PNBP Terlalu Memberatkan Kapal Ikan, Ribuan ABK Terancam Mengganggur

  • Oleh : Redaksi

Rabu, 26/Janu/2022 22:15 WIB
Ilustrasi kapal nelayan. Foto: istimewa. Ilustrasi kapal nelayan. Foto: istimewa.

JAKARTA (BeritaTrans.com) - Ribuan anak buah kapal (ABK) penangkap ikan kini tengah menghadapi ancaman kehilangan penghasilan dan menganggur. Pasalnya kapal mereka juga terancam tidak dapat melaut.

Persoalannya bukan karena cuaca yang cenderung ekstrim di laut, namun oleh karena beban kenaikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dikenakan kepada para pemilik kapal.

Baca Juga:
6 ABK WNI Wafat di Kecelakaan Kapal Korea di Perairan Jepang, Kemenhub Fasilitasi Pemulangannya

Ketua DPP PKS Bidang Tani dan Nelayan, Riyono mengungkapkan, kontroversi Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) masih terus berlanjut.

Kebijakan terkait kenaikan PNBP  yang awalnya mencapai 400 persen dan akhirnya telah direvisi menjadi 150 persen dinilai masih memberatkan para pemilik kapal.

Baca Juga:
Pemulangan Jenazah ABK Wafat di Republik Fiji Difasilitasi Kemenhub

“Imbasnya, kapal penangkap ikan tidak ‘berani’ melaut dan tentunya tak sedikit ABK yang harus nganggur,” ungkapnya di Semarang, Rabu (26/1).

Menurut Riyono, kebijakan KKP belum mampu menyelami maunya pelaku usaha perikanan, termasuk para nelayan dan ABK yang sekarang sedang berjuang keluar dari krisis ekonomi di tengah situasi pandemi.

Baca Juga:
Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah 3 Pelaut Alami Kecelakaan Kapal Terbalik di Korsel

Perihal keluhan para nelayan tersebut, sudah didengarkannya langsung dari Heri, Ketua Paguyuban Nelayan Jaring Tarik Kantong, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, baru- baru ini.

Mengutip apa yang disampaikan oleh Heri, nelayan jaring tarik kantong harus membayar untuk perpanjangan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) yang cukup membebani.

Saat ini, untuk kapal tangkap ukuran 30 sampai dengan 60 gross ton (GT) diwajibkan membayar Rp 860 ribu per GT. Maka total yang harus dibayar untuk perpanjangan SIPI kapal 60 GT mencapai 51.6 juta.

Sementara, untuk kapal ukuran 60 sampai 100 GT mencapai Rp 1.640.000 per GT. Maka untuk kapal berukuran 100 GT pemilik kapal harus bayar perpanjangan SIPI mencapai 164 juta. “Nominal tersebut sangat memberatkan di tengah kondisi pandemi,’ tegasnya.

Terkait hal itu, Sekretaris Fraksi PKS DPRD Jawa Tengah ini menilai, KKP lupa bahwa dengan menaikan pajak sama dengan meningkatkan eksploitasi laut yang dapat mengancam kelestarian sumber daya yang ada didalamnya.

Ia bahkan menyebut, kebijakan yang meberatkan nelayan tersebut merupakan imbas dari kebijakan KKP yang menargetkan PNBP mencapai 12 triliun, yang sebelumnya banyak di kritik oleh nelayan dan dunia usaha perikanan.

Sehingga target tersebut dinilainya tidak realistis serta membebani kelestarian laut serta dunia usaha perikanan. Di lain pihak, KKP belum mampu memenuhi syarat soal PNBP seperti yang diatur dalam UU Nomor 9 tahun 2018 tentang PNBP.

Khususnya pada pasal 2 huruf A dan B yang diujung penjelasanya menyebutkan prinsip berkelanjutan dan berkeadilan bagi masyarakat. Sementara huruf C menyebutkan syarat aspek pelayanan pemerintah yang akuntabel, transparan dan bersih.

“Pertanyaan saya, melihat pengelolaan sektor perikanan yang baru saja masih terseok - seok, apakah iya KKP bisa mewujudkan amanat undang- undang tersebut,” tegasnya.

Saat ini, masih lanjut Riyono, dengan kenaikan pajak retribusi SIPI tersebut sangat mencekik para pemilik kapal dan nelayan. Ada ratusan kapal nelayan yang tidak bisa melaut, akibat peraturan tersebut.

Jika memaksa berangkat, para nelayan (ABK) beresiko untuk ditangkap petugas saat melaut. Karena itu, PKS meminta kepada DPR untuk membatalkan target PNBP yang menututnya tidak realistis tersebut.

“Termasuk juga mengkaji ulang kebijakan kenaikan 150 persen pajak/ retribusi PNBP yang dibebankan kepada kapal ikan yang akan sangat berdampak bagi ribuan ABK, termasuk di Jawa Tengah,” tandasnya. (dn/sumber: republika.co.id)