Dilema Kenaikan Tarif Ojol

  • Oleh : Naomy

Rabu, 10/Agu/2022 12:04 WIB
Ojol (dok) Ojol (dok)


JAKARTA (BeritaTrans.com) - Kementerian Perhubungan (Kemenhub) melalui Surat Keputusan Nomor Kp 564 Tahun 2022 yang ditanda tangani oleh Dirjen Perhubungan Darat Hendro Sugiatno akhirnya memenuhi permintaan para pengemudi ojek online (Ojol) yang meminta penyesuaian tariff Ojol mengingat sejak 2019 belum pernah mengalami penyesuaian tariff sementara harga pertalite saja sudah mengalami kenaikan. 

"Besaran tarif Ojol secara pasti ditentukan oleh aplikator, karena itu domain aplikator dan yang diatur dalam SK Kemenhub adalah pedoman tarif batas bawah, batas atas, dan tarif minimal," ujar Pengamat Transportasi  Darmaningtyas, Rabu (10/8/2022).

Baca Juga:
19 Tahun Transjakarta, Meluruskan Sejarah Awal Kehadirannya

Aplikator menurutnya, memiliki kewenangan untuk menentukan besaran tarif yang definitive berdasarkan pedoman batas bawah, atas, dan tarif minimal tersebut.  

Seperti aturan sebelumnya, besaran tarif Ojol ini dibagi tiga zona, yaitu Zona I yang meliputi Sumatera dan sekitarnya; Jawa dan sekitarnya selain Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi; dan Bali.

Baca Juga:
Mengintip Keandalan dan Keselamatan Kendaraan Listrik

Besaran tarif batas bawah sebesar Rp1.850/ km; batas atas sebesar Rp2.300/ km; dan tarif minimal dengan rentang biaya jasa antara Rp9.250 s.d. Rp11.500. 

Zona II meliputi wilayah Jabodetabek besaran tarif batas bawah sebesar Rp2.600/km; tarif batas atas sebesar Rp 2.700/km; dan tarif minimal dengan rentang biaya jasa antara Rp13.000 s.d Rp13.500.

Baca Juga:
Pengamat: Hendaknya Pemerintah Cermat Kala Membuat Kebijakan Kenaikan BBM

Sedangkan Zona III yang meliputi wilayah Kalimantan dan sekitarnya; Sulawesi dan sekitarnya; Kepulauan Nusa Tenggara dan sekitarnya; Kepulauan Maluku dan sekitarnya; serta  Papua dan sekitarnya.

Tarif bawah sebesar Rp2.100/km; tarif batas atas sebesar Rp2.600/km; dan tarif minimal dengan rentang biaya jasa antara Rp 10.500 s.d Rp 13.000.

"Tarif minimal ini perlu ditentukan guna melindungi pengemudi. Sebab kalau tidak ada tarif minimal dan ternyata orderannya jarak pendek dan macet, maka pengemudi akan menderita kerugian besar, apalagi bila operator memiliki kenaikan tarifnya berdasarkan tarif bawah," ujarnya. 

Dalam SK ini ditentukan bahwa perusahaan aplikasi melakukan penyesuaian pencantuman biaya jasa pada aplikasi paling lambat 10 hari kalender sejak Keputusan Menteri ini ditetapkan. 

SK Menteri Perhubungan ini ditetapkan pada 4 Agustus. Dengan demikian, mulai 15 Agustus 2022 tarif Ojol akan mengalami penyesuaian tarif.

Hapuskan Perbudakan Tarif

Keputusan Menteri Perhubungan mengenai penyesuaian tarif Ojol ini ada yang menyambut gembira, tapi ada pula pengemudi yang menyambut sedih. 

Tentu yang menyambut gembira adalah mereka yang sejak awal berjuang untuk dilakukan penyesuaian tarif. 

"Sedangkan yang menyambut sedih adalah mereka yang menyadari bahwa dengan kenaikan tarif justru akan membuat orderan menurun karena tarif baru hampir sama dengan tarif taxi, sehingga masyarakat dapat beralih ke taxi plat kuning," kata Darmaningtyas.

Kekhawatiran seperti ini disampaikan oleh sejumlah pengemudi Ojol pada saat diskusi dengan mereka Minggu (7/8/2022). 

Mereka lebih menuntut pada perlakukan tarif yang adil dan manusiawi dari aplikator, terutama untuk layanan antaran barang dan makanan. 

"Para perserta diskusi itu mengeluhkan adanya kecurangan yang dilakukan oleh operator yang amat merugikan mitra (pengemudi) tapi tidak diketahui oleh konsumen," katanya. 

Pada setiap pengiriman barang atau pemesanan makanan konsumen selalu bayar ongkos secara normal seperti yang ditentukan oleh aplikator, tapi giliran pembayaran kepada pengemudi oleh aplikator sangat minim, terutama kalau terjadi order gabungan dalam program same day. 

Ada driver yang mengantar lima orderan namun upah yang diterima hanya Rp17.500 saja. Atau 14 titik lokasi anteran namun upah yang diterima pengemudi hanya Rp39.200 saja. 

"Ini jelas tarif yang tidak manusiawi alias memperbudak mitra saja. Sementara para konsumen membayar ongkos kirim rata-rata di atas Rp15.000," tutur dia.

Bahkan pengalamannya sendiri, kirim satu barang yang bobotnya tidak ada dua kilogram dan jarak hanya 10 km saja ongkosnya Rp20.000.

"Apabila pengemudi yang mengantar barang saya tadi dapat orderan gabungan dan hanya dibayar murah, lalu ke mana larinya ongkos kirim yang saya bayar, diluar 20% yang menjadi hak aplikator? 
Para mitra Ojol ini juga sering harus memikul beban parkir yang tidak masuk dalam perhitungan komponen tarif. Padahal dalam kenyataannya, beban parkir dobel sering dialami oleh mitra pada saat mendapat orderan antar barang/pesan dan pemesan tinggal di kompleks apartemen," imbuh Darmaningtyas. 

Biasanya, di apartemen dikenai parkir dan di tempat pesan makanan juga dikenai parkir. Bahkan ada pengemudi yang menuturkan saat mengantar penumpang ke Polda Metro Jaya, kena parkir Rp4.000, padahal belum ada lima menit. 

Perilaku aplikator yang tidak memanusiawikan mitra ini dan beban parkir ini tidak terendus oleh regulator sehingga tidak pernah menjadi dasar pertimbangan dalam penentuan komponen tarif. 

Meski demikian, selayaknya regulator melakukan pengawasan terhadap aplikator dalam membangun kemitraan dengan para pemilik moda produksi (sepeda motor) dan sekaligus pekerjanya. 

Memperlakukan mitra secara sewenang-wenang, hanya karena mitra tidak berkutik – lantaran kalau protes langsung tidak dapat orderan untuk beberapa saat—jelas bertentangan dengan etika kemanusiaan itu sendiri. Bisnis yang akan berkelanjutan adalah bisnis yang menjaga etika kemanusiaan. 

Bisnis yang eksplotatif terhadap sesama tidak akan pernah langgeng, tinggal menunggu waktu kehancurannya. 
Pekerja Ojol ini juga kerap mudah dikenai sanksi suspend, potongan saldo, putus mitra (PHK) tanpa dapat pesangon layaknya pekerja di sector formal. Tidak punya hak banding bila ada penilaian buruk (bintang 1) dari Pelanggan dan sangat merugikan driver hingga berujung sanksi putus mitra.  

Jam kerja mereka jelas panjang lebih dari delapan jam karena tidak ada kepastian pendapatan setara upah minimum. 

Bagi pengemudi perempuan juga tidak ada cuti haid, keguguran, atau melahirkan. Artinya, bila saat-saat sedang haid, keguguran, atau melahirkan mereka libur, maka setelah akan memulai kembali mereka memerlukan proses yang lama. Istilah pengemudi anyep (tidak ada apa-apa alias kesulitan) karena dianggap tidak aktif akunnya bila libur beberapa hari. 

“Ini karena manajemen algoritma aplikator sangat tertutup dan driver tidak mengerti sebenarnya aturan yang dibuat melalui algoritma itu seperti apa.

Persoalan-persoalan hubungan industrial yang eksploitatif ini tidak boleh terjadi lagi dengan adanya kenaikan tarif baru. 

"Jangan sampai konsumen sudah bayar mahal, tapi mitra (pengemudi) tetap tidak sejahtera, dan keuntungan terbesar ada pada aplikator. Kalau ini yang terjadi, perjuangan kenaikan tarif oleh para mitra sebetulnya hanya menjadi pepesan kosong belaka," pungkasnya. (omy)

Tags :