Perang Rusia-Ukraina: Mahasiswa Ukraina jadi Tentara Relawan, Dilatih 3 hari langsung Terjun ke Garis Depan

  • Oleh : Redaksi

Rabu, 16/Mar/2022 10:12 WIB
Foto:istimewa Foto:istimewa

UKRAINA (BeritaTrans.com) - Lebih dari seminggu yang lalu saya bertemu dengan sekelompok pemuda di Kyiv. Mereka berperang memperjuangkan Ukraina secara sukarela.

Kebanyakan dari mereka belum genap 20 tahun dan belum lama mengakhiri masa sekolah. Mereka mengatakan kepada saya, setelah tiga hari menjalani pelatihan dasar, mereka akan menuju garis depan, atau berada sangat dekat dengan garis depan.

Baca Juga:
Kapal Diserang Drone Houthi, AS Balas Bombardir Yaman

Maksym Lutsyk, seorang mahasiswa biologi berusia 19 tahun, mengatakan tidak masalah mencoba menjadi tentara setelah menjalani pelatihan kurang dari seminggu. Setelah lima tahun di Pramuka, dia tidak hanya berhasil belajar keterampilan hidup di tempat terpencil, tetapi juga beberapa pelatihan senjata.

Dia berusia 10 tahun ketika terjadi perang antara Ukraina dengan gerakan separatis yang didukung oleh Moskow pada 2014.

Baca Juga:
Berani! Houthi Yaman Balas Serang Balik Kapal Perang AS

Maksym bergabung dengan temannya, Dmytro Kisilenko (18 tahun), mahasiswa jurusan ekonomi di universitas yang sama.

Orang-orang yang direkrut itu merupakan sekelompok pemuda yang telah memutuskan bahwa mereka bukan lagi anak-anak, yang tertawa terlalu keras ketika seseorang menceritakan lelucon untuk menyembunyikan kegelisahan mereka, atau sering membual.

Baca Juga:
Amerika dan Inggris Mulai Serang Bandara Internasional Yaman

Beberapa dari mereka mengenakan bantalan lutut yang terlihat terlalu kecil, seolah-olah mereka datang membawa skateboard pada hari ulang tahunnya yang ke-12. Beberapa lagi datang membawa kantong tidur.

Salah satunya membawa matras yoga. Ketika menunggu di luar bus yang akan mengantar ke tempat latihan, mereka tampak seperti rombongan ke festival musik, kalau saja mereka tidak membawa senjata. Masing-masing orang diberi tanggung jawab memegang sepucuk senapan serbu Kalashnikov.

Saya berbicara dengan Dmytro, Maksym, dan relawan lainnya. Akhir pekan ini saya pergi ke pos-pos mereka di tepi timur kota. Mereka telah diberi seragam, pelindung tubuh, pelindung lutut yang layak khas angkatan bersenjata, dan helm.

Angin kencang bertiup di sekitar pos pemeriksaan, yang sedang dibangun oleh para sukarelawan itu menjadi barikade dengan karung pasir dan penghalang kendaraan lapis baja. Mereka melakukan yang terbaik dari pelatihan dasar mereka.

Dmytro mengatakan kepada saya: "Saya sudah terbiasa dengan senjata saya. Saya belajar cara menembak dan cara bertindak dalam pertempuran, juga banyak hal lain yang sangat penting dalam pertarungan menghadapi Rusia." Dia tertawa, seolah-olah dia sulit membayangkan apa yang dia renungkan.

Maksym tampak lebih waspada dan serius, tidak terlihat seperti mahasiswa yang santai.

"Saya merasa jauh lebih percaya diri daripada sebelumnya, karena kami sudah mendapatkan pengetahuan yang cukup soal taktik, seni bela diri, pengobatan taktis, dan cara melakukan sesuatu di medan perang." Dengan setengah bercanda, dia mengatakan ingin melihat bendera Ukraina berkibar dari Kremlin.

Pertanyaan di benak semua orang di sini adalah apakah pertempuran di Kyiv akan benar-benar terjadi?

"Sangat mungkin" kata Dmytro. "Kami hanya harus menghentikan mereka di sini, karena jika mereka sampai ke Kyiv, perang ini mungkin akan berakhir."

Mereka berasal dari kota yang sama di dekat perbatasan Rusia. Kota yang sedang diserang. Keluarga mereka masih ada. Saya bertanya, apa pendapat orang tua mereka tentang apa yang mereka lakukan.

Maksym mengatakan sambil bercanda bahwa ibunya menyuruhnya tinggal di tempat penampungan saja dan menjadi sukarelawan untuk memasak makanan. Dia telah memberi tahu orang tuanya tentang rincian penempatannya karena dia tidak ingin membuat mereka khawatir.

Orang tua Dmytro tahu apa yang anaknya lakukan. Dia mulai dengan membuat bom molotov sendiri dan setelah beberapa hari dia menelepon ayahnya untuk memberitahu bahwa dia telah memutuskan bergabung dengan pasukan pertahanan teritorial. Ayahnya menyuruhnya untuk tidak berusaha terlalu keras untuk menjadi pahlawan.

Orang tua saya, kata Dmytro, bangga dengan apa yang saya lakukan. Dia tampak senang. Saya bertanya apakah dia merasa takut dengan apa yang akan terjadi nanti.

"Tidak terlalu, tetapi takut itu manusiawi, dan tentu saja dalam hati saya merasa sedikit takut, karena tidak ada orang yang ingin mati, bahkan jika kematian itu demi negara sendiri. Jadi, kematian bukanlah pilihan bagi kami."

Dmytro dan Maksym membicarakan impian mereka di masa depan, bersenang-senang dengan teman-teman, menyelesaikan pendidikan, karier, dan akhirnya berkumpul dengan keluarga.

Orang tua mereka pasti berdoa agar rencana, energi, dan bahkan hidup putra mereka tidak dihancurkan oleh kenyataan perang yang brutal, seperti banyak generasi muda lainnya yang bergabung untuk berperang di perang Eropa.

Wartawan asing tidak memiliki akses ke para pemuda Rusia yang hanya beberapa mil jauhnya di sisi lain di garis depan. Banyak yang meyakini mereka adalah wajib militer, yang tidak diberitahu dengan benar apa yang sedang direncanakan untuk mereka. Peperangan, kebanyakan dilakukan oleh para pemuda.

Saya yakin banyak pemuda Rusia yang terlibat dalam perang memiliki harapan setinggi Dmytro dan Maksym. Satu perbedaan, mungkin, adalah kurangnya motivasi untuk bertarung, meskipun tidak kesempatan untuk melakukan peliputan di pihak mereka dengan benar, sulit untuk mengatakannya dengan pasti.

Dua mahasiswa muda Ukraina yang menjadi tentara kembali bekerja di pos pemeriksaan. Tentara profesional berada beberapa mil di depan, berhadapan langsung ke pasukan Rusia.

Namun, jika Rusia datang, seperti semua sukarelawan, Maksym dan Dmytro akan menembak dari parit yang mereka gali di tanah sekitarnya, di mana kotak-kotak bom molotov menunggu—botol-botol tua berisi bensin dan potongan-potongan polistiren parut, yang diisi dengan kain untuk melumpuhkan tank.

Jika itu tidak berhasil, aliansi militer NATO sedang memasok ribuan senjata anti-tank yang jauh lebih canggih.

Semua orang di sini, di Kyiv, sedang menunggu apa yang mungkin menjadi pertempuran utama dalam perang. Para tentara, warga sipil yang mengenakan seragam atau bahkan tanpa seragam, bersama dengan Maksym dan Dmytro dan sukarelawan lainnya, siap bertarung bersama.(amt/sumber:bbc.com)