Cerita eks bos Nissan Carlos Ghosn: `Bagaimana saya bisa kabur dari Jepang dengan meringkuk di dalam peti`

  • Oleh : Redaksi

Kamis, 15/Jul/2021 12:56 WIB
Rencana kabur dari Jepang muncul setelah Carlos Ghosn tidak boleh lagi berkontak dengan istrinya, Carole. Foto: BBCIndonesia.com. Rencana kabur dari Jepang muncul setelah Carlos Ghosn tidak boleh lagi berkontak dengan istrinya, Carole. Foto: BBCIndonesia.com.

JAKARTA (BeritaTrans.com) - Di suatu malam yang dingin pada Desember 2019, tepatnya pukul 22.30, mantan bos besar industri mobil terkemuka dunia meringkuk di dalam sebuah peti yang diangkut ke pesawat, menunggu untuk kabur dari Jepang. 

"Pesawat itu dijadwalkan lepas landas jam 11 malam," kenang Carlos Ghosn. 

Baca Juga:
Rangkaian KTT G7, Para Pimpinan Negara Beri Penghormatan pada Korban Bom Hiroshima

"Tiga puluh menit menunggu di dalam peti di pesawat, menunggu lepas landas, kemungkinan adalah penantian terlama yang saya alami dalam hidup." 

Kini, untuk kali pertama, pria yang dulu dikenal sebagai bos mobil bermerek Nissan dan Renault itu mendetailkan upaya nekatnya untuk lolos dari jerat hukum.

Baca Juga:
Kaisar Jepang Naruhito Akan Hadiri Pemakaman Ratu Elizabeth II, Perjalanan LN Pertama sejak Naik Takhta

Dalam wawancara khusus dengan BBC, Ghosn mengaku bagaimana dia menyamarkan diri di sudut-sudut kota Tokyo, lalu mengapa memilih peti untuk mengangkut alat musik sebagai cara untuk bisa kabur dari Jepang, serta kegembiraan yang dia rasakan saat akhirnya mendarat di negara asalnya, Lebanon. 

"Yang paling mendebarkan adalah akhirnya saya bisa menceritakan kisah itu," ujarnya. 

Baca Juga:
Gempa Magnitudo 7,3 di Jepang, Sebabkan Satu Orang Tewas dan 69 Cedera

Ghosn ditahan pada November 2018 atas tuduhan dari Nissan bahwa dia tidak jujur melaporkan gaji tahunannya dan menyalahgunakan uang perusahaan, hal yang dia bantah.

Pada saat itu, Ghosn berposisi sebagai direktur produk mobil asal Jepang tersebut. Dia juga memimpin Renault asal Prancis dan juga aliansi antara dua pabrikan itu dengan Mitsubishi. 

Pemangkasan anggaran yang dia lakukan di Nissan - awalnya kontroversial - pada akhirnya tampak telah menyelamatkan pabrikan itu dan dia praktis menjadi tokoh yang sangat dihormati dan dikenal. 

Namun dia mengakui jadi "korban" perlawanan balik dari Nissan atas meningkatnya pengaruh Renault yang masih memiliki 43% saham perusahaan Jepang itu. 

Serial dokumenter Storyville mengungkapkan secara detail kebangkitannya yang luar biasa sekaligus kejatuhannya dalam tayangan Carlos Ghosn: The Last Flight yang dijadwalkan tayang di BBC 4 pada Rabu 14 Juli. 

'Syok dan trauma'

Saat mengenang penangkapannya di bandara Tokyo tiga tahun lalu, Ghosn berkata: "Ibarat ditabrak bus atau sesuatu yang benar-benar sangat menimbulkan trauma.

"Ingatan yang bisa saya tangkap hanyalah syok dan trauma," ujarnya. 

Ghosn selanjutnya digelandang ke Pusat Tahanan Tokyo, dan begitu sampai langsung diberi seragam dan dikurung dalam sel.

"Tiba-tiba saya harus hidup tanpa jam, tanpa komputer, tanpa telepon, tanpa berita, tanpa pena - tidak ada apapun," ujarnya. 

Lebih dari setahun Ghosn menghabiskan waktu di tahanan dan kemudian berstatus tahanan rumah di Tokyo setelah membayar jaminan. 

Tidak jelas saat itu kapan dia diadili - serta khawatir bakal menunggu bertahun-tahun - dan Ghosn menghadapi ancaman hukuman penjara 15 tahun bila terbukti bersalah, di negara yang tingkat pemindanaannya 99,4%. 

Selama menjalani tahanan rumah, Ghosn diberitahu tidak boleh berkontak apapun dengan istrinya, Carole, sehingga dia berupaya mencari jalan keluar.

"Rencananya adalah saya tidak boleh ketahuan, jadi harus bersembunyi di sebuah tempat," kata dia.

"Satu-satunya cara untuk bisa bersembunyi adalah di dalam suatu peti atau koper sehingga tidak bisa dilihat dan rencananya bisa berjalan." 

Menurutnya ide menggunakan peti besar yang biasanya untuk alat-alat musik "merupakan yang paling logis, terutama di saat sedang banyak konser musik di Jepang."

Lalu bagaimana orang yang dulu terkenal hebat dan langsung berubah jadi pesakitan di Jepang itu bisa pergi dari rumahnya di Tokyo, sampai ke bandara, lalu bisa meloloskan diri? 

Kuncinya adalah, ungkap Ghosn, bersikap senormal mungkin pada hari itu.

"Diusahakan senormal mungkin, memakai baju yang biasa-biasa saja, begitu pula perilaku, pokoknya tiba-tiba semuanya harus berubah."

Ghosn idak lagi berpakaian dasi dan jas seperti yang rutin dia lakukan sebagai eksekutif perusahaan global, melainkan hanya berbaju kasual. Pakai jeans atau baju olahraga. 

"Bisa Anda bayangkan saya harus ke tempat-tempat yang belum pernah dikunjungi sebelumnya, membeli baju-baju yang belum pernah saya beli," ujarnya. 

"Ini semua adalah bagian dari bagaimana kita bisa sukses menjalankan rencana dan tanpa menarik perhatian."

Bersembunyi dalam peti

Dari Tokyo, Ghosn naik kereta peluru ke Osaka di mana sudah menunggu pesawat jet pribadi di bandara setempat. Namun dia harus masuk dalam peti yang sudah disiapkan di hotel yang dekat dengan bandara. 

"Saat meringkuk di dalam peti, jangan lagi berpikir masa lalu, juga masa depan. Kita cuma pikirkan saat itu saja," ujarnya.

"Jangan takut dan jangan luapkan emosi selain berkonsentrasi penuh, 'Ini kesempatan yang tidak boleh dilewatkan. Bila gagal, maka akan menyesal seumur hidup, yaitu hidup sebagai tahanan di Jepang."

Ghosn yang sudah di dalam peti lalu dibawa dari hotel ke bandara oleh dua orang, yaitu ayah dan anak bernama Michael dan Peter Taylor yang menyaru sebagai musisi. 

Ghosn mengaku berada di dalam peti selama sekitar satu setengah jam, namun merasa seperti "satu setengah tahun."

Jet pribadi itu lepas landas tepat waktu, dan Ghosn - sudah bebas dari kurungan - terbang sepanjang malam, dan pindah pesawat di Turki sebelum mendarat di Beirut pada esok pagi.

Lebanon tidak punya perjanjian ekstradisi dengan Jepang sehingga Ghosn bisa tinggal bebas di sana. 

Namun, Michael dan Peter yang membantu Ghosn kabur dari Jepang, malah diekstradisi oleh AS ke Jepang dan mereka berdua kini menghadapi hukuman penjara tiga tahun.

Turut menjadi tahanan adalah Gregg Kelly, mantan kolega Ghosn di Nissan. Dia tetap menjalani tahanan rumah di Tokyo atas tuduhan membantu mantan bosnya itu menggelapkan pendapatannya. Kelly sendiri membantah tuduhan itu. 

Bagaimana dengan orang-orang yang dia tinggalkan di Jepang?

Ucap Ghosn: Saya diberitahu bahwa tahap akhir sidang pengadilan [Kelly] kemungkinan besar akhir tahun ini. Dan hanya Tuhan yang tahu apa hasilnya nanti atas kasus, yang seperti saya bilang, dibuat-buat."

Dia menambahkan: "Saya menyesali semua pihak yang menjadi korban penyanderaan sistem hukum di Jepang, mereka semua."

Pelopor, visioner, ego-maniak, orang luar. 

Itulah gambaran bagi warga campuran Lebanon dan Brasil tersebut. 

Dia berstatus lebih sebagai seorang kepala negara ketimpang pemimpin industri. Menggelar pesta perusahaan di Istana Versailles yang kebetulan, menurutnya, digelar bertepatan dengan ulang tahunnya ke-60, menjadikannya seolah-olah raja didampingi staf yang berpakaian monarki era sebelum Revolusi Prancis.

Dengan memimpin Renault dan Nissan secara bersamaan, dia dianggap membawa kegelisahan bagi orang-orang di kedua perusahaan itu. 

Mereka yang dulu bekerja di Nissan khawatir dia akan memimpin kudeta Prancis atas bisnis tradisional perusahaan Jepang yang telah dia selamatkan itu. Sedangkan mereka yang di Renault tidak suka atas penampilannya yang menghiasi majalah-majalah sosialita di Paris. 

Setiap CEO global harus bisa sensitif atas nuansa politik. Fakta bahwa Carlos Ghosn, setelah hampir 20 tahun di Nissan, benar-benar dibutakan atas penahanannya di Tokyo menunjukkan dia sudah kehilangan kaitan dengan dua perusahaan besar yang dia coba padukan bersama-sama. 

Kisahnya itu memiliki segala unsur: keangkuhan, politik perusahaan dan global, dan pelariannya yang layak untuk jadi film Hollywood.

Dia bersikeras bahwa dia adalah orang yang lebih banyak dijahati dan bukan melakukan kejahatan dan bersama dengan para pengacaranya berupaya untuk membersihkan namanya.

Dia tetap menjadi "ikan besar di kolam yang kecil", hidup di pengasingan dan di bawah penjagaan orang-orang bersenjata di Beirut untuk waktu yang tidak pasti.

Ini bukanlah akhir yang dia harapkan dalam drama yang luar biasa ini. (dn/sumber: BBCIndonesia.com).