Herman Sopir Bus PMTOH Solo-Aceh: Lintas Terjauh, Terlama dan Berbahaya: karena Banyak Begal

  • Oleh : Fahmi

Rabu, 02/Jun/2021 13:14 WIB


BEKASI (BeritaTrans.com) - Tak mau kalah, pengemudi ini ceritakan pengalamannya mengendarai bus dengan rute terpanjang, terlama dan medan terberat saat membawa penumpang maupun paket. 

Herman 51 tahun, yang merupakan pengemudi bus PMTOH jurusan Solo, Jawa Tengah menuju Banda Aceh, Aceh. Dia akan menghabiskan waktu perjalanan selama lima hari untuk mengantarkan penumpang busnya ke tujuan tersebut atau sebaliknya. 

Baca Juga:
Mbak Wiwit Sopir Bus PO MTI, Baru Kerja 5 Hari Gajinya Fantastis

"Dari sini bernagkat Rabu(2/6), sampainya nanti hari Senin. Dari Solonya kita semalam(kemarin) siang," kata Herman di Terminal Bekasi, Jawa Barat, Rabu (2/6/2021). 

Baca Juga:
Sopir Bus Mudik Gratis dari Jakarta Meninggal di Terminal Tirtonadi Solo

Warga Tegalsari Mandala, Medan Denai, Sumatera Utara ini juga mencontohkan jiika dibandingkan dengan PO ALS yang berangkat dari Medan, Sumatera Utara menuju Surabaya maka tetap akan tidak menumui persamaan. Dia mengatakan Surabaya-Solo masih bisa ditempuh 6 Jam perjalanan, namun jika ditambah Medan-Banda Aceh masih harus ditambah 11 jam perjalanan. PO PM TOH sudah ada dan dari tahun 1957 dan merupakan merek bus tertua hingga saat ini. 

"Solo-Surabaya cuma 6 jam, kita Medan-Banda Aceh 11 jam, jarak tempuhnya berarti 6 jam bedanya," kata Herman. 

Baca Juga:
Ini Perbedaan Tugas Sopir 1 dan Sopir 2 di Bus AKAP

Perjalanan tersebut akan diawaki oleh dua sopir dan dua kenek yang akan secara bergantian bertugas secara berpasang pasangan setiap 5-6 jam sekali, pekerjaan melelahkan," ucapnya. 

Bus PM TOH yang dikenal sebagai bus paket ini atau bus yang melayani pengiriman barang lebih banyak daripada penumpang ini juga akan melalui jalur-jalur rawan atau berbahaya. 

Diceritakannya perjalanan lintas Sumatera terutama Sumatera Selatan masih banyak jalanan yang sempit, menikung dan menanjak. Perjalanan tersebut harus dilalui dengan sangat hati-hati 

"Daerah Pelambang terutama, medan jalannya berat. Simpang Meo, jalannya sempit, kecil, nanjak, menikung paling berat itulah jalannya," bebernya. 

Dia mengatakan busnya tidak akan melewati jalan tol sepenuhnya karena harus menaikkan dan menurunkan penumpang tergantung tujuannya. 

Bukan saja karena kondisi jalan yang tidak mendukung, juga ada faktor bahaya lain yang mengancam keselamatan jiwa. Jalanan tadi juga dikatakannya juga rawan aksi kejahatan. 

"Disitu juga rawan dengan kejahatan, minta-minta uang. Di jalan situlah, Pengadonan, Simpang Meo," ujarnya. 

Aksi minta-minta sejumlah orang di jalan tersebut diungkapkannya beberapa kali pernah dialaminya dan tidak selalu jika melewati jalan tersebut akan mengalami kejadian yang sama. Namun, dia menceritakan pengalaman dari teman-temannya ada sampai yang dimintai uang dengan jumlah yang tak wajar dan akan mengancam jika tidak memberi. 

"Sering ngasi, kadang kenak, kadang enggak lewat aja aman gitu. Ngasi bisanya Rp10-20 ribu. Kadang-kadang ada yang begal juga, kayak kawan dimintai enggak sewajrnya diminytai sampai Rp500-700 ribu," cerita Herman. 

Untuk urusan aksi pelemparan kaca, hal tersebut kerap terjadi di mana saja sepanjang jalan Sumatera. 

"Kalau lempar kaca itu merata," sebutnya. 

Perjalanan bus melalui jalur-jalur yang harusnya dapat perhatian oleh pemerintah tersebut kini masih harus tetap dilalui untuk tetap terlayani penumpang yang akan sampai ke tujuan dengan melewati jalan tersebut. 

Bapak enam anak ini untuk menempuh perjalanan dari Solo hingga Banda Aceh atau sebaliknya akan menghabisakan waktu selama lima hari. Bus juga akan menginap atau perpal menunggu penumpang terlebih dahulu untuk diberangkatkan kembali bisa sampai satu hingga tiga atau lima hari. 

"Sebulan jalan dua PP(Pulang Pergi). Ya tapi tergantung perpalnya, bisa nginap tiga hari(di terminal tujuan," sambungnya.
Kini di masa pandemi Covid-19 jumlah penumpang bus yang dikendarai oleh Herman juga mengalami pasang surutnya sewa. Dia mengatakan kini jumlah penumoangnya jika dibandingkan sebelum pandemi menurun 60 persen. 

"Menurun jauh. Sekitar bisa dibilang 60%, kadang-kadang buat minyak(bahan bakar/solar aja kita nombok," katanya. 

Bus PM Toh yeng dikendari Herman tersebut akan menghabiskan biaya Rp8,5 juta, itu terdiri dari biaya solar, jalan tol, penyeberangan dan parkir di setiap terminal yang dimasukinya. 

"Operasional Solo-Bnda Aceh Rp8,5 juta. Kalau dapat Rp10 juta, ya kita enggak begajilah," katanya. 

"Terminal, minyak, tol, penyeberangan, semuanya Rp8,5 juta, kalau PP dapat Rp20 juta lebihnya, Rp3 juta, untuk buat servis mobil ya habis," sambungnya. 

Bus harus kembali diservis karena perjalanan yang panjang dan memakan biaya tambaham dari operasional standarnya. Biaya servis tidak bisa ditentukan karena kerysakan dan hal apa saja bisa saja terjadi dan lain kerusakan yang akan dialami saat menjalankan bus tersebut. 

"Sampai mana, harus servis menjaga keamanan kenyamanan," katanya. 

Dia menyambungkan, biaya lain juga harus difikirkan yaitu perbekalan minum dan rokok diperjalanan. Saat ini dikatakannya rumah makan tidak lagi memberikan mereka rokok, air mineral dan sejumlah makanan ringan, padahal dulu kerap disuguhkan karena itu ungkapan terima kasih rumah makan telah membawa banyak penumpang ke tempatnya. 

Namun, karena jumlah sewa semakin sepi dan ditambah pandemi, penumpang bus semakin sepi, jika pun ada penumpang juga bnyak yang rela menahan lapar dan tidak ikut makan di rumah makan tersebut. Jumlah kru yang rmpat orang jika penumpang yang makan hanya ada dua penumpang maka hal itu yang menjadi beban kembali oleh rumah makan. 

"Kalau di makan di rumah makan kita enggak bayar, cuma sebatas makan minum. Tapi kalau di terminal begini ya kita tetap bayar, beli," bebernya. 

Herman mengungkapkan saat ini penghasilannya terkadang hanya mencapai Rp800 ribu perbulan untuk dibawa pulang ke keluarga. Tarif bus PM Toh saat ini ilah untuk jalur tersebut ialah Rp750 ribu, itu juga kerap ditawar oleh penumpang. (Fahmi)