Alasan Sains Ahli Larang Rebus Kepiting - Lobster Hidup-hidup

  • Oleh : Redaksi

Jum'at, 26/Nov/2021 19:18 WIB
Ilustrasi lobster. Foto: cnnindonesia.com Ilustrasi lobster. Foto: cnnindonesia.com

JAKARTA (BeritaTrans.com) - Ahli memaparkan alasan hewan chepalopoda (seperti gurita dan cumi-cumi) dan dekapoda (seperti kepiting dan lobster) tidak boleh direbus hidup-hidup. Alasan ini terkait kesejahteraan hewan yang ditunjukkan dalam sejumlah studi ilmiah. 

Tercatat sebanyak 300 studi ilmiah telah dilakukan para ahli untuk mengevaluasi dan membuktikan bahwa hewan memiliki perasaan, termasuk merasakan sakit.

Hasil penelitian ini menyimpulkan hewan-hewan tersebut harus diperlakukan sebagai makhluk hidup yang harus diperhatikan kesejahteraannya.

Baca Juga:
Migrasi Jutaan Kepiting Merah di Pulau Natal jadi Tontonan Warga

Bahkan berdasarkan tinjauan dari pemerintah Inggris, hewan-hewan tersebut kini akan dimasukkan dalam daftar makhluk hidup yang diberikan perlindungan di bawah undang-undang kesejahteraan hewan yang baru.

Sebuah laporan yang memaparkan hasil studi para peneliti menjelaskan bahwa studi dilakukan dengan menggunakan delapan cara untuk mengukur perasaan hewan chepalopoda dan dekapoda.

Cara tersebut adalah dengan mengukur kemampuan belajar, kepemilikan reseptor rasa sakit, hubungan antara reseptor rasa sakit dan daerah otak tertentu, respon terhadap anestesi atau analgesik serta perilaku termasuk menyeimbangkan ancaman terhadap kesempatan untuk penghargaan dan perlindungan terhadap cedera atau ancaman.

Melalui metode pengukuran tersebut, peneliti menemukan bukti yang sangat kuat yang menunjukkan perasaan pada gurita dan sebagian besar kepiting. Dan untuk hewan lain dalam dua kelompok ini, seperti cumi-cumi, sotong, dan lobster, para peneliti menemukan bukti yang substansial tetapi tidak kuat.

Dari laporan tersebut dapat disimpulkan bahwa tingkat perhatian yang diterima berbagai hewan dapat berbeda karena beberapa alasan.

"Perhatian ilmiah telah condong ke beberapa (hewan) daripada yang lain karena alasan kenyamanan praktis (misalnya hewan mana yang dapat dipelihara dengan baik di laboratorium) dan geografi (misalnya spesies mana yang tersedia di tempat laboratorium berada)," bunyi laporan tersebut.

"Karena situasi ini, kami berpikir tidak tepat untuk membatasi perlindungan pada ordo cephalopoda tertentu atau infraordo decapoda tertentu," lanjutnya.

Cara tersebut adalah dengan mengukur kemampuan belajar, kepemilikan reseptor rasa sakit, hubungan antara reseptor rasa sakit dan daerah otak tertentu, respon terhadap anestesi atau analgesik serta perilaku termasuk menyeimbangkan ancaman terhadap kesempatan untuk penghargaan dan perlindungan terhadap cedera atau ancaman.

Melalui metode pengukuran tersebut, peneliti menemukan bukti yang sangat kuat yang menunjukkan perasaan pada gurita dan sebagian besar kepiting. Dan untuk hewan lain dalam dua kelompok ini, seperti cumi-cumi, sotong, dan lobster, para peneliti menemukan bukti yang substansial tetapi tidak kuat.

Dari laporan tersebut dapat disimpulkan bahwa tingkat perhatian yang diterima berbagai hewan dapat berbeda karena beberapa alasan.

"Perhatian ilmiah telah condong ke beberapa (hewan) daripada yang lain karena alasan kenyamanan praktis (misalnya hewan mana yang dapat dipelihara dengan baik di laboratorium) dan geografi (misalnya spesies mana yang tersedia di tempat laboratorium berada)," bunyi laporan tersebut.

"Karena situasi ini, kami berpikir tidak tepat untuk membatasi perlindungan pada ordo cephalopoda tertentu atau infraordo decapoda tertentu," lanjutnya.

Dilansir dari Mirror, seorang professor di London School of Economics sekaligus peneliti utama studi tersebut, Jonathan Birch mengatakan rasa sakit dan penderitaan yang menjadi kemampuan hewan untuk merasakan memiliki hubungan khusus dalam undang-undang kesejahteraan hewan.
"Ketika Anda menghormati sesuatu sebagai makhluk hidup, jenis prinsip yang Anda gunakan untuk makhluk hidup lain harus diterapkan. Pemotongan secara manusiawi membutuhkan pelatihan. Ini adalah prinsip yang mudah diberikan orang untuk vertebrata apa pun," ujar Birch. 

Namun, laporan tersebut tidak dapat menjelaskan cara manusiawi yang layak secara komersial untuk membunuh gurita dan cumi lainnya sebagai hewan yang dikonsumsi manusia.

Penjelasan lain tentang hewan chepalopoda datang dari sebuah film dokumenter Netflix baru-baru ini berjudul My Octopus Teacher yang menunjukkan salah satu kemampuan unik hewan chepalopoda, yaitu gurita. 

Dalam tayangan tersebut ditunjukkan struktur otak gurita yang sangat berbeda dengan manusia, tetapi memiliki beberapa fungsi yang sama dengan otak mamalia, seperti kemampuan belajar, termasuk mampu memecahkan masalah dan mungkin juga kemampuan untuk bermimpi. 

Saat ini Nirch bersama para ahli lain di London School of Economics melarang lobster dan kepiting direbus hidup-hidup berdasarkan hasil studi tersebut. 

Sebelumnya vertebrata atau hewan dengan tulang punggung telah diklasifikasikan sebagai makhluk hidup yang masuk dalam undang-undang kesejahteraan hewan baru yang saat ini sedang diperdebatkan di Inggris. 

"RUU Kesejahteraan Hewan memberikan jaminan yang penting bahwa kesejahteraan hewan dipertimbangkan dengan tepat ketika mengembangkan undang-undang baru," kata Menteri Kesejahteraan Hewan Lord Zac Goldsmith dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip dari CNN.

"Ilmu pengetahuan sekarang jelas bahwa dekapoda dan cumi dapat merasakan sakit dan oleh karena itu wajar jika mereka dilindungi oleh undang-undang penting ini," lanjutnya. 

Setelah RUU tersebut disahkan, nantinya akan dibentuk sebuah Komite Perasaan Hewan yang akan mengeluarkan laporan tentang seberapa baik keputusan pemerintah mempertimbangkan kesejahteraan hidup hewan. (dn/sumber: cnnindonesia.com)