Studi: Deforestasi di Kalimantan Timur Picu Suhu Panas yang Makin Membinasakan

  • Oleh : Redaksi

Sabtu, 13/Nov/2021 19:14 WIB
Sebuah studi, Rabu (10/11/2021), mengungkap kondisi bahwa deforestasi dan pemanasan global di Kalimantan Timur menyebabkan suhu di kawasan tersebut naik hampir satu derajat Celcius dalam 16 tahun terakhir. Foto: ist. Sebuah studi, Rabu (10/11/2021), mengungkap kondisi bahwa deforestasi dan pemanasan global di Kalimantan Timur menyebabkan suhu di kawasan tersebut naik hampir satu derajat Celcius dalam 16 tahun terakhir. Foto: ist.

JAKARTA (BeritaTrans.com) - Sebuah studi, Rabu (10/11/2021), mengungkap kondisi bahwa deforestasi dan pemanasan global di Kalimantan Timur menyebabkan suhu di kawasan tersebut naik hampir satu derajat Celcius dalam 16 tahun terakhir. Kondisi ini menyebabkan peningkatan kematian sebanyak delapan persen.

Kantor berita AFP, Kamis (11/11/2021), mengutip laporan yang diterbitkan di Lancet Planetary Health melaporkan studi tersebut memberikan pandangan tidak biasa mengenai bagaimana pemanasan global dan penggundulan hutan dapat memengaruhi orang yang tinggal di kawan tersebut, yang dianggap sebagai salah satu wilayah yang paling rentan di dunia. 

Baca Juga:
Kurangi Emisi untuk Tekan Krisis Ozon agar Bumi Tetap Layak Huni

"Suhu panas yang disebabkan oleh deforestasi dan perubahan iklim membunuh pekerja di negara-negara hutan tropis dan menurunkan kemampuan untuk bekerja dengan aman," kata Nicholas Wolff, peneliti utama dalam studi tersebut, dari Nature Conservancy kepada AFP.

Dengan sumber daya yang terkonsentrasi di negara maju, studi tentang pengaruh pemanasan global terhadap kesehatan dan kematian sebagian besar lebih difokuskan pada dunia belahan utara. 

Baca Juga:
Hujan Es akan Sering Terjadi

"Penelitian dalam melihat dampak perubahan iklim pada mereka yang paling rentan dan tidak berkontribusi besar (pada munculnya perubahan iklim) jarang sekali dilakukan," kata Wolff. 

Timnya mengungkapkan bagaimana pembukaan hutan seluas 4.375 kilometer di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, meningkatkan suhu maksimum harian sebesar 0,95 derajat Celcius, di atas suhu global yang sudah lebih hangat, antara 2002 dan 2018. 

Baca Juga:
Jutaan Warga Asia Hirup Udara Paling Berbahaya di Dunia

Berau mengalami deforestasi sebesar 17 persen. Kawasan itu kehilangan pohon pelindung dan meningkatkan suhu panas yang mengakibatkan kondisi bekerja di luar ruangan selama 20 menit dalam sehari menjadi tidak aman. Lebih jauh, kondisi ini menyebabkan sekitar 104 kematian.

Menggunakan pemodelan iklim, studi ini memproyeksikan bahwa di bawah skenario +3 derajat Celcius pemanasan global terhadap tingkat pra-industri, atau +2 derajat Celcius terhadap tingkat 2018, angka kematian dapat meningkat menjadi sekitar 260 per tahun. 

Kenyataan yang Berbeda 

Tim Wolff menggunakan informasi citra satelit untuk menentukan berapa banyak pohon pelindung yang hilang di Berau antara 2002 dan 2018, periode di mana secara keseluruhan kondisi di wilayah tersebut relatif stabil. 

Mereka menghitung perubahan berikutnya dalam suhu rata-rata harian dan menemukan telah terjadi kenaikan suhu sebesar hampir satu derajat Celcius di Berau dalam 16 tahun terakhir, sementara suhu secara nasional relatif tetap stabil.

"Dunia telah menghangat sekitar satu derajat sejauh ini, dalam 150 tahun terakhir," kata Wolff mengacu pada pemanasan di atas tingkat pra-industri. 

Menurut Global Forest Watch, Indonesia pada 2001 memiliki 93,8 juta hektar hutan primer, hutan purba yang sebagian besar tidak terganggu oleh aktivitas manusia, sebuah area seluas Mesir. Namun pada 2020, area tersebut telah berkurang sekitar 10 persen. 

Berkomitmen terhadap Deforestasi 

Sementara itu Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Kamis (11/11), membela keberatan pemerintah terhadap janji deforestasi global yang dibuat minggu lalu. Dalam kunjungan Menteri Luar Negeri Inggris, Indonesia berjanji untuk tetap berkomitmen terhadap aksi melawan dampak perubahan iklim. 

Reuters, Kamis (11/11) melaporkan Indonesia, rumah bagi sepertiga hutan hujan dunia, termasuk di antara 137 negara pada KTT iklim COP26 di Inggris yang menandatangani kesepakatan untuk mengakhiri deforestasi pada tahun 2030.

Namun beberapa hari kemudian Indonesia mundur dengan memperjelas bahwa interpretasinya sendiri terhadap janji tersebut untuk mengakhiri deforestasi sepenuhnya tidaklah mengikat.

Menyoroti kemajuan dalam mengurangi deforestasi ke titik terendah dalam dua dekade, Retno Marsudi mengatakan kepada Menteri Luar Negeri Inggris Liz Truss bahwa Indonesia akan melakukan transformasi sektor kehutanan dan tata guna lahannya. 

"Prestasi nyata Indonesia di sektor kehutanan tidak diragukan lagi," katanya.

"Saya menggarisbawahi bahwa Indonesia tidak ingin terjebak dalam retorika. Kami lebih memilih walk the talk (bertindak sesuai komitmen -red)." ​

Ia menegaskan kasus kebakaran hutan di Tanah Air telah turun sebesar 82 persen pada 2020, sementara emisi pada 2019 turun sebesar 40,9 persen dibandingkan dengan empat tahun sebelumnya. 

Menteri Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya Bakar, yang menghadiri COP26, memicu kehebohan warganet dengan mengatakan janji yang disepakati Indonesia "jelas tidak pantas dan tidak adil.” 

Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar kemudian mengatakan bahwa janji tidak berarti deforestasi akan dihentikan sepenuhnya, melainkan merujuk pada "pengelolaan hutan yang berkelanjutan.” (dn/sumber: voaindonesia.com)