Banjir Semakin Sering, Dapatkah Pendekatan Kuno Belanda jadi Solusi di Tengah Ancaman Perubahan Iklim?

  • Oleh : Redaksi

Senin, 20/Des/2021 08:09 WIB


Distrik Ahrweiler di Negara Bagian Rhineland-Palatinate juga mengalami kerusakan parah. Foto: Getty Images.

Baca Juga:
Jalan Kabupaten di Brebes Terputus Diterjang Banjir Bandang

Mobil bertumpuk di Verviers, Belgia. Foto: AFP.

Seiring dengan banjir yang semakin sering dan lebih intens terjadi, sistem pertahanan Belanda dari hampir 1.000 tahun yang lalu semakin dilirik para pakar dunia.

Baca Juga:
15 Desa di Kabupaten Purworejo Diterjang Banjir

Pada Juli lalu, setelah hujan deras turun selama berhari-hari, Sungai Meuse meluap dan warga Kota Liège di Belgia menjadi korbannya.

Air keruh mengalir deras di kota itu sehingga mendorong penduduk untuk mencari perlindungan dengan mengarungi sampan saat rumah mereka menghilang tertelan air.

Baca Juga:
2.669 Warga 5 Desa di Aceh Utara Terdampak Banjir

Di Kota Liège dan wilayah sekitarnya, lebih dari 20 orang meninggal dunia, satu orang tenggelam di ruang bawah tanah kediamannya.

Bagian timur Belgia itu bukan wilayah satu-satunya.

Di Jerman, sekitar 200 orang meninggal dunia akibat banjir yang digambarkan media sebagai peristiwa yang terjadi sekali dalam satu abad.

Dampak finansial dari bencana itu juga mengejutkan. Di dekat Liège, sebuah pabrik cokelat mengalami kerusakan senilai sekitar €12 juta (Rp193,8 miliar).

Namun ketika kekacauan itu terjadi, satu wilayah di bagian utara menderita jauh lebih sedikit.

Di Belanda, banjir musim panas itu juga digambarkan sebagai yang terburuk dalam satu abad dan mengalami kerusakan properti parah, tetapi negara itu selamat dari banjir tanpa satu pun korban jiwa.

Ada banyak alasan untuk ini: evakuasi cepat, tanggul yang kuat, dan komunikasi yang kuat di antara mereka.

Tetapi yang mendasari berbagai bentuk pertahanan banjir ini adalah sebuah institusi: "water board" (otoritas pengelola air) yang telah melindungi wilayah yang tergenang air ini selama hampir satu milenium.

Asosiasi ini patut diapresiasi karena cara mereka memadukan demokrasi kewilayahan, perpajakan langsung, dan transparansi sebening kristal untuk menempatkan air sebagai inti kehidupan Belanda. Dan Belanda tidak sendiri dalam hal ini.

Dari dataran tinggi Etiopia hingga masyarakat di sepanjang Danube, pengelola air di seluruh dunia telah mencontoh model Belanda untuk kebutuhan mereka masing-masing, yang kemudian mampu meningkatkan kehidupan ribuan orang.

Ini mungkin akan segera diikuti oleh berbagai wilayah lain, karena negara-negara di seluruh dunia juga menghadapi peningkatan genangan dan banjir yang datang seiring dengan perubahan iklim.

Belanda

Metode pengelolaan air modern Belanda sangat canggih, tetapi mereka memiliki sejarah yang sangat panjang. Foto: WATERSCHAP ZUIDERZEELAND

Melanjutkan tradisi

Ketika Piet-Hein Daverveldt pergi bekerja setiap pagi, di antara gereja-gereja dan jalan bebatuan di Kota Delft, Belanda, dia merasakan sejarah berdiri di sekitarnya.

"Jelas, Anda sadar bahwa Anda berada di urutan berikutnya," katanya. "Anda berdiri di pundak banyak orang di masa lalu."

Di 167 Oude Delft, mudah untuk melihat apa yang dia maksud.

Jika Anda berhenti di titik alamat ini dan melihat ke atas, Anda akan melihat sebuah lambang pada gedung dengan fasad gotik yang megah yang selesai dibangun pada 1505.

Ini adalah "gemeenlandshuis" kota itu, atau diterjemahkan sebagai markas besar otoritas pengelola air setempat, di mana Daverveldt menjabat sebagai ketua - atau "dijkgraaf".

Bangunan elegan ini menjadi gemeenlandshuis Delft pada tahun 1645, dan bahkan itu cukup baru di dunia otoritas pengelola air.

Dikenal di Belanda sebagai "waterschap" atau "hoogheemraadschap", beberapa bagian dari asosiasi itu dapat ditelusuri kembali ke abad ke-12.

"Petani, khususnya, harus bersatu untuk melindungi tanah mereka," jelas Tracy Metz, salah satu penulis buku Sweet & Salt: Water and the Dutch.

"Tentu saja, kekuatan sebuah kelompok secara utuh tergantung pada kekuatan setiap elemen di dalamnya, sehingga ada tekanan komunal bagi semua orang untuk melakukan tanggung jawab masing-masing dengan sebaik mungkin demi menjaga lahan pertanian mereka tetap kering."

Bahkan saat ini, hal ini masih masuk akal di negara di mana hampir sepertiga daratan dan separuh rumah masih berada di bawah permukaan laut.

Polder Belanda (ladang dataran rendah yang direklamasi dari laut) dan tanggul perlu dipelihara secara kolektif.

Kerentanan alami ini - "Netherlands" yang secara harfiah berarti "negara dataran rendah" - membantu menjelaskan perkembangan kekuatan otoritas pengelola air.

Pada saat para pelukis maestro Vermeer dan Rembrandt menggoreskan kuas mereka di pertengahan abad ke-17, dewan otoritas pengelola air sudah mampu memungut pajak dan menghukum para pencemar.

Di kantor Otoritas Pengelola Air Rijnland di Leiden, Anda masih dapat menemukan tiang setinggi enam kaki dengan cap besi - yang dulu digunakan untuk menjaga kedisiplinan warga.

Meski begitu, kata Metz, waterschaps pada dasarnya adalah sebuah badan perwakilan.

Meskipun tidak demokratis dalam pengertian modern, mereka dijalankan secara komunal, dengan petani atau burgher membentuk organisasi lokal mereka.

Metz berpendapat bahwa dewan itulah yang membentuk dasar demokrasi Belanda di kemudian hari.

Otoritas pengelola air jelas telah berevolusi. Dulu ada 3.500 badan perwakilan, kini tinggal 21 yang tersisa, dan diwakili oleh asosiasi nasional.

Namun meskipun jumlah mereka telah berkurang, peran mereka bisa dibilang telah diperluas: selain mengatur dan memelihara pertahanan banjir, mereka juga bertanggung jawab atas pengendalian kualitas air, pemeliharaan sungai dan kanal, serta pengolahan limbah.

Dan sejarah budaya, nilai-nilai mereka masih meresap ke dalam kehidupan Belanda kontemporer. Terlepas dari contoh-contoh pada bangunan fisik, ini dapat dilihat dengan jelas dalam bahasa.

Istilah dijkgraaf, misalnya, memiliki nada aristokrat yang jelas - secara harfiah berarti "Count tanggul", yang mengingatkan akan masa lalu feodal Belanda.

Sementara itu, politisi Belanda menggunakan kata kerja polderen untuk menggambarkan semangat kerja sama yang tersirat dalam sistem otoritas pengelola air.

Sejarah institusi ini juga memiliki konsekuensi praktis di zaman modern. Seperti nenek moyang mereka di abad pertengahan, misalnya, otoritas pengelola air masih menggalang dana secara mandiri.

Warga secara umum membayar dua jenis pajak: ke kota mereka dan ke dewan air mereka.

Dan, seperti yang dikatakan Emilie Sturm, kemandirian ini disertai dengan keuntungan finansial yang nyata.

Keberlanjutan finansial

Tidak seperti di tempat lain, di mana badan pengelolaan air berebut untuk mendapatkan uang dengan sektor pendidikan atau perumahan, model Belanda "menjamin" dana selalu ada, jelas Sturm, manajer program di Blue Deal, badan yang mempromosikan keahlian pengelolaan air Belanda di luar negeri.

Ini tercermin dalam statistik: otorita pengelola air menghasilkan hingga 95% anggaran mereka melalui pajak mereka sendiri.

Bandingkan dengan Negara Bagian Texas di Amerika Serikat, di mana Departemen Perumahan dan Pembangunan Perkotaan AS baru-baru ini mengumumkan bahwa Houston dan daerahnya tidak akan mendapatkan dana segar untuk bantuan banjir - meskipun telah meminta $1,3 miliar.

Pada saat yang sama, waterschaps melanjutkan tradisi panjang pemerintahan yang terbuka dan terpilih.

Sebagian besar posisi dewan sekarang dipilih langsung oleh publik, meskipun beberapa masih dibagikan untuk kepentingan perusahaan di bidang industri, pertanian, dan lingkungan.

Diakui, rata-rata orang Belanda sering tidak peduli dengan dewan lokal mereka - Rens Huisman dari Dewan Air Zuiderzeeland membandingkan mereka dengan wasit sepak bola: Anda mengabaikan mereka ketika mereka bekerja dengan baik.

Meski begitu, kekuatan lokal ini sangat membantu. Untuk satu hal, kata Daverveldt, demokrasi mempromosikan investasi dan pemantauan yang transparan.

Di sisi lain, anggota staf dipenuhi oleh para pakar, yang dipilih untuk memahami wilayah mereka sendiri.

Kekuatan regionalisme ini tercermin pada musim panas lalu, ketika dewan mengadopsi berbagai taktik untuk melawan banjir.

Di Rivierenland, yang dilintasi oleh saluran air, staf bergegas untuk memeriksa tanggul-tanggul setempat.

Di Limburg, terjepit di antara Belgia dan Jerman, dewan lokal telah mengusulkan pendekatan kewilayahan "euroregional" untuk mencakup semua tiga negara itu.

Belanda

Badan perwakilan Belanda termasuk perwakilan terpilih, serta perwakilan dari industri. Foto: HOOGHEEMRAADSCHAP VAN DELFLAND

'Mengamankan masa depan'

Sementara, di selatan Addis Ababa, Sungai Awash terbentang sekitar 1.200 km melalui pusat Etiopia, melewati padang semak dan ladang gandum, serta wilayah peternakan.

Di sana juga ada bukit-bukit di dekat sungai setinggi 2.000 meter. Pada malam hari kelompok babon tidur di dedaunan pohon palem untuk bersembunyi dari pemangsa.

Dengan kata lain, ini adalah tempat yang terlihat dan terasa jauh berbeda dari dataran rendah Belanda.

Namun Anda dapat menemukan jejak Belanda di mana-mana, seperti bendungan dan tanggul yang melapisi Awash, juga dalam cara pengelolaan jalur air - mulai dari pajak hingga badan perwakilan.

Tegenu Zerfu, seorang ahli air Etiopia berpendapat ini pada dasarnya tidak mengejutkan.

"Mengamankan masa depan," katanya, "dapat diambil dari model polder."

Etiopia juga tidak unik dalam mencontoh pendekatan ini. Selama bertahun-tahun, pengelola air Belanda telah membawa pengetahuan mereka ke negeri-negeri yang jauh, membangun hubungan dengan negara-negara dari Peru hingga Vietnam.

Secara keseluruhan, Blue Deal Belanda bekerja di 14 negara, sementara masing-masing dewan air juga memiliki kemitraan mereka masing-masing, sesuatu yang dinilai sebagai hasil alami dari tradisi polderen.

Jo Caris, seorang rekan Huisman di Otoritas Pengelola Air Zuiderzeeland dan seorang spesialis saluran air Etiopia, mengatakan bahwa mendukung dewan air wilayah itu sendiri dan Awash bagaikan dua sisi dari koin yang sama.

Dukungan ini juga benar-benar dapat digambarkan sebagai pertukaran, tambahnya, dengan negara-negara berpenghasilan rendah juga mengajar hal-hal baru kepada para veteran air Belanda.

Sturm mengatakan hal yang sama. "Keperluan atas program ini, benar-benar berasal dari pemahaman bahwa untuk beradaptasi dengan perubahan iklim, kita perlu belajar dari satu sama lain di seluruh dunia," jelasnya.

Seperti yang tersirat dalam komentar terakhir ini, Belanda berhati-hati dalam mengekspor metode mereka dan mencoba membawa pulang pelajaran berharga juga.

Sistem otoritas pengelola air telah mempengaruhi bagaimana Zerfu dan rekan-rekannya mereformasi perpajakan di sepanjang Awash.

Sampai Belanda datang beberapa tahun yang lalu, industri besar memiliki sedikit insentif untuk menghemat air, sebuah tantangan serius di negara di mana hanya 42% orang yang memiliki akses ke pasokan air bersih.

Tetapi ini sudah berubah: petani miskin di sepanjang Awash dibebaskan dari pajak air, sementara pengguna yang lebih besar diharapkan untuk membayar bagian mereka.

Zerfu mengatakan bahwa seperti model Belanda, sistem ini mampu menciptakan dana secara berkelanjutan - suatu hal yang penting di negara di mana ada konflik berkelanjutan, pelanggaran hak asasi manusia dan kemiskinan (seperempat dari populasi hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun 2016 ).

Sistem pengelolaan airSaat ini, keahlian air Belanda diterapkan di berbagai lanskap di seluruh dunia, termasuk di proyek-proyek Afrika Sub-Sahara seperti ini di Ghana. Foto: Blue Deal

Anda juga dapat melihat pengaruh dari sistem Belanda dalam cara Etiopia menjalankan sistem representasi. Tidak ada dewan air terpilih yang ada di sepanjang Awash: demokrasi negara ini terlalu rapuh.

Meski begitu, pejabat Belanda dan lokal telah mendorong petani kecil untuk bergabung dengan asosiasi pengguna air lokal, memberi mereka kekuatan kolektif untuk bernegosiasi dengan negara dan industri.

Skema sederhana seperti ini, menurut Huisman, adalah tipikal bagaimana Belanda beroperasi di luar negeri.

"Anda harus melihat prinsip-prinsip yang ada di bawah model tata kelola kami - dan mengubahnya ketika Anda menerapkannya ke negara lain."

Hal yang sama berlaku untuk negara-negara yang lebih dekat dengan Belanda.

Adaptasi sistem

Mirela Ciucur adalah kepala urusan ekonomi di Administrasi Nasional Perairan Rumania.

Seperti Tegenu Zerfu, dia melihat pengaruh model Belanda di tanah airnya, terutama dalam hal tata pemerintahan yang baik.

Secara historis, pengeluaran pajak air Rumania kurang transparan, jelas Ciucur.

Mencontoh dari Belanda, Ciucur mengembangkan "model analisis ekonomi" untuk memahami dengan tepat apa yang membutuhkan uang, mulai dari pertahanan banjir hingga pemeliharaan pantai.

Selain lebih transparan, pendekatan ini mendorong Rumania ke arah model "pemulihan biaya" yang begitu sukses di Belanda.

Seperti halnya di Etiopia, tentu saja, ada perbedaan dengan penerapannya di Rumania.

Meskipun Rumania sudah memiliki 11 dewan air regional, misalnya, anggaran mereka dikelola secara terpusat di Bukares.

Meski begitu, Ciucur akhirnya yakin akan perlunya mengikuti Belanda. Dia bilang dia berharap "kita bisa dekat dengan model sukses mereka".

Sementara itu di India, dalam kurun waktu berdekatan dengan bencana yang terjadi di Eropa, hujan deras turun hingga arus air tak terbendung.

Warga harus diselamatkan dari sekitar 900 desa, dan banjir datang begitu cepat sehingga tentara harus menyelamatkan penduduk desa yang terdampar dengan menggunakan perahu-perahu kayu kecil.

Ini terjadi di negara bagian Maharashtra, India tengah, di mana lebih dari 100 orang meninggal dunia.

Kejadian banjir yang terjadi di berbagai negara menjadi peringatan tentang ancaman banjir di era darurat iklim.

Di sebagian besar Eropa Barat, para ilmuwan telah menemukan bahwa perubahan iklim meningkatkan curah hujan yang turun hingga 19% .

Tidak mengherankan, ini secara dramatis meningkatkan risiko banjir.

Para peneliti mengatakan bahwa perubahan iklim membuat banjir baru-baru ini di Jerman sembilan kali lipat lebih mungkin terjadi.

Para ilmuwan juga telah sampai pada kesimpulan serupa tentang subbenua India, mencatat bahwa perubahan iklim menempatkan 75% distrik di India dalam risiko bencana cuaca seperti banjir.

Dan tidak hanya di dua wilayah di dunia ini.

Beberapa bagian South Dakota, Nebraska, dan New Mexico di AS dapat mengalami peningkatan paparan terhadap banjir lima kali lipat pada tahun 2100.

Dengan kata lain, masalah yang baru-baru ini merusak Belgia dan India benar-benar menjadi ancaman global.

Itu tentu menimbulkan pertanyaan: apa yang harus dilakukan?

Tentu saja, jawaban akhirnya sangat kompleks, mencakup segala hal mulai dari energi hijau hingga undang-undang perencanaan yang lebih baik.

Tetapi dapatkah model pengelolaan air Belanda - dengan pilar kemandirian secara finansial, transparansi, kolaborasi, serta diiringi kemampuan beradaptasi dengan kondisi lokal - juga dapat memberikan pelajaran yang lebih luas bagi berbagai negara?

Para ahli percaya itu mungkin.

"Itu bisa bekerja dengan sangat baik," kata Tracy Metz, "jika organisasi-organisasi ini memiliki otonomi dan pengaruh yang cukup sehingga apa yang mereka putuskan benar-benar terjadi."

Sturm pun setuju. Air, dia menekankan, akan memainkan "peran besar" di dunia masa depan.

"Jadi kebutuhan akan otoritas pengelola air untuk berada di sana, dan memiliki pengetahuan yang benar, institusi yang tepat, manajemen pemangku kepentingan yang tepat, sangat penting."

Ada juga tanda-tanda bahwa bahkan tempat-tempat tanpa hubungan langsung dengan Blue Deal terpengaruh oleh pendekatan Belanda.

Di Virginia, AS, misalnya, kota-kota rentan di seluruh negara bagian bekerja sama untuk mengembangkan rencana induk pesisir terpadu, mendorong pemerintah untuk mengambil lebih banyak inisiatif keuangan setelah keadaan darurat.

Sementara di sudut lain negara itu, Dewan Kontrol Sumber Daya Air Negara Bagian di California sedang mempertimbangkan untuk memberi dirinya lebih banyak kekuatan, yang berpotensi mewajibkan orang yang mengendalikan sungai dan aliran air untuk berbagi keuntungan mereka dengan masyarakat.

Sumber: BBC.com.

 

Tags :