SCI: Hilirisasi Berbagai Sektor Perlu Dukungan Logistik Terintegrasi

  • Oleh : Naomy

Kamis, 25/Janu/2024 11:08 WIB
Setijadi Setijadi

 

BANDUNG (BeritaTrans.com) - Pemerintah terus mengembangkan program hilirisasi sektor pertambangan. Setelah keberhasilan hilirisasi komoditas nikel, pemerintah akan mendorong hilirisasi mineral lainnya, seperti tambaga, aluminium, dan bauksit.

Baca Juga:
Hadapi Kompleksitas Logistik, SCI Tingkatkan Kompetensi SDM

Pemerintah juga akan melakukan hilirisasi sektor pangan. Program hilirisasi merupakan salah satu cara Indonesia menjadi negara industrialis untuk mendorong peralihan dari negara berkembang menjadi negara maju.

CEO Supply Chain Indonesia (SCI) Setijadi menyatakan, program hilirisasi harus didukung sistem logistik terintegrasi berbasis komoditas/produk untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas operasional logistik dalam proses hilirisasi yang berpotensi meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas/produk itu.

Baca Juga:
Ancaman Krisis Pangan Makin Terasa, SCI Beri 5 Rekomendasi Ini

"Efisiensi sangat diperlukan karena biaya logistik Indonesia yang tinggi. Berdasarkan data Kementerian PPN/Kepala Bappenas, biaya logistik nasional (domestik) Indonesia sebesar 14,1% terhadap harga barang," tuturnya, Kamis (25/1/2024).

Dia mengatakan, penyiapan sistem logistik secara terintegrasi untuk mendukung hilirisasi berdasarkan pemetaan pasokan dan permintaannya, baik untuk pasar domestik maupun ekspor. Di samping terintegrasi secara end-to-end, sistem logistik itu juga harus mengintegrasikan jasa-jasa logistik dari para penyedia jasa logistik.

Baca Juga:
Penerapan Logistik Hijau Tingkatkan Efisiensi Hingga 20 Persen

Penyiapan sistem logistik itu harus memperhatikan wilayah asal komoditas, lokasi industri pengolahan awal, lokasi industri pengolahan akhir, dan wilayah tujuan akhir, berikut jalur-jalur distribusinya 

Lokasi industri pengolahan awal dalam proses hilirisasi terutama di wilayah-wilayah asal komoditas yang seringkali masih terkendala masalah konektivitas logistik maupun ketersediaan infrastruktur dasarnya, seperti listrik dan air bersih. 

Masalah konektivitas logistik mencakup jumlah, kualitas, dan kapasitas termasuk pemerataannya di berbagai wilayah yang membutuhkan peranan pemerintah maupun pelaku usaha. 

Penentuan lokasi itu juga bisa diarahkan untuk mendorong pertumbuhan perekonomian wilayah, terutama untuk wilayah dengan tingkat pertumbuhan dan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) rendah.  

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Triwulan 3-2023 wilayah Jawa berkontribusi tertinggi sebesar 57,12 persen, diikuti Sumatera (22,16 persen), Kalimantan (8,08 persen), dan Sulawesi (7,25 persen). Dua wilayah dengan kontribusi terendah adalah Bali & Nusra (2,80 persen) serta Maluku & Papua (2,59 persen).

Tingkat pertumbuhan tertinggi pada Triwulan itu adalah Maluku & Papua (9,25 persen) serta Sulawesi (6,44 persen). 

"Berdasarkan analisis SCI, pertumbuhan ekonomi yang tinggi di kedua wilayah tersebut terjadi dalam beberapa tahun terakhir didorong oleh kinerja sektor pertambangan," ungkapnya.

Setijadi menjelaskan, integrasi sistem logistik membutuhkan peningkatan kolaborasi antara industri manufaktur dan penyedia jasa logistik, tidak hanya secara transaksional namun juga secara transformasional secara jangka panjang. 

Kolaborasi dan sinergi juga harus dilakukan antarpenyedia jasa logistik maupun antara penyedia jasa logistik dan operator fasilitas logistik seperti di pelabuhan. (omy)