INACA: Iuran Pariwisata jadi Beban Tambahan Penumpang dan Maskapai Penerbangan

  • Oleh : Naomy

Kamis, 25/Apr/2024 16:18 WIB
Penumpang pesawat di Bandara Penumpang pesawat di Bandara

 

JAKARTA (BeritaTrans.com) - Asosiasi Maskapai Penerbangan Nasional Indonesia (INACA) menanggapi wacana iuran pariwisata yang akan dimasukkan pada komponen tiket penerbangan. 

Baca Juga:
INACA Apresiasi Pengurangan Jumlah Bandara Internasional

Menurut Ketua INAC Denon Prawiraatmadja, penumpang pesawat tak melulu unguk berwissta, namun terdiri dari berbagai macam keperluan, di antaranya untuk keperluan bisnis, acara keluarga atau pribadi, keperluan dinas, keperluan pendidikan, keperluan liburan atau berwisata dan lainnya. 

"Jadi pariwisata dan wisatawan hanya salah satu dari berbagai jenis penumpang pesawat. 
Dengan demikian tidak seharusnya iuran pariwisata yang sedang digagas oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) ditambahkan dalam komponen harga tiket pesawat karena akan menjadi beban tambahan bagi penumpang dan maskapai penerbangan," urai Denon di Jakarta, Kamis. (25/4/2024).

Baca Juga:
Tiket Penerbangan Internasional Akan Naik 5 Persen?

Dengan tambahan iuran pariwisata dalam komponen tiket, dikatakannya, tentu saja akan membuat harga tiket menjadi lebih mahal bagi penumpang.

Maskapai juga akan terkena dampak karena jumlah penumpang akan berkurang jika harga tiket dianggap mahal.  

Baca Juga:
Pengamat Sebut Saat Revisi TBA Tiket Pesawat, Komponen Biaya Perlu Dipertimbangkan

Menurut Denon, saat ini bisnis penerbangan sedang dalam kondisi rebound setelah terpuruk akibat pandemi Covid -19 pada tahun 2020 sampai dengan 2022 lalu. 

Namun demikian banyak kendala yang dihadapi maskapai penerbangan Indonesia sehingga proses rebound tidak bisa berlangsung lancar bila dibandingkan dengan maskapai penerbangan internasional.

"Permasalahan yang dihadapi maskapai Indonesia di antaranya adalah berkurangnya jumlah ketersediaan pesawat beserta suku cadang (spareparts) dan sumber daya manusia yang siap untuk dioperasikan," ungkapnya. 

Selain itu juga meningkatnya biaya operasi yang disebabkan oleh naiknya harga bahan bakar avtur dan nilai tukar mata uang Rupiah yang terus melemah terhadap mata uang Dollar AS. 

Padahal kata Denon, sekitar 70% biaya operasional penerbangan dipengaruhi oleh Dollar AS, di antaranya terkait harga avtur, biaya sewa pesawat, biaya perawatan dan pengadaan spareparts dan lainnya.

Sementara itu, tarif penerbangan sejak tahun 2019 sampai saat ini belum  disesuaikan oleh pemerintah padahal komponen biaya tarif penerbangan sudah meningkat.  

Misalnya untuk kurs Dollar AS dari tahun 2019 sebesar Rp14.102,- dan tahun 2024 menjadi Rp16.182,- atau meningkat 15%.  Harga jual minyak juga terus naik, di mana tahun 2024 ini  mencapai 87,48 U$D/ barrel atau meningkat 37% dibanding tahun 2019 yaitu 64 U$D/ barrel.

“Dengan demikian, pengenaan iuran pariwisata pada tiket pesawat akan menjadi kontraproduktif, karena dapat menyebabkan harga tiket naik, jumlah penumpang turun dan kondisi bisnis maskapai penerbangan juga turun sehingga program perluasan konektivitas transportasi udara dari pemerintah menjadi tidak tercapai,” tutur Denon. (omy)