“Nikel sudah kita stop tidak boleh ekspor (mentah), sudah ada smelter, sudah ada pabrik untuk mengolah menjadi barang setengah jadi dan jadi yang kita harapkan nantinya juga akan menjadi barang yang memiliki nilai tambah tinggi yaitu menjadi lithium baterai untuk mobil listrik. Tembaga saya juga sangat senang sekali baru saja seminggu yang lalu kita meresmikan smelter terbesar di dunia yang mengolah tembaga nantinya menjadi barang-barang jadi atau setengah jadi. Hari ini, CPO menjadi biodiesel, ini terus menerus akan kita dorong agar perusahaan-perusahaan di dalam negeri ini semuanya mengolah dari bahan mentah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi,” tuturnya.

Baca Juga:
Presiden Joko Widodo Meresmikan Bendungan Kuningan Guna Penuhi Kebutuhan Air

Jokowi menilai industri biodiesel akan sangat strategis ke depannya. Menurutnya, hal ini akan meningkatkan ketahanan energi nasional,dan menekan defisit neraca perdagangan akibat berkurangnya impor solar. Jokowi mencatat dengan peningkatan produksi biodiesel ini, Indonesia mampu menghemat devisa Rp38 triliun pada tahun 2020, dan diperkirakan pada tahun ini akan mampu menghemat devisa sebesar Rp56 triliun. Selain itu, peningkatan produksi biodiesel ini juga akan bisa menjaga stabilisasi harga CPO.

“Jangan sampai kita memiliki CPO tapi yang menentukan harga adalah yang ada di pasar, tidak. Kita mustinya bisa mengendalikan ini dengan cara apa? Kalau pas ekspor harganya baik, silahkan ekspor, kalau engga ya pakai sendiri. Kita memiliki alternatif dan opsi itu. Memastikan stabilitas demand dan permintaan kepada para petani sawit dan akan memberikan efek pada kesejahteraan masyarakat secara luas. Kemudian yang ketiga, pengembangan biodiesel ini juga kita ingin masuk kepada energi baru terbarukan yang akan meningkatkan kualitas lingkungan melalui kontribusi pengurangan emisi gas rumah gas kaca,” kata Jokowi.

Baca Juga:
Presiden Joko Widodo Memberi Pesan Ini Kepada Masyarakat Kota Cirebon

Dampak Kerusakan Lingkungan

Sementara itu, Senior Forest Campaigner Greenpeace Indonesia Arkian Suryadarma mengatakan keputusan pemerintah Indonesia melakukan transisi penggunaan EBT dari energi fosil dengan meningkatkan produksi biodiesel adalah sebuah solusi yang salah. Arkian menjelaskan peningkatan produksi biodiesel yang merupakan produk turunan dari kelapa sawit akan semakin memperluas kerusakan lingkungan. Ia mencontohkan untuk memproduksi B30 saja dipastikan akan menambah lahan kebun kepala sawit baru sebanyak 3 juta hektare, bahkan untuk B50 diperkirakan akan ada penambahahan lahan baru sebanyak 9 juta hektare.

“Jadi kalau misalnya B50 bakal ada penambahan lahan 9 juta hektare lahan baru untuk minyak sawit itu sendiri. Jadi memang potensinya besar sekali kalau misalnya engga diatur, dan kita lihat juga dari sisi pengurangan fosil sendiri, engga seberapa bagusnya kalau misalnya kita compare fosil. Apalagi kalau kita menanam atau membuka lahan besar-besaran memakai pembakaran hutan atau menanam di gambut, itu emisinya lebih besar daripada batu bara,” ungkapnya kepada VOA.

Ia juga melihat, meskipun lahan kebun kelapa sawit di tanah air cukup luas namun hasilnya tidak produktif . Produksinyarata-rata hanya mencapai 3 juta ton per tahun. Angka tersebut masih lebih rendah dari Malaysia yang luas kebun kelapa sawitnya setengah lebih kecil dari Indonesia. Maka dari itu, ia mempertanyakan kebijakan pemerintah apabila masih ingin membuka lahan kelapa sawit yang baru. 

Dengan dampak kerusakan lingkungan yang begitu luas akibat pembukaan lahan kelapa sawit ini, Arkian menyarankan kepada pemerintah untuk menggunakan potensi EBT lainnya yang dimiliki oleh Indonesia, yakni tenaga surya dan angin. Apalagi biodiesel, katanya juga masih menggunakan batu bara untuk bahan campuran B30 maupun B50. 

Suplai dan Demand

Di sisi lain, Pengamat Ekonomi dari CORE Indonesia Muh Faisal mengatakan peningkatan produksi biodiesel ini memang akan bisa mengurangi ketergantungan Indonesia pada bahan bakar minyak (BBM) impor. Selain itu, biodiesel ini juga akan dapat menyerap persediaan CPO di tanah air yang surplus.

Namun, Faisal menggarisbawahi pemerintah harus memastikan sisi hilirnya untuk mendukung peningkatan produksi biodiesel yakni salah satunya menyediakan pasar yang akan menyerap biodiesel tersebut.

“Biodiesel ini misalnya dibeli oleh Pertamina. Selanjutnya adalah masalah penggunaan biodiesel oleh Pertamina, jadi marketnya yaitu adalah kendaraannya. Jadi bagaimana kemudian industri otomotif di Indonesia bisa menyerap atau memproduksi produk-produk otomotif yang menggunakan bahan bakan biodiesel. Jadi satu hambatan yang menghalangi industri otomotif untuk merancang atau memproduksi mobil atau sepeda motor yang menggunakan biodiesel berarti harus diatasi,”ungkapnya kepada VOA.

Ia mengatakan, pemerintah harus memiliki kebijakan yang konsisten untuk mendukung hal tersebut, agar kelak para investor tidak ragu berinvestasi dengan membangun pabrik otomotif berbahan bakar biodiesel. Apalagi saat ini, mayoritas kendaraan masyarakat di Indonesia masih menggunakan bensin.

“Pabrik (biodiesel) yang sekarang ini pasti dia mengharapkan ada demand. Dan pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan untuk menggunakan biodiesel sebagai alternatif baru BBM untuk kendaraan akan terus diperkuat. Itu yang membuat investor (tertarik) karena ada sistem insentif yang diberikan oleh pemerintah,” pungkasnya. (dn/sumber: voaindonesia.com)