Presiden Rusia Vladimir Putin akan ke Bali

  • Oleh : Redaksi

Rabu, 23/Mar/2022 22:04 WIB


JAKARTA (BeritaTrans.com) - Presiden Vladimir Putin ingin menghadiri KTT G20 di Indonesia November mendatang, kata duta besar Rusia di Jakarta Rabu (23/3).

"Itu akan tergantung pada banyak, banyak hal, termasuk situasi COVID, yang semakin baik. Sejauh ini, niatnya adalah ... dia ingin [hadir]," kata Duta Besar Rusia Lyudmila Vorobieva dalam konferensi pers di Jakarta seperti dikutip Reuters.

Baca Juga:
Presiden Rusia Vladimir Putin Ternyata Pernah Nikahi Pramugari

Ditanya tentang isu Rusia dapat dikeluarkan dari G20 akibat invasi ke Ukraina, Vorobieva mengatakan itu adalah forum untuk membahas masalah ekonomi dan bukan krisis seperti Ukraina.

"Tentu saja pengusiran Rusia dari forum semacam ini akan tidak membantu mengatasi masalah-masalah ekonomi. Sebaliknya, tanpa Rusia akan sulit untuk melakukannya."

Baca Juga:
Bos Tesla Elon Musk Tantang Presiden Rusia Putin Berantem: Yang Menang Hadiahnya Ukraina!

Vorobieva mendesak Indonesia untuk tidak terombang-ambing oleh tekanan dari negara-negara Barat.

"Kami sangat berharap pemerintah Indonesia tidak menyerah pada tekanan mengerikan yang tidak hanya diterapkan pada Indonesia tetapi begitu banyak negara lain di dunia oleh Barat," kata Vorobieva, yang juga mengatakan Rusia secara aktif mengambil bagian dalam semua pertemuan G20.

Baca Juga:
Tentang Pasangan Vladimir Putin yang Masih Misterius

RusiaDuta Besar Rusia Lyudmila Vorobieva dalam wawancara dengan BBC News Indonesia. Foto: BBC Indonesia.

Sementara itu Amerika Serikat dan sekutu-sekutu Baratnya sedang menimbang-nimbang apakah Rusia tetap bisa berada dalam kelompok 20 negara terkemuka itu setelah invasi Moskow ke Ukraina, ungkap sumber yang terlibat dalam pembicaraan itu kepada Reuters.

Tetapi setiap upaya untuk mengeluarkan Rusia kemungkinan akan diveto oleh sesama anggota lain dalam kelompok tersebut, dan ini justru berisiko membuat beberapa negara tidak mau mengikuti rangkaian pertemuan G20, ungkap sumber itu lagi.

Kementerian luar negeri Indonesia menolak untuk mengomentari seruan-seruan agar Rusia dikeluarkan dari G20.

Banyak netizen Indonesia disebut kagumi Putin

Sementara itu perbincangan mengenai invasi Rusia ke Ukraina di media sosial beberapa waktu lalu didominasi oleh keberpihakan dan kekaguman publik Indonesia pada Rusia dan sosok Presiden Vladimir Putin, menurut platform pemantauan dan analisis digital Evello.

Sikap itu terbentuk, karena menurut kajian lembaga tersebut, didasari oleh ketidaksukaan sebagian besar masyarakat Indonesia pada Amerika Serikat dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).

Akan tetapi peneliti Studi Rusia dan Eropa Timur, Hubungan Internasional Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Radityo Dharmaputra, menilai sikap publik yang condong pro-Rusia ketimbang Ukraina ini sesungguhnya dikarenakan pemahaman masyarakat yang minim tentang Ukraina.

Kondisi ini menyebabkan publik mudah termakan narasi dominan dari kalangan elit dan akademisi yang menganggap persoalan ini merupakan konflik geopolitik antara Rusia dan Amerika Serikat.

Data yang diperoleh Evello --platform pemantauan dan analisis digital-- di Instagram, TikTok, Twitter, dan Youtube pada periode 23 Februari hingga 14 Maret 2022, terjadi peningkatan perhatian pengguna media sosial di Indonesia atas perang Rusia-Ukraina.

Hal itu ditunjukkan dengan jumlah pemberitaan tentang invasi Rusia ke Ukraina yang mencapai 96.000 artikel berita.

Puluhan ribu berita tersebut, kata pendiri Evello Dudy Rudianto, dibagikan ke jejaring Facebook Indonesia, baik melalui akun halaman Facebook, grup, hingga akun pribadi sebesar 1,6 juta kali.

"Dari data-data tersebut, Evello menyimpulkan jika intensitas perhatian pengguna media sosial Indonesia terkait perang Rusia-Ukraina sangat tinggi.

Selain artikel berita, YouTube menjadi rujukan untuk mencari informasi perang Rusia-Ukraina," ujar Dudy Rudianto kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Senin (14/03).

Lebih rinci data Evello menunjukkan informasi tentang serangan militer Rusia ke Ukraina yang tayang di YouTube Indonesia telah ditonton sebanyak 554 juta kali dengan jumlah percakapan mencapai 2,3 juta komentar.

Sementara video Instagram perang Rusia-Ukraina telah dilihat 72 juta kali dengan komentar sebanyak 727.000.

Kemudian di video TikTok, invasi Rusia ke Ukraina juga sudah ditonton 526 juta kali.

Adapun di Twitter, terdapat 22.000 akun yang membicarakan perang ini.

Tiga sikap publik Indonesia atas perang Rusia-Ukraina

konflik rusia-ukrainaPerempuan Ukraina menangis saat demonstrasi memprotes serangan Rusia ke Ukraina, di Bali, Selasa (01/03).

Dudy Rusdianto mengatakan setidaknya ada tiga sikap yang ditunjukkan warganet terhadap serangan militer Rusia ke Ukraina.

"Pertama, ketidaksukaan terhadap Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan Amerika Serikat. kedua, kekaguman pada sosok Presiden Vladimir Putin, dan terakhir adanya simpati kepada rakyat Ukraina dan Presiden Volodymyr Zelensy," papar Dudy.

Namun demikian dari empat platform media sosial yang diteliti mulai dari Twitter, YouTube, Instagram, dan TikTok, mayoritas warganet cenderung berpihak pada Rusia.

Dudy mencontohkan Twitter, jumlah akun yang membicarakan Presiden Putin 71% lebih besar dibandingkan Zelensky.

Percakapan yang mengemuka di Twitter, sambung Dudy, didasari oleh ketidaksukaan kepada NATO dan Barat.

Perbincangan tentang Presiden Putin pun, katanya, sangat dominan atau mencapai 94% oleh pengguna TikTok di Indonesia.

"Demikian halnya di Instagram, kecenderungan pengguna media sosial untuk memperbincangkan Putin cenderung dominan dibandingkan Zelensky sebesar 74 persen."

Pemantauan Evello, percakapan atas perang Rusia-Ukraina bersifat alami. Para pengguna yang menyatakan dukungannya terhadap Rusia dan Putin pun, tidak ada yang dimotori oleh pendengung ataupun akun-akun palsu.

"Tidak ada akun bot yang bertebaran," tegas Dudy.

Mengapa warganet Indonesia berpihak pada Rusia?

Peneliti Studi Rusia dan Eropa Timur di Hubungan Internasional Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Radityo Dharmaputra, mengatakan ada empat faktor mengapa warganet Indonesia pro terhadap Rusia.

Sejak lama, katanya, publik Indonesia memiliki sikap politik yang anti-Amerika Serikat atau Anti-Barat terutama setelah perang melawan terorisme.

Hanya saja ketika media sosial belum populer, tidak banyak yang menunjukkan sikap tersebut secara terbuka semisal dengan aksi demonstrasi.

"Sekarang era media sosial, begitu ada berita, perasaan itu lebih mudah muncul dan langsung diutarakan," terang Radityo kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Senin (14/3).

Akan tetapi invasi Rusia ke Ukraina dipotret oleh publik Indonesia sebagai Rusia melawan Amerika Serikat atau NATO.

"Ukraina-nya jadi tidak penting."

Kondisi seperti itu, jelas Radityo, membuat masyarakat Indonesia seolah-olah berpihak pada Rusia. Padahal menurutnya, tidak peduli siapapun yang berseberangan dengan Amerika Serikat, maka akan didukung.

"Jadi dukungan (ke Rusia) lebih ke situ. Perasaan bahwa AS dan Barat sudah semena-mena terutama kepada negara Islam. Sehingga jika ada yang berani melawan AS dan Barat, mereka (publik Indonesia) mendukung."

Faktor kedua karena sosok Presiden Vladimir Putin yang dinilai tegas.

Rakyat Indonesia, menurut Radityo, mudah terkesima dengan penampilan pemimpin yang tegas dan kuat karena mengingatkan citra itu pada mantan Presiden Sukarno.

"Apalagi romantisme dengan masa lalu Sukarno yang tegas anti-Barat sangat dominan. Image Putin terlihat seperti itu di mata masyarakat Indonesia. Apalagi dia mantan intelijen. Sementara Zelensky, komedian."

konflik rusia-ukrainaSebuah mobil hancur lebur setelah pasukan Rusia membombardir Kota Kharkiv, Ukraina, 1 Maret 2022. Foto: Getty Images.

Hal lain, didorong oleh sentimen agama.

Meskipun di masa lalu Uni Soviet pernah menyerang Afghanistan, Suriah, dan Chechnya, tapi kini Rusia -melalui diplomasi publik- mampu mengubah pandangan dari musuh menjadi sahabat kaum Muslim.

Di Rusia, katanya, Islam menjadi agama terbesar kedua setelah Kristen Ortodoks. Bangunan masjid didirikan di banyak tempat.

"Hal itu dilihat oleh kelompok Islam di Indonesia."

"Makanya banyak video atau artikel dalam bahasa Indonesia yang penontonnya jutaan dan menganggap Rusia adalah rekan bagi kelompok Islam."

Terakhir adalah diplomasi publik Rusia yang banyak memberikan beasiswa kepada ratusan mahasiswa untuk belajar ke negara itu.

Yang menarik, katanya, narasi yang dikembangkan dari para lulusan penerima beasiswa itu atas invasi Rusia ke Ukraina, sama persis dengan pemerintah Rusia.

"Bahwa apa yang dilakukan Rusia, hanya operasi militer. Itu sudah menunjukkan keberpihakan posisi."

Parahnya, analisa yang pro-Rusia tersebut ditelan mentah-mentah oleh masyarakat Indonesia. Apalagi pengetahuan publik Indonesia tentang apa yang melatari konflik Ukraina dengan Rusia, sangat minim.

Untuk diketahui ketegangan di kawasan itu turut dipicu oleh sikap Rusia yang mengakui kemerdekaan dua wilayah di Ukraina yakni Luhansk dan Donetsk.

"Jadi mudah sekali di balik narasinya dan sangat mudah menganggap ini hanya konflik geopolitik besar antara Rusia dengan Amerika Serikat."

"Kalau narasi di level elit dan akademisi seperti itu, ya terbayang dong di bawah yang enggak paham seperti apa. Termakan oleh narasi yang dominan itu."

konflik rusia-ukrainaWarga Ukraina, Irina Moprezova, 54, di depan sebuah rumah yang rusak akibat serangan bom udara di kota Irpin, barat laut Kyiv pada 13 Maret 2022. Foto: Getty Images.

Kepopuleran Kedutaan Besar Rusia daripada Ukraina pun, menurut dia, turut menyokong bekerpihakan warga Indonesia.

Radityo merujuk pada pengikut akun Kedutaan Besar Rusia di Indonesia @RusEmbJakarta dan interaksi percakapannya lebih besar ketimbang Kedutaan Besar Ukraina @UKRinINA.

"Sehingga begitu ada perang, mudah sekali simpati publik diberikan kepada yang mereka kenal atau lebih tahu."

Rakyat Indonesia dicap hipokrit

Bagi Radityo sikap publik Indonesia yang tidak seragam membela korban invasi -seperti yang terjadi pada Palestina- berdampak pada hilangnya legitimasi moral sebagai bangsa.

"Kita enggak bisa lagi banyak komentar, karena kita ragu-ragu ketika dihadapkan pada situasi begini dan masyarakat kita mudah sekali diubah posisinya karena keberadaan AS."

Lebih dari itu, posisi masyarakat Indonesia di mata dunia terkesan hipokrit. Sebab publik akan cenderung peduli jika korban penindasan adalah kelompok Islam.

"Kalau bukan (kelompok Islam), kesannya tidak mendukung. Ini agak mengkhawatirkan."

Sumber: BBC Indonesia.