Greenpeace Indonesia: 3,12 Juta Hektare Sawit Berada Dalam Kawasan Hutan

  • Oleh : Redaksi

Sabtu, 23/Okt/2021 00:01 WIB


Laporan terbaru Greenpeace Indonesia menyebutkan 3,12 juta hektare perkebunan sawit yang beroperasi di dalam kawasan hutan termasuk di antaranya di hutan lindung dan kawasan konservasi. Laporan itu juga menunjukkan bahwa area perkebunan sawit telah merampas habitat orangutan dan harimau Sumatera.

POSO (BeritaTrans.com) - Pelanggaran pemanfaatan lahan ditemukan dalam analisis terbaru yang dilakukan oleh Greenpeace Indonesia dan lembaga ahli geospasial The TreeMap, di mana temuan mereka menunjukkan sebanyak 3,12 juta hektare lahan perkebunan sawit berada di dalam kawasan hutan, termasuk diantaranya kawasan hutan lindung dan hutan konservasi.

Baca Juga:
Kurangi Emisi untuk Tekan Krisis Ozon agar Bumi Tetap Layak Huni

Temuan tersebut merupakan penelitian yang dilakukan sejak 2001 hingga 2019. Temuan tersebut dapat diakses dalam laporan Greenpeace yang berjudul “Laporan Sawit Ilegal Dalam Kawasan Hutan: Karpet Merah Oligarki”.

Dari jumlah 3,12 juta hektare tersebut, 1,56 juta hektare diantaranya merupakan perkebunan sawit yang dimiliki oleh petani kecil (smallholder), sementara sisanya merupakan kebun sawit industri. Laporan tersebut menyebutkan bahwa jumlah luas perkebunan sawit dalam kawasan hutan lindung mencapai 148 ribu hektare, sedangkan luas kebun sawit di kawasan konservasi mencapai sekitar 90 ribu hektare.

Baca Juga:
Hujan Es akan Sering Terjadi

: Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas menjelaskan dampak kebun sawit terhadap satwa liar dalam Peluncuran Laporan Sawit Ilegal Dalam Kawasan Hutan : Karpet Merah Oligarki, Kamis (21/10/2021). (VOA)Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas menjelaskan dampak kebun sawit terhadap satwa liar dalam Peluncuran Laporan Sawit Ilegal Dalam Kawasan Hutan : Karpet Merah Oligarki, Kamis (21/10/2021). (VOA)

“Nah sesungguhnya yang paling penting hutan lindung dan kawasan konservasi ini sebenarnya memiliki fungsi perlindungan terhadap ekosistem dan menjadi penting sesungguhnya wilayah-wilayah ini (agar) dilindungi, tapi pada faktanya kami menemukan itu masih ada aktivitas sawit yang ditanam dalam hutan lindung dan kawasan konservasi,” kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas dalam peluncuran laporan tersebut pada Kamis (21/10).

Baca Juga:
Jutaan Warga Asia Hirup Udara Paling Berbahaya di Dunia

Arie mencontohkan bahwa 100 hektare area hutan konservasi Taman Wisata Alam Gunung Melintang, Sambas, Kalimantan Barat telah digunduli oleh perusahaan kelapa sawit yang lokasinya bersebelahan dengan perkebunan kelapa sawit yang mengantongi izin usaha perkebunan. Luas perkebunan yang telah mengantongi izin yang dimiliki oleh perusahaan tersebut mencapai tujuh ribu hektare.

“Juga ada sawit di Suaka Margasatwa Bakiriang (di mana) itu ratusan hektare kawasan ini sudah dialihfungsikan (dengan) ditanami sawit,” ujar Arie.

Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sulawesi Tengah menetapkan Kawasan Suaka Margasatwa Bakiriang di Kabupaten Banggai, ke dalam kawasan hutan lindung pada tahun 1996. Bakiriang merupakan habitat dari satwa endemik asal Sulawesi yaitu Burung maleo (Macrocephalon maleo).

Ancaman Bagi Satwa Liar

Greenpeace Indonesia mengindikasikan bahwa per 2019, perkebunan kelapa sawit telah banyak mencaplok habitat satwa liar. Peralihan lahan menjadi kebun sawit tersebut telah mengancam sebanyak 183 ribu hektare habitat orangutan di Sumatra dan Kalimantan, 136 ribu hektare habitat harimau di Sumatra, dan 5.989 hektare habitat gajah di Sumatra dan Kalimantan.

Penyelesaian sawit tanpa perizinan disampaikan oleh Asisten Deputi Penataan Ruang dan Kawasan Strategis Ekonomi Kemenko Perekonomian, Dodi Slamet Riyadi dalam webinar oleh FWI, Rabu (15/9/2021)Penyelesaian sawit tanpa perizinan disampaikan oleh Asisten Deputi Penataan Ruang dan Kawasan Strategis Ekonomi Kemenko Perekonomian, Dodi Slamet Riyadi dalam webinar oleh FWI, Rabu (15/9/2021)

“Problem-problem tersebut itu juga mengakibatkan meningkatnya konflik antara manusia dengan hewan liar karena sebelumnya habitat-habitat mereka dirusak untuk perkebunan sawit sehingga kemudian menimbulkan konflik-konflik,” ungkap Arie.

Greenpeace Indonesia juga menemukan sepanjang tahun 2001-2019, hutan primer seluas 870.995 hektare dalam kawasan hutan telah berubah menjadi kebun sawit dan diperkirakan telah melepas sekitar 104 juta metrik ton karbon. Ini setara dengan 33 kali emisi karbon tahunan yang dihasilkan untuk konsumsi listrik oleh semua rumah di Jakarta, atau sekitar 60 persen dari emisi tahunan penerbangan internasional.

Upaya Penyelesaian

Dalam kesempatan berbeda, Asisten Deputi Penataan Ruang dan Kawasan Strategis Ekonomi Kemenko Perekonomian, Dodi Slamet Riyadi menjelaskan penyelesaian sawit tanpa perizinan dalam kawasan hutan telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021.

Grafis sebaran sawit.Grafis sebaran sawit.

“Misalnya sawit itu dimiliki oleh masyarakat dan luasannya kurang dari lima hektare selama lima tahun secara terus menerus maka dilakukan penyelesaian dengan Perhutanan sosial, melalui TORA (Tanah Obyek Reformasi Agraria) atau melalui perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan,” kata Dodi dalam webinar yang diselenggarakan oleh Forest Watch Indonesia, pada Rabu (15/9) silam.

Menurut Dodi, kepemilikan sawit di atas lima hektare oleh korporasi dan masyarakat jika berada di hutan konservasi atau hutan lindung diselesaikan dengan cara pengembalian kawasan hutan kepada negara. Luasan tutupan sawit dalam kawasan hutan berdasarkan data sekretariat percepatan kebijakan satu peta tahun 2021 mencapai 3,6 juta hektare.

Dodi mengungkapkan dari 16 juta hektare luas tutupan sawit nasional, baru empat juta hektare atau 25,3 persen yang telah dilengkapi dengan hak guna usaha. Angka tersebut masih menyisakan sebanyak 12,2 juta hektare atau 74,7 persen tutupan kelapa sawit nasional yang belum dilengkapi dengan hak guna usaha, baik perkebunan kelapa sawit milik rakyat maupun yang dimiliki oleh industri. (VOA).