Menkes: Testing Tujuannya Bukan Mau Terbang atau Meeting

  • Oleh : Redaksi

Kamis, 28/Janu/2021 06:29 WIB
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi melihat langsung kedatangan 1,8 juta dosis Vaksin Covid-19, Sinovac di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng (31/12) Foto: Muchlis Jr - Biro Pers Sekretariat Presiden Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi melihat langsung kedatangan 1,8 juta dosis Vaksin Covid-19, Sinovac di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng (31/12) Foto: Muchlis Jr - Biro Pers Sekretariat Presiden

JAKARTA (BeritaTrans.com) - Aktivitas tracing dan testing Covid-19 yang dilakukan di Indonesia ternyata keliru. Hal ini kembali diakui oleh Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin.

Dia menuturkan kedua aktivitas itu harusnya dilakukan benar. Testing untuk mengidentifikasi orang terkena dan berpotensi positif lalu melakukan isolasi untuk mengurangi laju penularan.

​​​Ternyata ada salah kaprah soal testing tersebut, menurut Budi alasannya bukanlah untuk bepergian atau bertemu orang.

"Tujuannya bukan mau terbang atau mau meeting atau mau ketemu teman, ini kadang-kadang salah. Untuk urusan testing yang kami perbaiki adalah testing harus benar strategi testingnya," kata Budi dalam Webinar Online, Rabu (27/1/2021).

Budi menuturkan jumlah testingnya pun belum merata walaupun secara nasional cukup. Di Jakarta tes dilakukan berlebih sementara kota kecil masih kurang.

Sementara itu tracing adalah untuk mengidentifikasi cepat siapa yang kena. WHO menyebutkan pada satu orang yang positif harus ada 30 orang dilacak, namun di Indonesia angkanya belum sampai sana.

Keduanya harus dilakukan untuk menurunkan laju penularan. Budi menuturkan dengan strategi sederhana dan membuat rumah sakit punya waktu untuk melakukan langkah pencegahan dan cukup untuk vaksinasi.

"Dua hal itu di hulu sebabnya, itu nambal atap bocornya yang mesti diberesin itu hulu, sebab nambal gentengnya," ungkapnya.

Budi mengaku tidak bisa memperbaiki baik tracing dan testing ataupun mengubah perilaku masyarakat. Tapi butuh bantuan semua orang.

"Enggak mampu saya jujur, ini harus memberdayakan seluruh masyarakat," kata Budi.

Sebelumnya Budi Gunadi mengungkapkan cara testing Covid-19 yang dilakukan di Indonesia salah. Sebab yang testing adalah mereka yang mau bepergian bukan orang yang menjadi suspect atau orang yang memiliki riwayat tinggal di wilayah yang melaporkan transmisi lokal atau kontak dengan pasien terkonfirmasi Covid-19 dalam 14 hari terakhir.

Budi mencontohkan dirinya bisa ditest swab Covid-19 hingga lima kali dalam seminggu karena masuk Istana Negara dan bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Kita tidak disiplin. Cara testingnya salah. Testingnya banyak, kenapa [kasus positif Covid-19] naik terus. Habis yang ditesting orang kayak saya. Saya setiap mau ke Presiden dites, presiden dites. Seminggu bisa lima kali dites karena masuk Istana. Emang bener begitu? Pastinya tak begitu harusnya," ujar Budi Gunadi Sadikin seperti dikutip dari Kanal YouTube PRMN SuCi, (Jumat 22/1/2021).

Dia mengungkapkan harusnya yang dikejar adalah epidemiologi bukan testing mandiri, testing pada orang yang masuk kategori suspect Covid-19.

"Harusnya yang ditest suspect bukan orang yang mau bepergian seperti Budi Gunadi Sadikin yang mau menghadap Presiden. Nanti standar WHO (World Health Organization) tes satu per seribu per minggu terpenuhi tetapi tidak ada gunanya testingnya harus secara epidemiologi," ujarnya..

Budi Gunadi Sadkin mengusulkan untuk meningkatkan kepatuhan dan disiplin protokol kesehatan seperti menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak harus melibatkan ibu-ibu PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga).

Komentar Epidemiologi

Menanggapi pernyataan tersebut, epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Padjadjaran, Panji Fortuna Hadisoemarto, menilai apa yang disampaikan Menkes Budi Gunadi adalah ilustrasi dari tidak meratanya testing yang dilakukan. Artinya, hanya sekelompok orang saja yang sering dilakukan pemeriksaan sampel, seperti pejabat.

“Banyak dikeluhkan kalau masyarakat itu tidak dites, hanya diminta isolasi saja," katanya saat dihubungi, Senin 25 Januari 2021.

Masalahnya, Panji mengungkapkan, jumlah tes juga terbatas. "Ini jadi lingkaran setan, mau mengubah pedoman tapi kapasitas harus ditingkatkan atau mengubah pedoman supaya bisa melakukan tes lebih banyak,” ujar dia menambahkan.

Indonesia, menurut peraih gelar master kesehatan masyarakat di Georgia State University School of Public Health, Amerika Serikat itu, memiliki target tes 1/1000 penduduk per minggu sesuai pedoman dari Badan Kesehatan Dunia (WHO). Tapi angka itu merupakan target minimal. Dia berharap agar bisa ditambah misalnya 2/ 1000 atau 3/1000 penduduk per minggu

“Memang harus diperbaiki dengan lebih banyak tes, terutama pada mereka yang kontak dengan yang positif,” kata Panji menuturkan.

Jumlah testing merata, dia menekankan, juga jangan hanya melihat dari lingkup provinsi tapi juga kabupaten atau kota. Karena, kata Panji, tidak semua kabupaten atau kota memiliki fasilitas yang lengkap, termasuk dengan kapasitas mengambil sampel. Dia mencontohkan, Nusa Tenggara Timur, testing-nya rendah karena laboratorium terbatas. Di NTT pula banyak pulau kecil yang sulit terjangkau.

“Ini masih tidak merarta. Jadi jumlah testing jangan terlalu dilihat di provinsinya tapi distribusi di daerah bagaimana,” kata Panji.

Dari dulu, Panji menjelaskan, dirinya dan epidemiolog lainnya selalu meminta agar testing diperbanyak dan merata. Bahkan sampai didapat tingkat positivity rate paling tidak 5 persen (sekarang 30 persen).

“Kita harus memeriksa beberapa kali lipat lebih banyak. Kalau lebih banyak ditemukan bisa dikarantina, bisa di-trace kontaknya, itu bisa membantu mengatasi pandemi Covid-19,” katanya lagi.

Swdangkan epidemiolog Indonesia di Griffith University Australia, Dicky Budiman mengatakan, bahwa apa yang disampaikan oleh Menkes Budi Gunadi Sadikin tersebut tidak salah.

Menurut Dicky, tidak masalah jika dilakukan testing untuk keperluan berpergian, untuk memastikan kondisi tubuh memang tidak terinfeksi dan membawa virus saat berpergian, serta bertemu banyak orang lain di luar sana.

"Itu kalau pergi-pergi ya enggak apa-apa (tes), tapi jangan masuk laporan, jadi performa (angka kasus) gitu. Ini yang salah kaprahnya di situ," kata Dicky saat dihubungi Kompas.com, Jumat (21/1/2021).