Menyongsong kehadiran Pelabuhan Tanjung Carat: Bangkitkan Ekonomi Sumsel

  • Oleh : Redaksi

Minggu, 26/Jun/2022 00:30 WIB
Potret Kapal Tongkang Batu Bara Melintas di Sungai Musi. (Ist) Potret Kapal Tongkang Batu Bara Melintas di Sungai Musi. (Ist)

PALEMBANG (BeritaTrans.com) - Kehadiran pelabuhan laut sudah lama diidam-idamkan masyarakat Sumatera Selatan. Keinginan ini bahkan sudah didengung-degungkan sejak tahun 90-an. 

Setelah sekian lama, mungkin baru tahun ini provinsi penghasil komoditas ekspor karet, sawit dan batu bara mendapatkan titik terang. 

Baca Juga:
Terusan Panama Alami Kekeringan Parah, Akses Kapal Dibatasi Setahun

Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru menjamin peletakan batu pertama (groundbreaking) Pelabuhan Tanjung Carat di Kabupaten Banyuasin akan dilakukan pada akhir Juni 2022, setelah sempat molor dari jadwal semula pada akhir tahun 2021. 

“Saya berharap Pelabuhan Tanjung Carat ini tak ditunda lagi,” kata Herman Deru saat berjumpa dengan Menteri BUMN Erick Thohir di Palembang, Ahad (19/6). 

Baca Juga:
Dukung Progam Pemerintah, BUMN BKI Kawal Pembangunan Pelabuhan dan Kapal

Pembangunan pelabuhan akan segera dimulai seiring dengan mulai rampungnya izin pembebasan lahan di Banyuasin, Sumsel. 

Ia tak menyangkal penyediaan lahan menjadi yang paling krusial dalam pembangunan pelabuhan ini karena proyek ini berada di kawasan hutan. 

Baca Juga:
KPK Usut Dugaan Penggunaan Lahan untuk Perusahaan Pelabuhan X Bupati Tanah Bambu Maming

Setidaknya lahan seluas 60 hektare harus dibebaskan agar tidak menjadi persoalan di kemudian hari. “Tentunya ini memakan waktu yang panjang, tapi kami berupaya melakukan percepatan,” kata gubernur. 

Sebagai kepala daerah, Herman Deru juga meminta para putra daerah asal Sumsel yang saat ini menduduki jabatan kabinet Indonesia Bersatu turut mengawal mega proyek ini. 

Dalam banyak kesempatan, ia mengaku melakukan lobi ke berbagai pihak agar pelabuhan yang sudah lama dicita-citakan masyarakat Sumsel ini dapat segera terwujud. 

Infrastruktur ini sangat dibutuhkan karena dianggap menjadi solusi jangka pendek dan jangka panjang bagi daerah berpenduduk sekitar 9 juta jiwa ini. 

Sumsel dikenal sebagai provinsi kaya penghasil karet, sawit, batu bara tak kunjung mampu membuat petaninya sejahtera. Ini lantaran harga komoditas ekspor yang diterima petani tersedot oleh tingginya biaya transportasi. 

Sumsel selama ini hanya bertumpu pada pelabuhan sungai Pelabuhan Boom Baru yang berada di tengah Kota Palembang. Layaknya pelabuhan sungai, maka kapal-kapal yang bersandar hanya berukuran kecil. Belum lagi, persoalan pendangkalan alur sungai. 

Tak hanya itu, draf kapal pun dibatasi maksimal 6 meter sehingga hanya 40 persen kapasitas angkut yang terpakai. 

“Kapal besar pun cuma bisa mengangkut 8 ribu ton atau 40 persen dari kapasitas, sementara ongkosnya disamakan dengan mengangkut 20 ribu ton,” kata Herman Deru. 

Akibatnya, biaya angkut komoditas menjadi tinggi sehingga berdampak pada harga karet dan sawit di tingkat petani. 

Yudi, Kepala Dusun Desa Sidomulyo, Kecamatan Gunung Megang, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, mengatakan dirinya yang menjadi generasi ketiga petani sawit di keluarganya hingga kini tak kunjung sejahtera. 

Harga sawit ditentukan pabrik-pabrik pengolahan yang sangat tergantung dengan harga jual di pasar internasional. Terkadang harga melambung, tapi terkadang harga tiarap sampai tak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. 

Ia mengisahkan harga sawit sempat melambung pada pertengahan tahun lalu karena meningkatkan permintaan pasar global, tapi sejak awal tahun 2022 secara bertahap bergerak turun. 

“Setelah sempat Rp2.900 per kilogram pada pertengahan 2021, kini hanya berkisar Rp1.700 per kilogram,” kata Yudi. 

Seperti halnya sebagian besar petani di kampungnya, dirinya pun tak mengerti mengapa harga sawit bisa bergerak turun dengan begitu cepat. Padahal pada awal tahun masih di kisaran Rp3.000 per kilogram. 

Kini masyarakatnya mengeluh karena harga yang diterima itu tak sebanding dengan pengeluaran dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. 

Petani pun mengharapkan adanya solusi dari pemerintah agar dapat sejahtera. 

Skema pendanaan 

Sejauh ini proyek pelabuhan laut dalam itu sudah mendapatkan persetujuan masuk dalam Proyek Strategis Nasional. 

Semula Presiden Jokowi menargetkan Pelabuhan Tanjung Carat ini groundbreaking pada akhir 2022, namun karena persoalan penyediaan lahan membuat target ini tak tercapai. 

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan pemerintah pusat sudah memberikan arahan terkait pendanaan proyek pelabuhan internasional tersebut. 

Pembangunan pelabuhan itu akan menggunakan skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) yang melibatkan investor swasta, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. 

Pemerintah pusat terus mendorong agar pelabuhan samudera ini terwujud yang nantinya diharapkan menjadi gerbang ekspor Sumsel. 

Sejauh ini Investor asal China Shanxi International Economic & Technical Cooperative Co Ltd tertarik untuk menanamkan modal pada pembangunan Pelabuhan Tanjung Carat di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan (Sumsel). 

General Manager of Shanxi InternationalEconomic & Technical Co Ltd Indonesia Jason Hang setelah mengunjungi kawasan Tanjung Carat, mengatakan pelabuhan ini memiliki lokasi yang sangat strategis sehingga perusahaan menilai layak masuk dalam rencana ekspansi bisnis. 

Jason menyatakan ketertarikan perusahaannya untuk berinvestasi di Pelabuhan Tanjung Carat juga didorong adanya sumber daya alam (SDA) yang berlimpah di Sumsel, di antaranya getah karet, kelapa sawit, batu bara, minyak bumi dan gas. 

Lokasi pelabuhan laut dalam sebelumnya bukan diproyeksikan  di Tanjung Carat tapi di Tanjung Api-Api, yang areanya relatif berdampingan. 

Pemindahan ini terkait dengan studi kedalaman laut, yang membuat kesimpulan bahwa Tanjung Carat itu lebih representatif bagi kapal-kapal berukuran besar. 

Karena adanya perubahan, maka Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)  TAA dipindahkan ke KEK Tanjung Carat agar berdampingan dengan Pelabuhan Laut Tanjung Carat. Terkait ini Presiden Jokowi sudah mencabut status KEK Tanjung Api-Api. 

Ekonomi tumbuh 

Kepala Samudera Indonesia Cabang Palembang Iwan Simangunsong mengatakan permintaan ekspor terhadap komoditas asal Sumsel terutama chrome rubber (karet) terbilang tinggi. Bahkan pihaknya kini menjajaki kerja sama untuk pengiriman ekspor arang dan batok kelapa. 

Hingga kini, walau di tengah pandemi, perusahaan melayani pengiriman chrome rubber (karet) ke Singapura menggunakan satu unit kapal berkapasitas 6.000 ton atau rata-rata membawa 250  twenty-foot equivalent unit  (TEUs). 

Perusahaan pelayaran Samudera Indonesia Cabang Palembang sejauh ini menggunakan satu unit kapal kontainer untuk mendukung kegiatan ekspor karet di Sumsel. Bahan setengah jadi berupa karet dalam bentuk lembaran itu dikirimkan ke Singapura untuk kemudian dikirim ke Amerika Serikat hingga ke sejumlah negara di Eropa oleh perusahaan lain. 

Dalam satu bulan, perusahaan tersebut melakukan kegiatan ekspedisi ke Singapura sebanyak lima kali, dan proses bongkar muat dilakukan di Pelabuhan Boom Baru Palembang. 

Pengamat ekonomi asal Universitas Sriwijaya (Unsri) Didik Susetyo mengatakan kebutuhan pelabuhan ini bukan hanya untuk memudahkan kegiatan ekspor impor bagi Sumsel tapi yang lebih mendasar lagi yakni untuk mewujudkan hilirisasi komoditas. 

Sejak lama Sumsel menargetkan hilirisasi beragam produk dari batu bara, minyak sawit dan karet sebagai upaya untuk meningkatkan nilai tambah demi kesejahteraan masyarakat. 

“Hingga kini, tak satu pun pabrik ban berdiri di Sumsel, padahal daerah ini memproduksi sekitar 1 juta ton karet per tahun,” kata Guru Besar Fakultas Ekonomi Unsri ini. 

Belum adanya pelabuhan laut membuat para investor kemudian mengurungkan niatnya untuk membangun pabrik pengolahan di Sumsel, sehingga lebih memilih daerah-daerah lain di Tanah Air yang menawarkan infrastruktur lebih memadai. 

Padahal adanya serapan dalam negeri tersebut dapat menjadi solusi atas anjloknya harga karet di tingkat petani. Jika sudah ada pabrik ban sendiri maka petani tidak lagi tergantung dengan pasar ekspor. 

Tak mempunyai pelabuhan laut itu juga membuat Sumsel kehilangan potensi lain karena komoditas seperti kopi terpaksa diekspor melalui pelabuhan daerah lain, seperti Pelabuhan Panjang, Lampung. 

Belum lagi, dari sektor batu bara karena kendala infrastruktur ini membuat Sumsel hanya mampu mengekspor sekitar 50 juta ton per tahun dari cadangan sebanyak 22,5 miliar ton. 

“Pelabuhan tak disangkal menjadi infrastruktur yang paling dibutuhkan saat ini di Sumsel. Jika tidak ada, pertumbuhan ekonomi akan begitu-begitu saja,” kata Didik. 

Hilirisasi 

Hilirisasi komoditas andalan meliputi batu bara, minyak sawit (CPO) dan karet akan mendorong nilai tambah dalam perekonomian Sumatera Selatan. 

Kepala Perwakilan Bank Indonesia Erwin Soeriadimadja mengatakan adanya hilirisasi akan mengakselerasi pemulihan ekonomi Sumsel yang sempat terdampak Covid-19. 

Namun untuk menggolkan keinginan ini, ketersediaan infrastruktur sangat menentukan, terutama pelabuhan. 

“Hilirisasi ini membutuhkan investor, dan apa yang dilihat investor ? yakni seberapa siap suatu daerah untuk mendukung bisnis mereka,” kata Erwin. 

Sejauh ini perekonomian Sumsel bisa dikatakan cukup baik, karena mampu tumbuh terbaik dibandingkan provinsi-provinsi di Sumatera. Pada 2022, BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Sumsel dikisaran 3,56 persen hingga 5,16 persen (year on year), yang mana masih akan bertumpu pada ekspor komoditas dan konsumsi rumah tangga. 

Jika Sumsel ingin melejit maka diperlukan upaya lain, salah satunya menggerakkan hilirisasi sehingga tak lagi tertahan di kisaran 5,0 persen, kata dia. 

Pada 1821, setelah Belanda berhasil menguasai Palembang dibangun pelabuhan di depan Benteng Kuto Besak atau sekarang dikenal Bek Ang Kodam II Sriwijaya atau Boom Jati. 

Kemudian pada 1941, dilakukan pemindahan letak lebih ke hilir sungai, yaitu kawasan Sungai Rendang, atau masyarakat Sumsel mengenalnya sebagai Gudang Garam. Lalu dipindahkan lagi lokasi pelabuhan tersebut antara Sungai Lawang Kidul dan Sungai Belabak, yang kini disebut Pelabuhan Boom Baru. 

Dari sejarah tersebut dapat diambil intisari bahwa keberadaan pelabuhan itu sebenarnya menyesuaikan dan mengikuti kebutuhan ekonomi suatu daerah. Apakah tahun ini bakal menjadi sejarah bagi Sumsel ?.(fh/sumber:antaranews)