Oleh : Naomy
Penulis: Ketua Umum Indonesia National Air Carrier Association (INACA) Denon Prawiraatmadja
JAKARTA (BeritaTrans.com) - Industri penerbangan nasional sesungguhnya merupakan industri yang mempunyai pengaruh cukup besar pada perekonomian Indonesia.
Menurut Asosiasi Maskapai Penerbangan Internasional (IATA), kontribusi industri penerbangan nasional dan sektor-sektor terkait seperti pariwisata dan perdagangan terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2023 mencapai 62,6 miliar dollar AS atau Rp1.001,6 trilliun (kurs Rp16.000,-), setara 4,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Baca Juga:
6 Bandara InJourney Airports Sabet Penghargaan dari INA
Jumlah tenaga kerja yang terkait di industri aviasi ini totalnya mencapai 6 juta orang.
Namun, industri penerbangan Indonesia selama tahun 2024 bisa dikatakan masih belum baik-baik saja.
Baca Juga:
Angkasa Pura II Kick Off Survey Kepuasan Pelanggan Bandara
Iklim usaha yang diwarnai persaingan bisnis tajam sebelum pandemi Covid-19 dan kemudian dilanjutkan paparan pandemi Covid-19, dampaknya masih terasa hingga tahun ini.
Meski demikian, tetap ada setitik sinar terang yaitu mulai timbul kesadaran terkait pengaruh besar industri penerbangan terhadap perekonomian dan perikehidupan bangsa Indonesia serta adanya perhatian lebih serius dari pemerintah terhadap industri penerbangan nasional.
Menurut catatan INACA, ada beberapa hal yang membuat industri penerbangan nasional masih tidak baik-baik saja selama tahun 2024 yaitu:
1. Biaya penerbangan yang masih tinggi, terutama dipengaruhi oleh naiknya nilai tukar Dollar AS terhadap Rupiah, di mana pada tahun 2019 kurs rata-rata 1 dollar AS sebesar Rp13.901,- sedangkan tahun 2024 sampai dengan bulan Oktober rata-rata sudah
mencapai Rp15.884,- atau naik 14%.
2. Naiknya kurs dollar AS ini juga mempengaruhi naiknya harga avtur, harga spareparts, sewa pesawat dan komponen lainnya yang menggunakan acuan mata uang dollar AS, sehingga membuat naiknya biaya yang ditanggung maskapai penerbangan.
3. Masih belum direvisinya peraturan terkait Tarif Batas Atas (TBA) dan Tarif Batas Bawah (TBB) dengan mengikuti kenaikan biaya penerbangan dari tahun 2019 ke tahun 2024.
4. Masih adanya bea masuk bagi sebagian besar spareparts pesawat. Terdapat 472 HS Code spareparts pesawat di mana baru 123 HS Code sudah mendapat bea masuk 0%, tetapi
masih ada 349 HS Code atau sekitar 74% dengan jumlah 22.349 part number yang masih dikenakan bea masuk 2,5% hingga 22,5%.
5. Adanya backlog pesawat dan spareparts secara global dampak dari pandemi Covid-19, sehingga memengaruhi jumlah pesawat yang tersedia dan siap untuk terbang
(airwhorthy).
6. Turunnya daya beli masyarakat sehingga berakibat berkurangnya jumlah penumpang pesawat maskapai berjadwal rute domestik.
Pada periode Januari – September 2024,
data sementara jumlah penumpang pesawat maskapai berjadwal rute domestik berjumlah 44.3 juta penumpang, lebih rendah 10% dari periode Januari – September 2023 yang berjumlah 49.2 penumpang.
7. Kondisi keselamatan penerbangan yang sedikit menurun yang dikhawatirkan akibat dari kondisi finansial maskapai melemah. Menurut data dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), pada Januari – Desember tahun 2023 jumlah kecelakaan sebanyak sembilan kali dan kejadian serius sebanyak 13 kali. Sedangkan Januari – awal Desember tahun 2024, jumlah kecelakaan sebanyak sembilan kali dan kejadian serius terdapat 15 kali.
Mengingat pada tahun 2024 data yang dicatat belum penuh satu tahun dan jumlah penerbangan yang lebih sedikit dibanding 2023, maka persentase keselamatan penerbangan 2024 menurun dibanding 2023.
INACA juga melihat setitik sinar terang, terutama adanya kebijakan pemerintah pada tahun 2024 yang mempengaruhi industri penerbangan nasional, yaitu:
1. Diterbitkannya Peraturan Menteri Perdagangan yaitu Permendag no. 3 tahun 2024 pada Maret 2024 yang membebaskan industri penerbangan dari kebijakan Larangan dan Pembatasan (LARTAS) impor spareparts pesawat.
2. Diterbitkannya surat dari Deputi Gubernur BI no. 26/1/DpG-DKSP/Srt/B tentang Penundaan Implementasi Kewajiban Penggunaan Rupiah bagi Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Tidak Berjadwal yang berlaku dari Juni 2024 sampai dengan Juni 2026.
3. Dibahasnya permasalahan industri penerbangan secara komprehensif oleh pemerintah, mulai dari bisnis dan operasional penerbangan sampai dengan hal-hal pendukungnya yang dimulai pada Juli sampai dengan Oktober 2024.
4. Upaya menggairahkan bisnis penerbangan oleh pemerintah dengan memberikan diskon biaya kebandarudaraan (PJP4U dan PJP2U) serta pengurangan fuel surcharge yang dipadukan dengan diskon harga avtur selama periode Natal 2024 dan Tahun Baru 2025, sehingga dapat menurunkan harga tiket pesawat domestik rata-rata sebesar 10%.
Menyikapi kondisi industri penerbangan yang telah terjadi selama tahun 2024, INACA sebagai asosiasi maskapai penerbangan nasional yang beranggotakan maskapai penerbangan berjadwal, maskapai tidak berjadwal (carter), maskapai penerbangan kargo dan maskapai penerbangan perintis mengharapkan beberapa hal berikut ini di tahun 2025 dan seterusnya:
1. Peningkatan perhatian dari pemerintah untuk melanjutkan kembali pembahasan permasalahan industri penerbangan secara komprehensif mulai dari bisnis dan operasional penerbangan sampai dengan hal-hal pendukungnya.
2. Peningkatan perhatian terhadap kondisi finansial maskapai penerbangan terutama maskapai penerbangan berjadwal dan perintis mengingat maskapai ini sebagai aktor utama di industri penerbangan yang sangat dibutuhkan masyarakat Indonesia.
3. Peningkatan perhatian terkait penerbangan perintis untuk masyarakat di pelosok-pelosok tanah air yang membutuhkannya dengan melakukan perbaikan peraturan dan kebijakan
yang berlaku saat ini.
4. Peningkatan kebijakan yang tegas dari pemerintah terkait posisi bisnis penerbangan (transportasi udara), apakah termasuk barang mewah atau sebaliknya termasuk barang kebutuhan pokok transportasi umum bagi masyarakat.
Karena hal tersebut akan berpengaruh terhadap pajak-pajak yang dikenakan dan akhirnya akan dibebankan kepada masyarakat dalam bentuk harga tiket.
Saat ini transportasi udara dikenakan berbagai pajak dan bea masuk, tidak seperti transportasi umum di darat dan lautan yang mendapatkan relaksasi pajak dan bea masuk.
Padahal transportasi udara sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia yang wilayahnya berbentuk kepulauan, baik untuk melancarkan pergerakan orang maupun barang ke seluruh pelosok tanah air sehingga mempunyai multiplier effect besar terhadap perekonomian nasional.
5. Peningkatan perhatian yang lebih serius dalam implementasi safety management system (SMS) dan peningkatan safety culture dalam operasional penerbangan dari semua stakeholder baik itu regulator (pemerintah), operator penerbangan (maskapai, bandara, MRO dll), dan masyarakat.
Hal tersebut mengingat kondisi keselamatan penerbangan global dan nasional yang menantang pada akhir-akhir ini dan adanya kekhawatiran backlog beberapa spareparts penting dari pesawat yang banyak dioperasikan maskapai penerbangan di tahun 2025.
Demikian catatan akhir tahun 2024 dari industri penerbangan nasional yang dapat kami sampaikan.
Kami berharap di tahun 2025 dan seterusnya, industri penerbangan nasional dapat menjadi lebih baik dan sehat sehingga mempunyai multiplier effect yang lebih besar pada perekonomian dan perikehidupan bangsa Indonesia. (omy)