GINSI Dukung CFS Center Dengan Tarif Tunggal

  • Oleh :

Selasa, 23/Mei/2017 08:17 WIB


JAKARTA (BeritaTrans.com) - Ketua BPD Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) DKI Capt Subandi mendukung rencana Pelindo II membangun fasilitas Container Freight Station (CFS) center tapi harus dengan single tarif (tarif tunggal).Bincang bincang dengan BeritaTrans.com Senin (22/5/2017) malam Subandi mengatakan kalau sudah dibangun CFS center mestinya penanganan barang impor berstatus Less than Container Load (LCL) ditempatkan di satu lokasi saja (CFS) center. Tidak ada lagi TPS yang masih menangani kegiatan sejenis di luar CFS center."Sudah seharusnya tempat penumpukan barang impor berstatus less than container load (LCL) dipusatkan di sau lokasi/ kawasan dengan single tarif," katanya.Menurut Suband, bila barang LCL dikumpulkan di satu lokasi (CFS) center dengan tarif tunggal, kondisinya akan menjadi lebih tertib. "Tidak seperti sekarang lokasinya menyebar di beberapa tempat sehingga menyebabkan kemacetan dan tarif layanannya pun berbeda beda," tutur Subandi.Subandi mengatakan pemerintah tidak boleh tunduk pada tekanan dari manapun dalam membangun fasilitas CFS center karena menyangkut penataan alur logistik.Kalau pemerintah consern dengan upaya menurunkan biaya logistik CFS center harus jalan. Sebaliknya kalau tidak dipusatkan di satu lokasi , katanya, tidak akan banyak manfaatnya.Dia mengimbau agar pemerintah meninjau ulang Permenhub 116,117 dan 25 (batasi lamanya kontainer di lini satu) karena aturan tersebut justru menyebabkan biaya logistik menjadi mahal.Misalnya container yang sudah mengendap 4 hari harus di pindah lokasikan/ Over Brengen ( OB ), padahal container tersebut sedang dalam proses urus dokumen ( bukan sengaja ) tidak dikeluarkan.Biaya pemindahan petikemas cukup mahal. Sementara tarif penumpukan petikemas (storage ) di pelabuhan juga sudah dinaikan 900 % dan free storagenya juga sudah di perpendek cuma 1 hari.Oleh karenanya tidak usah heran kalau dwelling time sudah turun tapi biaya logistik tetap tinggi, karena memang tidak berkolerasi langsung antara dwelling time dengan biaya logistik.Harusnya pemerintah concern pada upaya percepatan pelayanan dokumen, baik di kementrian / lembaga juga pelayanan di pelabuhan, bukan hanya berupaya percepat memindahkan fisik barangnya dari terminal, tegasnya. (wilam)

Tags :