Cerita Kaum Laki-Laki yang Berpakaian Serba Biru di Gurun Sahara

  • Oleh : Redaksi

Sabtu, 02/Okt/2021 05:54 WIB
Laki-laki Gurun Sahara yang menggunakan pakaian serba biru. Laki-laki Gurun Sahara yang menggunakan pakaian serba biru.

BERITATRANS.COM - Meskipun pakaian menawan serba biru orang-orang Sahara sudah menjadi peninggalan masa lalu, tapi di bagian gurun yang masuk wilayah Mauritania, tradisi fashion itu masih hidup dan sepertinya akan terus dipertahankan. 

Pakaian panjang yang longgar (daraa atau boubou) dan kerudung kain yang digunakan sebagai sorban (tagelmusts) adalah dua pakaian tradisional utama laki-laki nomaden di Sahara. 

Baca Juga:
Pembuatan Film Budaya Aceh Tamiang `Pekaba Warisan Atok` hingga Tayang Gratis di Cafe


Daraa dan tagelmusts adalah dua pakaian utama bagi laki-laki nomaden di Gurun Sahara. 

Menyesuaikan lingkungan yang kejam 

Baca Juga:
Festival Dondang Kelurahan Ciketing Udik Bekasi Meriahkan Dirgahayu RI, Warga Tumpah di Stadion Mini

Asal usul pakaian di Afrika utara dapat ditelusuri kembali ratusan tahun ke belakang, dari abad ke-7 dan ke-8 hingga masa awal perdagangan trans-Sahara antara Sub-Sahara dan Afrika Utara. 

Walau beberapa warga lokal menyebut pakaian itu melambangkan rasa malu dan kerendahan hati, sebagian besar penduduk setempat satu suara bahwa fungsi dasarnya adalah melindungi mereka dari matahari dan badai pasir yang sering terjadi di wilayah tersebut. 

Baca Juga:
Kemendikbudristek Gelar Muhibah Budaya, Menyusuri Jalur Rempah Nusantara

"Gaya dan bentuk daraa tidak hanya memungkinkan aliran udara di lingkungan yang sulit ini, tapi juga membantu laki-laki di Sahara untuk menghemat air tubuh di tengah gurun," kata pemandu lokal asal Mauritania, Dahid Jdeidou. 

Saat ini, ketika lebih banyak orang menetap di kota-kota besar dan gaya busana yang cenderung condong meniru tradisi Barat, pakaian yang dikenakan laki-laki Sahara untuk melintasi gurun yang panas telah menjadi bagian dari masa lalu. 

Namun, di Mauritania, di mana mayoritas laki-laki mengenakan daraa dan tagelmusts dalam nuansa biru yang menawan, tradisi itu masih hidup. Dan sepertinya, kebiasaan itu akan tetap ada untuk beberapa waktu ke depan. 


Era perdagangan trans-Sahara membawa banyak kelompok etnis yang berbeda ke Mauritania. 

Fashion yang lahir dari perdagangan 

Selama era perdagangan trans-Sahara, pusat transaksi jual-beli baru bermunculan di pinggiran gurun. Berbagai kelompok etnis menjual barang-barang yang dibutuhkan di Afrika Utara seperti rempah-rempah, mineral, hewan, dan tekstil. 

Selama berabad-abad, perdagangan membawa banyak kelompok berbeda ke Mauritania, termasuk orang-orang Tuareg yang nomaden dari kawasan timur laut, kelompok Haratin dari tenggara dan Haalpulaar dari selatan. 

Ketika para pendatang ini menetap di dekat komunitas Berber yang telah tinggal di Mauritania sejak abad ke-3, ajaran Islam dan bahasa Arab tetap berlaku, tapi budaya baru muncul. 

Desain arsitektur berkembang. Buku-buku dari seluruh Sahara masuk ke perpustakaan lokal. Tren mode dari seluruh Afrika Utara masuk dan membuat gaya berpakaian baru dalam bentuk tunik berlengan panjang dan berlengan lebar. 


Buku-buku dari seluruh Sahara masuk ke perpustakaan di Mauritania selama era perdagangan trans-Sahara. 

Tempat peleburan budaya di Sahara 

Mirip pakaian bergaya tunik lainnya, seperti kimono dari Jepang atau kaftan yang berasal dari Mesopotamia kuno, daraa menancapkan pengaruhnya dalam sejarah mode. 

Versi pertama dari pakaian tersebut diperkirakan berasal dari komunitas Haalpulaar, yang tinggal di sepanjang Sungai Senegal. Lokasinya berada di antara wilayah Senegal modern dan Mauritania. 

Pada akhirnya, populasi dari semua status sosial mengenakan daraa. Meski begitu, warnanya tergantung pada status sosial seseorang. 

Pedagang kaya mengenakan daraa putih kapur dan tagelmust karena mereka mampu membersihkan pakaian mereka setiap hari. 

Adapun orang-orang yang diperbudak biasanya mengenakan pakaian hitam karena mereka sering bekerja di lingkungan yang kotor dan harus memakai pakaian yang sama berulang kali. 

Karena pewarna alami di sekitar Sahara sangat sedikit, daraa berwarna muncul setelah komunitas Haalpulaar menjual pewarna nila alami. Teknik pewarnaan nila pun kemudian menjadi populer. 

Daraa berwarna biru tua ini sangat cocok untuk orang yang tidak mampu membeli dara putih, tapi juga tidak ingin memakai yang hitam.


Orang-orang Tuareg dianggap sebagai "laki-laki biru Sahara". 

"Laki-laki biru" Sahara 

Jika orang-orang Haalpulaar mungkin adalah yang pertama mendorong terciptanya daraa dengan pewarna nila, orang Tuareg tercatat sebagai yang mengadopsi dan mempopulerkan mode tersebut. 

Merekalah yang dianggap sebagai "laki-laki biru Sahara". Julukan itu muncul karena warna pakaian mereka terserap ke kulit saat mereka berada di bawah terik matahari. 

Menurut Anja Fischer, peneliti studi Sahara di Universitas Wina, Austria, pengaruh komunitas Haalpulaar bisa mendorong perubahan besar pada mode Tuareg. 

"Orang Tuareg dulunya memakai pakaian berbahan kulit dan pada satu titik, mereka beralih ke kain biru sebagaimana mereka dikenal sekarang," ujarnya. 

Komunitas Tuareg, yang sekarang mendiami wilayah yang membentang dari Libya ke Aljazair, Niger, Mali dan Burkina Faso, secara tradisional merupakan salah satu populasi nomaden terbesar di Sahara. 

Mereka berpengaruh dalam penyebaran Islam di Afrika. 

Orang-orang ini dikenal di seluruh Sahara. Gaya busana yang mereka adopsi di Mauritania dikenal di seluruh Afrika Utara, bahkan sekarang di seluruh dunia. Hingga hari ini, gaya busana itu mengekspresikan budaya dan tradisi nomaden mereka. 


Saat ini, banyak orang memilih memakai daraa biru muda karena kemiripannya dengan daraa putih tradisional. 

Standar baru dengan warna biru 

Dalam beberapa dekade terakhir, seiring kedatangan pewarna kimia dari Asia dan Eropa dan teknik pewarnaan berbiaya rendah seperti teknik dyeing (perendaman di air dingin), membuat warna biru dalam berbagai tingkat menjadi dimungkinkan. 

Dan dengan munculya kelas menengah di berbagai kota di Mauritania, orang-orang semakin memilih daraa biru muda. Warna ini dianggap serupa dengan dengan daraa putih tradisional dan status sosial yang tersimbolkan. 

"Daraa biru muda terlihat seperti yang putih, tapi hanya perlu dibersihkan setiap tiga hingga empat hari," kata Jdeidou.


Beragam barang berwarna biru dijual di pasar pusat Nouakchott. 

'Dunia biru' 

Pasar sentral di ibu kota Mauritania, Nouakchott, benar-benar 'dunia biru'. Banyak penjual hanya menawarkan pakaian biru. Setidaknya satu dari setiap empat laki-laki di kota ini juga memakai daraa biru. 

Di Mauritania bukan hanya pakaian yang biru, tapi juga selimut, payung kios, bahkan elemen arsitektur seperti pintu, langit-langit dan pagar. 

Meskipun biru melambangkan langit dan keilahian dalam Al-Qur'an, warga Mauritania memiliki alasan praktis untuk menggunakannya. Bagi mereka, biru adalah warna yang sempurna untuk melindungi diri dari matahari. 


Banyak daraa di Mauritania yang dihiasi dengan sulaman emas dan putih. 

Berpakaian untuk menarik perhatian 

Daraa pertama terbuat dari sutra, tapi belakangan dianggap haram. Saat ini, di toko-toko di Nouakchott, banyak daraa terbuat dari poliester, kain muslin, dan wol dari bulu unta atau kambing. Namun masih ada juga daraa berbahan sutra untuk non-Muslim. 

Banyak daraa di Mauritania juga dihias dengan sulaman emas dan putih. Ada yang dilengkapi saku di dalam maupun bagian luar. Detail ini jarang ditemukan ratusan tahun lalu tapi berguna di perkotaan modern saat ini. 

Ada upaya untuk memperkenalkan lebih banyak pakaian Barat di Mauritania, namun sebagian besar gagal. 

Menurut Hademine Ahmedou, pemandu lokal dari kota Zouérat, para guru setempat pernah diberitahu untuk tidak mengenakan daraa saat bekerja, Mereka dianjurkan mulai mengadopsi gaya berpakaian Eropa atau Amerika Utara. 

Namun demikian, banyak orang Mauritania tidak tahan untuk meninggalkan daraa tradisional mereka dan kepentingan budayanya. 


Banyak laki-laki dengan bangga memakai daraa biru di Nouakchott. 

Bangga dengan warisan nomaden mereka 

Jika elemen pakaian tradisional telah hilang di sebagian besar kota di yang masuk wilayah Sahara, banyak laki-laki masih dengan bangga mengenakan daraa biru mereka di Nouakchott. 

Pakaian ini telah menjadi bagian integral dari budaya Mauritania. Bahkan para pengusaha yang mengenakan setelan pintar pun mengenakan daraa khusus, alih-alih blazer. 

"Nyaman, mudah dibersihkan dan terlihat bagus," kata Jdeidou sambil tersenyum. 


Di Mauritania, orang-orang muda secara rutin memakai daraa biru. 

Tren untuk generasi yang akan datang 

Jika sebagian besar masyarakat di sekitar Sahara melihat ke Barat untuk tren mode, di Mauritania, perubahan tampaknya masih jauh. Generasi muda lokal bangga dengan tradisi mereka dan secara rutin memakai daraa. 

Baru-baru ini pakaian orang-orang Mauritania ini yang muncul dalam ajang mode modern. Tagelmust versi Sahara menginspirasi syal trendi di Eropa. 

Dan pada awal tahun ini, rumah mode mewah Italia, Valentino, menjadikan daraa tradisional Sahara sebagai inspirasi dalam merancang koleksi musim semi/musim panas 2021. 

Karena semakin banyak tradisi yang terancam punah di dunia yang serba cepat dan terus berubah saat ini, daraa biru dan tagelmust serta tradisi lama yang mereka wakili, masih terus mencuat di Sahara dan hingga ke seluruh dunia.(fh/sumber:BBC)