Ketika Kapal Tampomas Membawa Jamaah Haji dari Semarang, Jakarta dan Palembang

  • Oleh : Redaksi

Minggu, 27/Mar/2022 08:11 WIB
Jamaah haji pada 1950 bersiap naik ke kapal untuk menuju Arab Saudi. (Foto: ANRI)  Jamaah haji pada 1950 bersiap naik ke kapal untuk menuju Arab Saudi. (Foto: ANRI)

JAKARTA (BeritaTrans.com) - Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) mengusulkan pemberangkatan jemaah umrah ke Tanah Suci menggunakan kapal pesiar.

Baca Juga:
Saat Kapal SS Jeddah Tenggelam, 953 Jamaah Haji Wafat, Nakhoda Beserta Istri dan Kru Selamat Setelah Melarikan Diri

Ketua Umum IPHI Ismed Hasan Putro mengatakan, hal itu dimaksudkan agar para jemaah dapat menerima pembekalan selama perjalanan.

"IPHI sedang menggagas untuk proses pemberangkatan umrah dengan kapal pesiar karena kita ingin memberikan edukasi, pembekalan yang lebih besar, selama proses perjalanan," ujarnya.

Baca Juga:
Berbulan-bulan di Laut, Ini Foto Jamaah Haji Pertama Indonesia Tahun 1950, Bersiap Naik Kapal di Pelabuhan

Menurutnya, telah banyak warga yang menyambut gagasan tersebut dengan sikap positif.

"Sangat luar biasa antusiasnya, demikian juga di Sulawesi Selatan. Katanya, kalau 1.200 orang kapasitasnya itu sekali berangkat selesai," ujarnya.

Dia mengatakan, mereka telah mengetahui konsekuensi bahwa perjalanan ke Arab Saudi menggunakan transportasi laut akan memakan lebih banyak waktu. Namun, hal itu tidak menyurutkan antusiasme mereka.

Lebih Murah Tapi Lebih Lama

Pada 1960-an, pemberangkatan jemaah calon haji Indonesia melalui dua jalur, yaitu udara dan laut, sesuai kesanggupan masing-masing.

Perjalanan melalui jalur udara lebih cepat, tetapi biayanya lebih mahal. Sementara perjalanan via laut lebih murah dengan waktu tempuh lebih lama.

Pada tahun 1950 misalnya, Indonesia memberangkatkan 10 ribu jamaah haji dengan menggunakan kap laut. Dua tahun berikutnya bertambah menjadi 14 ribu orang. Namun, kapal laut yang mengangkut tidak cukup.   


Menteri Agama RI waktu itu, KH Abdul Wahid Hasyim mencari cara untuk pemberangkatan haji agar umat Islam Indonesia tidak kecewa. Ia pun mencari kapal tambahan dengan mendatangi Jepang. Berikut ini laporan Tempo yang menceritakan upaya dia. 

“Setelah mampir di Bangkok dan Hong Kong, Menteri Agama KH Wahid Hasym tiba di Tokyo pada 1 April 1952. Di kepalanya hanya ada satu tujuan: mendapatkan kapal murah untuk mengangkut jemaah haji Indonesia ke Tanah Suci,” tulis Tempo. 

Menurut Tempo, setahun sebelum upaya yang dilakukan Kiai Wahid itu, yakni tahun 1951, pemerintah Indonesia memberangkatkan jemaah haji dengan menyiapkan kapal dari Kongsi Tiga dan Inaco, tapi hanya mampu membawa 11 ribu orang. Padahal jumlah peminat haji ada sekitar 14 ribu orang.

“Wahid dan timnya berangkat ke Negeri Sakura untuk mencari kapal tambahan. Setelah 18 hari di sana, akhirnya ia mendapatkan kapal milik maskapai Osaka Sissen Kaisha. Seluruh perjalanan dan perundingannya itu dia laporkan secara terperinci di akhir masa jabatannya,” ungkap Tempo.    

Di tahun yang sama, yakni tahun 1952, Indonesia untuk pertama kalinya memberangkatkan jemaah haji dengan peswat terbang. Namun, ongkosnya dua kali lipat lebih mahal daripada perjalanan laut. Waktu itu, menurut Kompas ongkos naik haji dengan menggunakan kapal laut adalah Rp7.500 sementara pewawat terbang Rp16.691. Oleh karena itu, pebedaan jumlah antara yang menggunakan kapal laut dan pesawat terbang sangat jauh, yaitu 14.031 banding dengan 293 orang. 

Sampai tahun-tahun berikutnya, transportasi calon jemaah haji Indonesia menggunakan kapal laut dan pesawat terbang. Trasportasi yang pertama lebih lama, tapi murah, sedangkan yang kedua, lebih cepat tapi mahal. Namun pada tahun 1970-an, perbandingan jumlah haji laut dan udara tidak terlalu besar. Jemaah haji Indonesia sudah banyak memilih pesawat terbang. Menurut Arsip Kompas yang dimuat Sabtu (7/9), pada tahun 1977 jumlah haji laut sebanyak 7.450 orang, sementara haji udara 12.899 orang. 

Masih menurut Arsip Kompas, pada tahun itu, ongkos kapal laut justru  lebih  mahal dengan waktu tetap saja lama, sementara pesawat terbang lebih murah dan dengan waktu yang lebih cepat. Arsip itu menyebutkan, ongkos naik haji (ONH) laut sebesar Rp795.000, sementara ONH udara Rp690.000. Harga itu kedua ONH itu sama-sama naik di tahun itu. ONH laut 16 persen. ONH udara 29 persen. Dengan demikian, ONH udara lebih murah dan lebih cepat sehingga mempercepat jamaah haji Indonesia yang menggunakan kapal laut beralih. 

PT Arafat

Perusahaan pertama yang menyediakan pemberangkatan jamaah calon haji menggunakan kapal laut adalah PT Arafat. Perusahaan di bidang pelayaran yang khusus melayani perjalanan haji (laut) ini dibentuk pada 1 Desember 1964.

Pembentukan PT Arafat merupakan kelanjutan dari Keputusan Presiden Nomor 122 Tahun 1964 tentang Penyelenggaraan Urusan Haji.

Mengutip dari berbagai sumber, seiring perjalanannya waktu, Ketua Dewan Urusan Haji (Duha) sekaligus Menteri Komparten Kesejahteraan Rakyat H Moeljadi Djojomartono pada 1964 menginstruksikan pendirian PT Arafat dengan bentuk saham umat.

Perusahaan ini pun menjadi milik bersama yang sahamnya dimiliki 554.947 jamaah Tanah Air. Setiap jamaah membeli saham PT Arafat senilai Rp50 ribu.

PT Arafat diketahui memiliki lima kapal laut untuk memberangkatkan ribuan jamaah calon haji setiap tahunnya. Kelimanya adalah KM Gunung Djati, Tjut Njak Dhien, Pasific Abeto, Mei Abeto, dan Le Havre Abeto.

Di atas kapal selama berbulan-bulan perjalanan laut itulah para jamaah melakukan aktivitas sehari-hari hingga manasik haji agar di Tanah Suci bisa beribadah secara mandiri.

Khusus untuk angkutan haji via laut, masih meenurut Arsip Kompas, dilakukan PT Arafat dengan lama perjalanan 30 hari pergi dan pulang. Namun, perusahaan itu, sejak tahun 1970-an, mengalami kesulitan uang. Padahal pemerintah sudah membantunya dengan memberi subsidi dari perjalanan haji udara. Namun, tetap saja tidak perjalanan laut tetap mahal dan waktu lebih lama. Akhirnya tahun 1978, pemerintah menghentikan perjalanan haji dengan trasportasi laut. 



Kapal Tampomas

Pada masa itu, ada beberapa kapal yang digunakan untuk mengangkut jemaah calon haji asal Indonesia. Salah satunya adalah Kapal Tampomas.

Harian Kompas, 4 Januari 1967, menyebutkan, Kapal Tampomas melayani pemberangkatan jemaah haji melalui tiga dermaga yaitu Jakarta, Semarang, dan Palembang, dengan membawa antara 200-500 penumpang.

Dari pelabuhan pemberangkatan, Tampomas langsung bertolak menuju ke Jeddah, Arab Saudi.

Tak hanya mengantarkan jemaah calon haji, Tampomas juga membawa aneka barang dari Indonesia yang dibawa seperti mebel, ukiran, dan kain asli Indonesia.

Barang-barang ini dipamerkan dalam sebuah pameran yang bersamaan dengan musim haji. Melalui pameran ini, diharapkan bisa mendapatkan pasaran di Lebanon, Arab Saudi, Palestina, dan negara timur tengah lainnya.Selain membawa barang untuk pameran, sekembalinya ke Indonesia,

Kapal Tampomas juga membawa 3.000 ton beras dari Mesir.Beras tersebut merupakan pesanan pemerintah.

Pada musim haji 1974, Kapal Tampomas digunakan sebagai pengganti Kapal Belle Abeto dan Tjut Nyak Dien.Kapal Belle Abeto yang seharusnya membawa jemaah haji dari Surabaya terpaksa tak bisa beroperasi karena mengalami kerusakan parah di Singapura.Akhirnya, jemaah calon haji diangkut menggunakan Kapal Tampomas.

Sementara itu, Kapal Tjut Nyak Dien yang membawa jemaah calon haji dari Tanjung Priok juga dialihkan ke Tampomas.Tidak dijelaskan sampai kapan kapal pengangkut jemaah haji yang dibuat pada 1956 ini berakhir masa berlayarnya.

Namun, pada era 1980-an, kapal ini mendapatkan peremajaan dengan renovasi menyeluruh.Sebagai penerusnya, ada Tampomas II yang dibeli dari Komodo Marine Jepang dengan harga 8,3 juta dollar AS. (jasmine)/dari berbagai sumber).