Pertumbuhan Ekonomi 2023 Diperkirakan Melamban

  • Oleh : Naomy

Jum'at, 10/Mar/2023 05:26 WIB
Didiek Madiono Didiek Madiono

 

JAKARTA (BeritaTrans.com) – Di tahun 2022 lalu, tren inflasi yang tinggi di berbagai negara, menjadi penyebab bank-bank sentral global menaikkan suku bunga acuan. 

Baca Juga:
Konsumsi Domestik dan Investasi Kunci Jaga Momentum Pertumbuhan Ekonomi

Pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19 yang cukup cepat disertai oleh disrupsi rantai pasok dan krisis energi akibat konflik geopolitik, menjadi penyebab inflasi mengalami kenaikan cukup tinggi di berbagai negara pada tahun 2022.

“Akan tetapi, secara gradual inflasi kini telah mengalami penurunan. Inflasi AS yang dulu sempat menyentuh level 9 persen, kini mulai menurun ke level 6,4 persen. Demikian pula inflasi di Kawasan Euro yang sempat menyentuh double-digit kini juga mulai mengalami penurunan,” kata Anggota Dewan Komisioner LPS, Didik Madiyono, saat membuka diskusi pada LPS-Forwada Discussion Series dengan tema Momentum Pertumbuhan Ekonomi di Tahun Penuh Tantangan di Jakarta, Kamis (9/3/2023).

Baca Juga:
LPS Dinilai Berhasil Lewati Krisis Selama Pandemi dan Berperan Penting Jaga Stabilitas Sistem Keuangan Perbankan

Menurutnya, meski inflasi telah mengalami penurunan, kenaikan suku bunga acuan yang dilakukan oleh bank sentral global masih belum berakhir. 

The Fed masih terus melanjutkan kenaikan suku bunga acuan dengan suku bunga acuan terakhir berada di level 4,75 persen. 

“Stance Gubernur The Fed masih cukup hawkish dan diperkirakan masih akan melanjutkan kenaikan suku bunga untuk menurunkan inflasi. Demikian pula dengan European Central Bank (ECB) dan Bank of England (BoE) yang juga diperkirakan masih melanjutkan kebijakan kenaikan suku bunga,” urainya.

Tahun 2023, ekonomi global diperkirakan akan melambat meskipun tidak separah yang diperkirakan sebelumnya. 

"Bahkan, kita sebenarnya bisa melihat bahwa ekonomi global di tahun 2023 ini masih akan tumbuh positif berdasarkan prediksi berbagai lembaga internasional," ucap dia.

Secara tren, aktivitas ekonomi global memang diperkirakan akan mengalami perlambatan apabila dibandingkan tahun 2022. 

Pertumbuhan ekonomi global tahun 2022 sesuai laporan IMF diperkirakan sebesar 3,4 persen. Di tahun 2023 ini, ekonomi global diprediksi akan mengalami pelemahan dengan tumbuh pada kisaran 1,7 persen sampai dengan 2,9 persen.

Pelemahan ini dipicu pertumbuhan ekonomi negara-negara besar yang mengalami perlambatan. 

“Sebagai contoh, ekonomi Amerika Serikat pada 2022 mampu tumbuh 2,1 persen, namun sesuai prediksi berbagai lembaga internasional, di tahun 2023 hanya akan tumbuh pada kisaran 0,5 persen sampai dengan 1,4 persen. Begitu pula dengan beberapa negara di Kawasan Eropa, China, dan Jepang,” tuturnya.

Melihat berbagai ketidakpastian yang masih tinggi di tingkat global, satu kabar baiknya, ekonomi Indonesia cukup resilien dalam menghadapi berbagai ketidakpastian tersebut. 

Didik bilang, kita dapat melihat bahwa tahun 2022 yang lalu, ekonomi kita mampu tumbuh 5,31 persen. “Pencapaian ini merupakan salah satu yang terbaik di antara negara-negara anggota G20. 

Di tahun 2023 ini, momentum pemulihan ekonomi kita diperkirakan juga masih akan berlanjut. Berbagai lembaga internasional masih memperkirakan ekonomi kita akan tumbuh mendekati lima persen,” kata Anggota Dewan Komisioner LPS itu.

Dia tambahkan, kunci dari resiliensi ekonomi domestik kita terhadap berbagai guncangan eksternal adalah porsi konsumsi kita yang sangat besar dan porsi ekspor yang relatif kecil jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. 

Konsumsi swasta di Indonesia mencakup 52,81 persen dari PDB kuartal IV/2022, sedangkan porsi ekspor di waktu yang sama sebesar 24,72 persen.

Kondisi seperti ini menyebabkan guncangan yang terjadi di tingkat global dapat diredam oleh solidnya ekonomi domestik. 

“Contoh lain yang menunjukkan kuatnya daya tahan ekonomi Indonesia adalah ketika terjadi krisis keuangan global di tahun 2008–2009. Kala itu pada tahun 2009, ketika ekonomi dunia tumbuh -0,1 persen, ekonomi Indonesia masih mampu tumbuh 4,7 persen,” tutur Didik. (omy)