Menilik Kembali Komitmen Restorasi Lahan Gambut

  • Oleh : Redaksi

Kamis, 03/Feb/2022 00:01 WIB


Restorasi lahan gambut jadi salah satu upaya mencegah cadangan karbon terlepas ke atmosfer yang dapat mempercepat kenaikan suhu bumi. Sejauh mana pelaksanaannya?

Sejak dibentuk tahun 2016 hingga tahun 2021, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) mengklaim sudah melakukan restorasi terhadap 300 ribu hektare lahan gambut. Total target restorasi lahan gambut hingga tahun 2024 yakni 1,2 juta hektare.

Baca Juga:
Gajah Kembar Lahir di Taman Safari

Wilayah lahan gambut yang akan direstorasi tersebar meliputi Provinsi Riau seluas 90.900 hektare, Kalimantan Barat 72.500 hektare, Jambi 36.700 hektare, Sumatera Selatan 24.200 hektare, Kalimantan tengah 72.800 hektare, Provinsi Papua 2.000 hektare, dan 900 hektare di Kalimantan Selatan.

Gambut memang memiliki peran sangat penting bagi lingkungan. Pada musim hujan lahan gambut dapat menekan banjir dengan menyerap air. Restorasi lahan gambut menjadi salah satu upaya untuk mencegah cadangan karbon yang tersimpan di dalamnya terlepas ke atmosfer yang akan mempercepat peningkatan suhu bumi. Semakin banyak lahan gambut yang rusak, bencana banjir dan kekeringan pun akan kian sering dan parah.

Baca Juga:
Collarwali Harimau dengan 29 Anak

"Ya, 1,2 juta itu yang menjadi prioritas pemerintah di tahun 2019. Semua gambut memang perlu diperbaiki, direstorasi, dan semua tidak bisa dilakukan sendiri, harus saling membantu," terang akademisi dari Intitut Pertanian Bogor (IPB), Herry Poernomo, kepada DW Indonesia.

Mengapa perlu restorasi?

Baca Juga:
Suhu Muka Bumi Konsisten Terus Naik, PBB Desak Tindakan Cepat

Restorasi merupakan kegiatan mengembalikan sesuatu kepada keadaan sebelumnya. Jika sebelumnya ada vegetasi hijau maka perlu dibuat vegetasi hijau di lahan gambut sebagai lahan yang tergenang, mengandung air dan sebagian besar merupakan tempat karbon, terang Herry Poernomo.

Ada tiga kegiatan utama dari restorasi: pembasahan gambut  (rewetting), yakni untuk mengembalikan kelembaban gambut dengan membuat sekat kanal. Selanjutnya yaitu tahap revegetasi dan livehood.

"Sudah lumayan banyak hal yang dilakukan pemerintah. Meski harus ada yang diperbaiki dan masih kurang. Seperti livehood development misalnya di lahan restorasi itu masih dicari polanya. Termasuk revegetasi ada yang berhasil, ada yang perlu perjuangan," imbuhnya.

Di Indonesia, provinsi dengan lahan gambut terbesar ada di Papua dengan luas 6,3 juta hektare. Disusul Kalimantan Tengah 2,7 juta hektare, Riau 2,2 juta hektare, Kalimantan Barat 1,8 juta hektare dan Sumatera Selatan 1,7 juta hektare.

BRGM seperti dilansir dari Detik.com tertanggal 30 Desember 2021, mengatakan telah membuat 774 unit sekat kanal. Rinciannya, Provinsi Riau 130 unit sekat kanal, Provinsi Jambi 56 unit sekat kanal, Provinsi Sumatera Selatan 233 unit sekat kanal, Provinsi Kalimantan Barat 173 unit sekat kanal, Provinsi Kalimantan Tengah 177 unit sekat kanal, dan Provinsi Kalimantan Selatan 5 unit sekat kanal. 

Sumber Global Wetlands (Konsorsium Cifor) yang diakses pada 1 Februari 2022 menyebutkan bahwa jumlah lahan gambut di Indonesia mencapai 22,4 juta hektare, berada di urutan ke-2 setelah Brasil yakni 31 juta hektare. Jumlah tersebut menyimpan sekitar 30% karbon dunia.

Di Indonesia, provinsi dengan lahan gambut terbesar ada di Papua dengan luas 6,3 juta hektare. Disusul Kalimantan Tengah 2,7 juta hektare, Riau 2,2 juta hektare, Kalimantan Barat 1,8 juta hektare dan Sumatera Selatan 1,7 juta hektare.

Berpeluang Percepat Laju Deforestasi
​​​​​​
Sebanyak 40% dari 921.000 hektar lahan yang disiapkan KLHK untuk ditukar dengan lahan gambut milik swasta merupakan hutan alami. Jika program tersebut dijalankan, Indonesia berpotensi menderita kerugian lebih besar.

Rencana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menukar lahan gambut yang dikuasai perusahaan swasta dengan lahan pengganti di tempat lain diyakini akan mempercepat laju deforestasi di Indonesia. Hal tersebut disimpulkan oleh sejumlah kelompok lingkungan menyusul temuan dari analisa tata ruang.

Menurut kajian tersebut, hampir 40% lahan yang masuk dalam 921.000 hektar lahan pengganti yang disiapkan pemerintah merupakan hutan alami. KLHK berencana memberikan lahan tersebut kepada perusahaan swasta pemilik konsesi gambut. Syaratnya pemilik konsesi harus melakukan restorasi dengan membasahi lahan gambut, sehingga tidak lagi bisa dibuat perkebunan.

Kebijakan tersebut antara lain dibuat untuk mencegah terulangnya kebakaran hutan seperti pada 2015 silam.

Namun program tukar lahan KLHK memicu kekhawatiran pegiat lingkungan menyusul meningkatnya potensi konflik lahan baru dengan masyarakat lokal. Selain itu mereka juga mengkhawatirkan pertukaran lahan dilakukan sebelum pemilik konsesi tuntas merestorasi lahan gambut yang menjadi tanggungjawabnya.

Sebab itu koalisi Anti Mafia Hutan mendesak pemerintah hanya menggunakan lahan yang sudah ditetapkan sebagai hutan produksi untuk pertukaran tersebut. Mereka juga mengritik lemahnya kekuatan hukum untuk memastikan perusahaan merestorasi lahan yang rusak dengan biaya sendiri sebelum mendapat lahan baru.

"Tanpanya, perusahaan bisa saja melarikan diri dari bencana yang mereka ciptakan sendiri," tulis koalisi 14 kelompok lingkungan itu dalam surat keterangan pers. "Restorasi bisa saja tidak terjadi dan lahan yang ditinggalkan akan rentan terkena kebakakaran hutan."

Sebuah studi yang dibuat University of Queensland pada 2017 silam memperkirakan biaya restorasi untuk 2 juta hektar lahan gambut yang ditetapkan sebagai prioritas nasional oleh pemerintah bisa mencapai US$ 4,6 milyar.

Saat ini lahan gambut yang terdegradasi mencakup hampir seperempat wilayah Kalimantan dan Sumatera. Sejak 2000an pemerintah banyak memberikan konsesi sawit di atas lahan gambut untuk menggenjot produksi nasional.  Padahal menurut riset University of Queensland, sawit bukan sektor pertama yang mencoba memanfaatkan lahan gambut.

Pada 1990 pemerintahan Orde Baru mencanangkan program alih lahan gambut untuk produksi beras. Namun program tersebut dibatalkan pada 1999 menyusul rendahnya tingkat produktivitas.

Sumber: dw.com.