Oleh : Redaksi
JAKARTA (BeritaTrans.com) - Serikat Pekerja Kereta Api (SPKA) menyampaikan 5 tuntutan kepada PT Kereta Api Indonesia (KAI) dan mengancam akan mogok kerja jika tidak ada titik temu.
Juru Bicara SPKA Dani Hamdani menilai proses pengelolaan korporasi masih diwarnai dengan indikasi pelanggaran Perjanjian Kerja Bersama (PKB) oleh manajemen KAI. Sejumlah tuntutan tersebut merupakan tindak lanjut hasil Munas SPKA pada 26-27 Januari 2022 di Tanjungkarang.
Baca Juga:
BPSDMP Gelar Retreat Bagi PPK, Perkuat Budaya Anti Korupsi
“Jika tuntutan dan permintaan SPKA tidak ada titik temu maka kami akan melakukan upaya-upaya yang konstitusional bahkan jika diperlukan akan menempuh aksi-aksi lain seperti aksi damai atau mogok kerja,” ujarnya, Sabtu (3/2/2022).
Dia menyebutkan, pertama, adanya mutasi sebagian besar pekerja di bidang Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) di kantor pusat ke luar daerah yang jauh. Diduga ada pelanggaran good corporate governance mengingat mutasi terjadi pada saat proses pengadaan sedang berlangsung.
Baca Juga:
Tingkatkan Layanan Kesehatan, RS PIP Makassar Kerja Sama dengan BPJS Kesehatan
Berdasarkan informasi yang SPKA terima, peserta pengadaan yang tidak lolos dalam evaluasi administrasi & teknis menghubungi Tim PBJ agar bisa tetap diikutkan dalam proses pengadaan tetapi ditolak oleh Tim PBJ karena tidak memenuhi persyaratan.
Sebaliknya, peserta yang lolos dalam evaluasi administrasi & teknis justru tidak hadir dalam proses selanjutnya yaitu pembukaan surat penawaran.
Baca Juga:
Cetak Sejarah Baru! BPSDMP Kukuhkan Guru Besar Pertama Bidang Maritim
Kedua, SPKA meminta manajemen wajib mematuhi PKB. Manajemen telah mengeluarkan Peraturan direksi No. PER.U/KH.201/I/1/KA-2022 pada 25 Januari 2022 tentang izin tidak masuk bekerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan.
Isi dari Peraturan Direksi tersebut melanggar ketentuan dalam PKB dan dalam proses pembuatannya manajemen melanggar kesepakatan yang telah disepakati.
Itu dikarenakan ketentuan tentang lamanya waktu pemberian izin bagi pekerja yang mengalami sakit yang diterbitkan melalui peraturan direksi tersebut berbeda atau tidak sesuai dengan Keputusan Perundingan sebagaimana termuat dalam Notulen Rapat Penyusunan Produk Hukum Sebagai tindak Lanjut PKB Periode 2020-2022 pada 24-26 Februari 2021 dan ketentuan tentang hak pekerja dalam menjalankan tugas organisasi di serikat pekerja.
Ketentuan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan tentang perlindungan hak berorganisasi dan dispensasi untuk kegiatan SPKA sebagaimana termuat dalam PKB Pasal 8 dan Pasal 9. Manajemen dnilai telah mengingkari atau inkonsistensi terhadap keputusan yang telah disepakati bersama.
Ketiga, SPKA secara tegas tetap menolak aksi korporasi terkait proses akuisisi KCI (PT KAI Commuter) tetapi mendukung integrasi dan kolaborasi dalam sistem transportasi nasional.
Selama ini diduga manajemen terkesan mengabaikan masukan SPKA. Pasalnya, serikat tersebut menilai akuisisi itu dapat merugikan perusahaan serta mempengaruhi kesejahteraan pekerja.
Keempat, meminta kepada pemerintah untuk mengevaluasi Peraturan Keuangan Nomor PMK 138/PMK.02/ tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Bersifat Volatil dan Kebutuhan Mendesak yang berlaku pada Kementerian Perhubungan.
SPKA menilai keberadaan PMK tersebut akan membebani keuangan PT KAI sehingga berpotensi menambah beban biaya sebesar Rp1,5-2 triliun di tengah kondisi perusahaan selama pandemi saat ini.
Kelima, SPKA juga meminta kepada pemerintah untuk mendanai Infrastructure Maintenance Operation (IMO) pada tahun Anggaran 2022 secara penuh yang merupakan kewajiban pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan.
Apabila hal tersebut tidak dipenuhi, maka KAI berisiko tidak dapat memenuhi kekurangannya karena beban biaya sudah dialokasikan untuk biaya rutin seperti operasional, perawatan sarana dan prasarana serta mendukung program keselamatan di perseroan.(fh/sumber:bisniscom)