Anak Palestina Selamat usai 7 Jam Tertimbun Runtuhan di Gaza

  • Oleh : Redaksi

Rabu, 19/Mei/2021 23:57 WIB
Warga Palestina di tengah bangunan yang hancur akibat gempuran Israel. (AFP/MAHMUD HAMS) Warga Palestina di tengah bangunan yang hancur akibat gempuran Israel. (AFP/MAHMUD HAMS)

​​​​​Jakarta (BeritaTrans.com) - Seorang anak di Palestina tertimbun reruntuhan puing-puing rumah yang hancur selama tujuh jam akibat rentetan serangan udara Israel.

Anak-anak menjadi korban trauma dalam pemboman ekstensif yang dilakukan tentara Israel di Jalur Gaza.

Baca Juga:
Perang Ukraina: Palestina Diminta Kutuk Rusia, Presiden Mahmoud Abbas Justru Kecam Standar Ganda Barat atas Kejahatan Israel

Sejauh ini, konflik antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza menewaskan 217 orang dari pihak Palestina, 63 di antaranya anak-anak. Sementara Israel bertambah dua, menjadi 12 orang.

Adalah Suzy Ishkontana, salah satu anak yang menjadi korban serangan Israel. Ia hampir tak berbicara atau makan selama dua hari sejak diangkat dari reruntuhan puing rumah keluarganya.

Baca Juga:
Presiden Ukraina Zelensky Minta Tolong Israel

Anak berusia 7 tahun itu, menghabiskan waktu berjam-jam dalam reruntuhan saat saudara dan ibunya meninggal tak jauh dari Suzy.

Keluarga Ishkontana dimakamkan di bawah reruntuhan rumah mereka pada Minggu (16/5) pagi, setelah serangan bom besar-besaran di pusat kota Gaza, yang menurut Israel menargetkan jaringan terowongan Hamas.

Baca Juga:
Israel Borong 3 Kapal Selam dari Jerman, Harganya Rp 48 Triliun

Ayah Suzy, Riad Ishkontana menceritakan bagaimana dia tertimbun selama lima jam di bawah reruntuhan, terjepit di bawah sebongkah beton, dan tidak dapat menjangkau istri serta kelima anaknya.

"Saya mendengarkan suara mereka di bawah reruntuhan. Saya mendengar Dana dan Zain memanggil, 'Ayah! Ayah! 'Sebelum suara mereka memudar dan kemudian saya menyadari mereka telah meninggal," kata Raid, mengutip Associated Press pada Rabu (19/5).

Setelah dirinya diselamatkan dan dibawa ke rumah sakit, keluarga dan staf menyembunyikan kematian anak istrinya dari Riad.

"Saya tahu soal kematian mereka satu demi satu," ucapnya.

Akhirnya, Suzy, anak kedua dari lima bersaudara, menjadi satu-satunya yang selamat.

Menurut penjelasan dokter anak, Zuhair Al-jaro, meskipun Suzy hanya mengalami memar fisik selama tujuh jam tertimbun di bawah reruntuhan, gadis itu berada dalam kondisi trauma dan syok yang parah.

Rumah sakit tidak bisa memberinya perawatan psikologis karena pertempuran yang sedang berlangsung, katanya.

"Dia mengalami depresi berat," kata Zuhair.

Hanya pada hari Selasa (17/8) kemarin, dia makan sesuatu setelah diizinkan keluar sebentar di luar rumah sakit dan melihat sepupunya.

Saat ayahnya berbincang dengan AP, Suzy duduk di ranjang di sebelahnya. Ia diam dan mengamati wajah orang-orang di ruangan itu tetapi jarang melakukan kontak mata. Ketika ditanya apa yang dia inginkan saat besar nanti, dia hanya memalingkan muka.

Pertanyaan itu dijawab oleh ayahnya. Raid mengatakan, anak perempuannya ingin menjadi dokter, di saat itu Suzy mulai terisak-isak hingga menangis keras.

Ishkontana (42), yang baru-baru ini berhenti bekerja sebagai pelayan karena lockdown akibat virus corona, mengatakan Suzy cerdas dan paham dalam menggunakan teknologi serta menyukai smartphone dan tablet.

"Dia menjelajahinya, dia memiliki lebih banyak pengalaman berurusan dengan mereka (gawai) daripada saya," katanya.

Gadis kecil itu juga suka belajar dengan mengumpulkan semua saudara kandungnya ke dalam sebuah "kelas" permainan, lalu ia sendiri mengambil peran sebagai guru mereka.

Konflik ini merupakan yang keempat kali, Israel dan Hamas berperang dalam konflik serupa pada 2009, 2012, dan 2014. Kerusuhan itu menimbulkan banyak kerusakan.

Setiap waktu, Israel melancarkan serangan udara besar-besaran di Jalur Gaza yang padat penduduk, di saat mereka telah berjanji untuk menghentikan serangan roket Hamas ke Israel.

Dewan Pengungsi Norwegia mengatakan 11 dari anak-anak yang terbunuh telah mengikuti program psikososial untuk membantu mereka menghadapi trauma.

Hal tersebut juga sebagai tanda bahwa anak-anak telah berulang kali menjadi korban kekerasan. Di antara jumlah itu, termasuk Dana (8) dan saudara perempuan Suzy.

"Ini adalah keempat kalinya bagi banyak (anak-anak) yang mengalami (pemboman sekitar rumah)" kata manajer area lapangan area pengungsi, Hozayfa Yazji.

Para orang tua yang tinggal di Gaza mulai putus asa menenangkan anak-anak mereka yang ketakutan saat bom meledak. Beberapa memberitahu kepada mereka bahwa serangan-serangan itu hanya kembang api atau para orang tua mencoba menampilkan wajah ceria.

Kekerasan itu, kata Yazji, tentu saja akan mempengaruhi anak-anak.

"Situasinya akan jauh lebih buruk dan lebih banyak anak akan membutuhkan banyak dukungan."

Dewan pengungsi telah bekerja sama dengan 118 sekolah di Gaza. Sebanyak 75 ribu murid telah mendapat pembelajaran dari Program Pembelajaran yang Lebih Baik oleh gurunya.

Program itu melatih para guru untuk menangani anak-anak yang mengalami trauma. Mereka juga menggelar latihan yang menyenangkan untuk menghilangkan stres. Dalam program itu ada pemeriksaan rumah bagi anak-anak sekaligus memberikan bantuan.

Sekretaris Dewan Pengungsi Norwegia, Jan Egeland menyerukan gencatan senjata sesegera mungkin.

"Selamatkan anak-anak ini dan keluarga mereka. Berhenti membom mereka sekarang," ucapnya.

Menurut Egeland, blokade di Gaza dan pendudukan wilayah Palestina diperlukan, jika ingin menghindari lebih banyak trauma dan kematian anak-anak.

(lia/sumber:cnnindonesia.com)