Bermigrasinya Hewan Hambat Kemampuan Tanaman Beradaptasi dengan Perubahan Iklim Bumi

  • Oleh : Redaksi

Minggu, 23/Janu/2022 13:30 WIB
Burung-burung yang bermigrasi terbang di atas air yang membeku di lahan basah di Hokersar, utara Srinagar, Kashmir yang dikuasai India, Jumat, 22 Januari 2021. (AP Photo/Dar Yasin) Burung-burung yang bermigrasi terbang di atas air yang membeku di lahan basah di Hokersar, utara Srinagar, Kashmir yang dikuasai India, Jumat, 22 Januari 2021. (AP Photo/Dar Yasin)

JAKARTA (BeritaTrans.com) - Tumbuhan yang mengandalkan hewan untuk menyebarkan benih berjuang keras untuk beradaptasi dengan perubahan iklim, demikian hasil riset sekelompok peneliti internasional. 

Kemampuan untuk beradaptasi itu bergantung antara lain pada hewan yang menyebarkan benih yang membuat pohon dan bunga berpeluang tumbuh di lokasi baru dengan iklim dan curah hujan yang mungkin diperlukan, ketika suhu bumi menghangat. 

Baca Juga:
Lebih dari 2.500 Orang Meninggal Akibat Tersambar Petir Setiap Tahun di India, Mengapa Bisa Terjadi?

Amager, pulau yang terletak beberapa kilometer di selatan Kopenhagen Tengah, Denmark, merupakan lokasi taman alami yang dihuni oleh aneka satwa liar. Sekitar 80 tahun silam, daerah ini merupakan perairan dangkal. Tetapi proyek reklamasi lahan membuat ribuan burung kini tinggal di taman seluas 1.200 hektare lebih itu. 

Ahli biologi dan pemandu taman alam itu Jes Aagaard mengatakan, daerah itu lama sekali tertutup oleh semak belukar. Ketika diambil alih, pohon-pohon di daerah itu dibersihkan, hewan ternak didatangkan untuk merumput di sana. Sekarang, taman ini menjadi daerah tempat berkembang biak yang sempurna. 

Baca Juga:
Suhu Laut Meningkat, Ciptakan Kekacauan Cuaca Global

Petugas melempar beras untuk memberi makan burung di kawasan Hokersar, utara Srinagar, Kashmir yang dikuasai India, Jumat, 22 Januari 2021. (AP) 

Seiring dengan itu, burung-burung membawa benih, sebagian tumbuh menjadi tanaman bunga atau tumbuhan lainnya, lanjut Aagaard. 

Baca Juga:
Suhu Dunia dan Emisi Karbon Terus Meningkat

Kemampuan tumbuhan untuk beradaptasi dengan perubahan iklim bergantung antara lain pada hewan, seperti burung, yang menyebarkan benih tanaman. Dalam makalah yang diterbitkan baru-baru ini di jurnal Science, sekelompok peneliti internasional memperingatkan bahwa kemampuan itu dihambat oleh lenyapnya burung atau mamalia. 

Pakar ekologi dan penulis utama penelitian itu, Evan Fricke, mengemukakan,"Sekitar setengah dari semua spesies tumbuhan mengandalkan hewan untuk menyebarkan benih.” 

Karena hewan semakin langka dalam apa yang disebut Fricke dan para peneliti lainnya sebagai “Kepunahan Massal ke-6,” ketiadaan hewan tersebut akan berdampak pada tumbuhan. 

Dengan hilangnya keanekaragaman hayati, hilang juga hewan-hewan penyebar benih di dalam ekosistem mereka. Hewan seperti burung dan mamalia, ujar Fricke, berperan besar dalam ekosistem mereka sebagai penyebar benih. 

Burung-burung yang bermigrasi terbang di atas lahan basah di Hokersar, 16 kilometer (10 mil) utara Srinagar, Kashmir yang dikuasai India, Selasa, 16 Februari 2016. (AP) 

Fricke dan para peneliti lainnya berusaha mengukur sejauh mana masalah ini. Salah satu gagasannya adalah menggunakan sistem komputer untuk menggabungkan data mengenai kehidupan tumbuhan dan hewan dari berbagai kawasan. Para peneliti menyatakan mereka menggunakan data dari ribuan studi lapangan untuk memetakan kontribusi burung dan mamalia penyebar benih di seluruh dunia. 

Pendekatan ini memiliki keterbatasan, karena ini menggeneralisasi begitu banyak perilaku hewan. Tetapi ini mungkin dapat mulai membangkitkan kesadaran mengenai sisi lain dari hilangnya keanekaragaman hayati. 

Profesor ekologi Jens-Christian Svenning dari Aarhus University, Denmark, salah seorang penulis laporan itu, mengatakan, penelitian mereka mendapati efek penyebaran benih oleh hewan sangat terkait dengan ukuran tubuhnya. Artinya semakin besar tubuh spesies itu, semakin penting perannya. 

Contohnya adalah gajah di sabana Afrika, yang oleh Uni Internasional untuk Konservasi Alam pada Maret lalu ditetapkan terancam punah karena perburuan liar dan hilangnya habitat mereka. 

Kawanan gajah berjalan saat fajar menyingsing di Taman Nasional Amboseli, Kenya selatan, dengan latar belakang Gunung Kilimanjaro di Tanzania, Senin, 17 Desember 2012. (AP/Ben Curtis) 

Satu atau dua abad silam, spesies tersebut dapat ditemukan di berbagai penjuru Afrika. Tetapi sekarang berkurang menjadi kelompok-kelompok kecil di sedikit tempat saja, kata Svenning. Ini berarti ada dampak penyebaran yang sangat kuat oleh spesies gajah itu karena spesies tersebut berkeliaran di daerah yang luas setiap hari dan memakan banyak tanaman yang telah hilang di sebagian besar tempat di Afrika, ujarnya. 

Svenning mengemukakan penelitian mereka memperbesar seruan untuk memulihkan habitat alami, yang bukan hanya untuk melindungi satwa yang hidup di dalamnya. Ia mengatakan, "Kita juga perlu melestarikan dan memulihkan komunitas satwa bukan hanya karena nilai satwa itu sendiri, tetapi juga untuk memulihkan fungsi mereka dalam hal membantu menyebarkan benih tanaman.” 

Peneliti senior di Universitas Cornell Wesley Hochachka, yang tidak terlibat dalam riset itu, mengatakan, penelitian tersebut bermanfaat ketika melihat “gambaran besar, tren umum,” dan mengalihkan fokus dari hewan penyerbuk ke penyebar benih, seperti burung. 

“Dalam hal krisis keanekaragaman hayati, sewaktu kita memikirkan tentang hewan dan interaksi antara hewan dan tumbuhan, apa yang paling sering kita dengar adalah hewan penyerbuk, kepunahan hewan penyerbuk, hilangnya fungsi ekosistem dari hewan penyerbuk,” katanya. 

“Tetapi makalah ini meninjau kemungkinan dampak lain dari hilangnya spesies, dan itu adalah spesies tumbuhan, spesies tumbuhan lingkungan alami yang tidak mampu berpindah karena perubahan iklim di beberapa daerah tertentu kecuali jika ada hewan di sekitarnya untuk menyebarkan benih.” 

Penelitian bertajuk “Efek Defaunasi Pada Kemampuan Tumbuhan untuk Melacak Perubahan Iklim” diterbitkan di jurnal Science edisi 13 Januari 2022. (fh/sumber:voa)