Cerita Nelayan Natuna, Terjepit Antara Kapal Asing dan Kapal Cantrang

  • Oleh : Fahmi

Sabtu, 20/Feb/2021 10:36 WIB
Ilustrasi kapal nelayan. (Istimewa) Ilustrasi kapal nelayan. (Istimewa)

JAKARTA (BeritaTrans.com) - Nelayan tradisional Natuna menghadapi berbagai kekhawatiran dan hambatan saat melaut. Mereka tak hanya melawan badai begitu kuat di tengah laut, juga berhadapan dengan kapal asing. Belum lagi, nelayan kecil ini harus berkonflik dengan nelayan kapal cantrang asal Pulau Jawa. 

Adanya kebijakan yang bakal membolehkan alat tangkap cantrang khawatir makin menyulitkan kehidupan nelayan tradisional Natuna. Kebijakan itu dinilai bisa membunuh nelayan tradisional secara perlahan, demi menguntungkan pemodal besar. Nelayan Natuna mendesak agar aturan itu dihapuskan. 

Baca Juga:
Kementerian-KP Galang Dukungan Internasional, Perluas Kawasan Konservasi Laut

Rahmad Wijaya, nelayan tradisional Natuna, pernah alami kejadian buruk dengan kapal cantrang. Akhir 2020, dia sedang memancing di perairan laut Natuna, berjarak 70 mil dari pinggir pantai Kabupaten Natuna, ketika melihat kapal cantrang dari kejauhan. 

Kapal cantrang berukuran besar itu bukan menjauh, malahan mengejarnya. “Itu kejadian akhir tahun (2020) lalu,” katanya, bercerita kepada Mongabay, belum lama ini. 

Baca Juga:
KKP Temui Kejagung, Minta Pendampingan Peraturan Pengelolaan Lobster?

Rahmad tak mungkin melawan kapal cantrang itu walau melanggar aturan. Selain kalah ukuran kapal, dia juga kalah jumlah orang. “Kami hanya berdua, lebih baik lari,” katanya. 

Dia bilang, satu kapal cantrang kedapatan melaut di perairan Natuna hanya berjarak delapan mil dari garis pantai Pulau Kepala, Kecamatan Serasan Natuna. Mereka nyaris membakar kapal cantrang dari Pati, Jawa Tengah itu pada Desember 2020. “Ini bukti kuat kapal cantrang susah diatur,” kata Rahmad. 

Baca Juga:
Geliat Perikanan Tangkap di Muara Baru Jakarta Pasca Libur Lebaran

Hendri, Ketua Aliansi Nelayan Natuna, mengatakan, sejak 2016, kapal cantrang sudah sering ambil ikan di laut Natuna. “Kapal cantrang melaut tidak sesuai aturan, alat cantrang mereka juga merusak terumbu karang di laut Natuna,” katanya kepada Mongabay, akhir Januari lalu. 

Pada masa Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, penggunaan alat tangkap cantrang dipastikan merusak lingkungan. Namun masa Menteri Edi Prabowo, alat cantrang tak lagi masuk kategori merusak lingkungan. 

Seperti disebutkan dalam berita di Mongabay, sejak 10 Maret 2020, sebanyak 23 kapal perikanan dari Pantai Utara Jawa Tengah mulai beroperasi di sekitar laut Natuna Utara, secara administrasi masuk Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. 

Kapal-kapal itu mendapatkan izin penuh dari Pemerintah Indonesia dan mereka pakai alat penangkapan ikan cantrang. Ini dikonfirmasi sendiri oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dalam hampir setiap kesempatan. 

Hendri bilang, kondisi itu berlangsung beberapa minggu saja, setelah itu kapal cantrang kembali ke pantura. Pasalnya, alat tangkap cantrang tidak efektif menagkap ikan pada kedalaman 50 meter. 

“Setelah itu mereka mencoba melobi pemerintah agar mereka bisa menangkap di laut Natuna bagian pinggir,” katanya, akhir Januari 2020. 

Tidak lama setelah itu, Permen KKP No 59/2020 itu terbit. Dalam aturan itu keluar kebijakan baru, penggunaan cantrang boleh dengan jarak 12 mil dari pinggir pantai. Dalam pasal lain, kapal kecil yang mempunyai ukuran 10 GT ke bawah hanya boleh melaut antara 0-4 mil. “Kapal 10 GT ke bawah adalah kapal nelayan tradisional Natuna,” kata Hendri. 

Sudahlah mereka kecewa kapal cantrang boleh beroperasi, tambah kacau kala nelayan tradisional di Natuna hanya boleh melaut sampai empat mil karena ukuran kapal itu. Padahal, katanya, walau nelayan di Natuna pakai kapal di bawah-10 GT, mereka melaut lebih dari 4 mil. 

Karakteristik laut Natuna, katanya, jarak 4 mil tak ada ikan bisa dijual, hanya ada karang berukuran besar sebagai rumah ikan hias. 

“Nelayan Natuna itu fishing ground-nya jarak 12-50 mil dari tepi pantai, kalau begitu aturan itu membunuh nelayan kecil,” katanya. 

Hendri mengatakan, pemerintah bikin aturan tidak ada upaya survei ke lapangan seperti ke laut Natuna. Peraturan, katanya, hanya dibuat di atas meja, tanpa menimbang karakteristik laut suatu daerah dan melibatkan nelayan. 

“Kalau di Jawa memang di pinggir laut banyak ikan, tetapi tidak untuk di Natuna,” katanya. 

Senada dengan Hendri, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Perikanan (Kiara) Susan Herawati mengatakan, penelitian penggunaan cantrang sudah final dimasa Susi Pudjiastuti, hingga alat tangkap itu dilarang. “Aturan pemerintah lucu, beda menteri beda kebijakan, beda menteri beda kepentingan.” 

Pemerintah, katanya, tidak konsisten dalam merumuskan aturan alat tangkap. Dia melihat, kebijakan dibuat berdasarkan kepentingan tertentu. “Ini yang terus kami awasi,” katanya. 

Selama ini, KKP terlihat tidak memahami dan tidak mengerti maritim Indonesia, termasuk bagaimana perbedaan karakteristik laut Natuna dan laut Jawa. “Indonesia ini beragam, aturan seperti itu tidak bisa disamaratakan setiap daerah.” 

Apalagi dalam beberapa kebijakan, jarang sekali pemerintah melibatkan nelayan tradisional. Susan mengatakan, nelayan tradisional rentan jadi korban, karena mereka tidak memiliki biaya besar untuk mobilisasi massa. 

Tidak hanya di Kepulauan Riau, penolakan cantrang juga terjadi di Sumatera Utara, Jawa Tengah, Pulau Pari, Angke, kemudian bagian timur Indonesia. “Memang sebagian daerah sudah banyak cantrang, tetapi sebenarnya nelayan tradisional mereka menolak,” kata Susan. 

Dia bilang, ada beberapa daerah di Kalimantan dan Sulawesi Selatan nelayan cantrang tidak berani melaut. Di daerah itu kalau ditemukan cantrang mereka berani membakar kapal itu. “Jika mobilisasi awal kapal cantrang untuk menjaga laut Cina Selatan, itu alasan yang bodoh, kemana aparat negara, itu kan lucu, kenapa nelayan yang harus turun tangan,” kata Susan. 


Hendri, saat pertemuan di Jakarta. Foto: dokumen  Hendri

Protes ke Jakarta 

Beberapa perwakilan nelayan di Kepulauan Riau berjuang menemui menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono di Jakarta. Meskipun menemui banyak rintangan akhirnya menteri menunda Permen KKP 59 soal memperpanjang izin kapal cantrang melaut di Natuna. 

Hendri menceritakan, nelayan Kepri ke Jakarta awalnya bertemu dengan PLT Dirjen Tangkap KKP Muhammad Zaini. Pada paparan Dirjen KKP, dia meyakini akan mengakomodir tuntutan nelayan Kepulauan Riau. 

Namun, katanya, pada beberapa sesi paparan Zaini malahan menjelaskan kapal cantrang boleh karena akan diubah jadi alat tangkap yang ramah lingkungan. “Dari situ kami melihat Pak Dirjen setengah hati, beliau masih menginginkan cantrang sebagai alat tangkap ramah lingkungan, kawan-kawan nelayan tidak puas dengan pertemuan itu,” kata Hendri. 

Setelah itu, nelayan terpaksa membatalkan tiket kepulangan dan mencoba bertemu menteri keesokan hari. Setelah itu Hendri, dan nelayan lain akhirnya bertemu dengan Menteri KKP. 

Menteri KKP baru itu mengakomodir tuntutan nelayan dengan pernyataan tidak setuju penggunaan alat tangkap kapal cantrang dan sepakat kajian mendalam Permen 59. “Hasil pertemuan ini menteri sepakat dengan kami, keberlanjutan sumberdaya yang harus diperhatikan, begitu kata menteri.” 

Awal Februari 2021, Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono menunda izin perpanjangan kapal cantrang. Penundaan itu dinilai nelayan Kepri upaya keseriusan menteri. Harapan mereka, tidak hanya ditunda namun dibatalkan sama sekali. 

“Karena kalau ditunda artinya beberapa bulan ke depan juga mungkin melihat situasi kondisi bisa dilakukan kembali. Kami minta dibatalkan karena kajian dan pengalaman kami tidak ada cantrang ramah lingkungan.” 

Hendri mengatakan, pemerintah tidak akan sanggup mengawasi kapal cantrang yang berjumlah ribuan itu. Nelayan Natuna, katanya, akan mengawasi kebijakan ini. 

Hendri bilang, saat ini penundaan baru soal cantrang, belum lagi tuntutan nelayan tentang zonasi kapal di bawah 10 GT yang hanya boleh melaut 4 mil. 

Susan menilai, penundaan itu hanya pencitraan. Dia khawatir terjadi lobi antara pengusaha kapal cantrang dan pemerintah. “Kalau memang itikad baik harusnya Menteri KKP mencabut. Artinya kalau ditunda masih terdapat ruang negosiasi yang akan dibuka suatu waktu.” 

“Konvoi” kapal asing di laut Natuna 

Nelayan trandisional di Natuna, tak hanya hadapi persoalan dengan nelayan cantrang, di laut lepas, mereka berhadapan dengan kapal-kapal asing. Mereka dihantui kapal asing yang makin merajalela. Bahkan, nelayan tidak menemukan satu atau dua kapal, tetapi dalam jumlah banyak atau istilah mereka “berkonvoi. ” 

Dedi Saleh, nelayan Natuna sering menemukan kapal asing di tengah laut. Bahkan tidak jarang Dedi terjebak konflik di tengah laut bersama kapal ikan asing. “Kalau sama saya mereka, saya lawan, saya mengerti peta,” katanya, bercerita beberapa waktu lalu. 

Dedi merupakan nelayan yang memiliki ukuran kapal terbesar di Natuna, kapalnya berukuran 10 GT dengan rata-rata jarak tempuh melaut 170 mil-200 mil. “Setiap saya ke luar pasti bertemu kapal asing, di jarak 80 mil dari pantai sudah bertemu,” katanya. 

Bahkan, beberapa bulan lalu Dedi masih menemukan kapal asing konvoi di perairan Natuna. Mereka melaut dengan alat tangkap troll, pakai sistem gandengan atau pasangan, sekitar delapan pasang, artinya 19 kapal. 

Dia sudah bosan melaporkan kejadian ini ke aparat di Indonesia. Saat ini, yang bisa dia lakukan hanya mengabadikan kapal asing itu melalui telepon genggam untuk dilaporkan ke teman yang lain lalu pindah titik melaut. 

Tidak hanya Dedi, Endang Firdaus, nelayan Natuna yang sudah melaut puluhan tahun ini juga sering menemukan kapal asing. Bahkan, beberapa bulan lalu dia berpapasan dengan kapal asing pada jarak 30 mil dari Pulau Laut Natuna. 

“Saya terpaksa menghindar, karena kapal mereka besar dengan jumlah banyak,” katanya, belum lama ini. 

Nelayan tradisional Natuna, katanya, rata-rata sudah mengetahui ciri-ciri kapal asing itu mulai dari nomor hingga jenis kapal. “Saya sering melihat kapal asing, ketika berlabuh di pulau lain, itu nampak jelas kapal asing sedang menarik troll mereka di laut.” 

Ketika berpapasan dengan kapal asing, tidak jarang pompong kapal nelayan tradisional Natuna dikejar. Nelayan lolos, karena kapal pompong mereka lebih cepat. 

Rahmad, dan Endang juga sering menemukan kapal asing itu tidak sendirian, tetapi mencuri ikan di tengah laut Natuna secara berjamaah. “Terakhir pernah saya lihat lima pasang kapal asing beriringan, artinya 10 kapal.” 

Endang juga mengatakan, kapal asing yang mengambil ikan melihat kondisi cuaca. Kalau cuaca ekstrem, kapal asing biasa berani mendekat ke pinggir laut Natuna. Pada masa cuaca buruk, katanya, biasa patroli aparat berkurang. “Kalau cuaca mulai membaik, mereka kembali menjauh di daerah perbatasan,” kata Endang. 

Kerusakan karang di laut Natuna dirasakan langsung oleh Endang. Beberapa kali karang yang sudah dia tandai menjadi tempat bersarang ikan hancur hanya hitung hari. “Itu jelas kapal asing yang merusak.” 

Tidak hanya kapal asing dari Vietnam, kapal asing dari Tiongkok juga sering ambil ikan di Natuna. Kapal itu, katanya, berani menggunakan bendera negara sendiri ketika melaut di laut Natuna. “Kalau kita ketemu kapal asing, lebih baik kami cari tempat lain untuk melaut,” kata Endang. 

Pria asli Kabupaten Natuna ini juga bilang, ketika masa Menteri Susi Pudjiastuti kapal asing tidak seberani sekarang masuk ke laut Natuna. 

Hasil melaut Endang pun kini makin berkurang. Sebelumnya, hasil tangkapan ikan bisa sampai 700 kg lebih satu kali melaut, sekarang paling hanya 400 kg. “Karena karang yang menjadi areal tempat kita memancing, habis dirusak sama troll kapal asing.” 

Kondisi tambah berat, kata Endang, saat ada aturan yang membolehkan kapal cantrang melaut di Natuna. Padahal, katanya, alat tangkap itu dilarang pada masa Menteri Susi Pudjiastuti, karena terbukti merusak lingkungan bawah laut. 


Kapal Ikan Asing (KIA) ilegal berbendera Vietnam KG 94094 TS yang ditangkap Kapal Pengawas Perikanan KKP di WPP-NRI 711 Laut Natuna Utara pada Rabu (20/05). Foto : KKP 

Hendri bilang, betapa berat masalah yang dihadapi nelayan trandisional Natuna. Selain bermasalah di pinggir laut, juga harus melawan kapal asing di laut lepas. 

Hampir setiap saat, katanya, nelayan tradisional menemukan kapal asing di laut Natuna. “Kapal asing sepertinya tidak takut lagi melaut di Natuna.” 

Susan mengatakan, kapal asing masuk di laut Natuna diperparah oleh UU Cipta Kerja. Sebelumnya, kapal asing tegas tidak boleh melaut di perairan Indonesia, dalam UU Cipta Kerja itu jadi lebih longgar. 

Lewat UU Cipta Kerja, ada perubahan UU 31/2004 tentang Perikanan juncto UU Nomor 45/2009, Pasal 27 UU Cipta Kerja, kapal ikan berbendera asing yang menangkap ikan di zona ekonomi eksklusif Indonesia wajib memiliki perizinan berusaha dari pemerintah pusat. 

Dalam pasal itu, katanya, juga menghapuskan ketentuan UU Perikanan yang mewajibkan kapal perikanan berbendera asing yang menangkap ikan di ZEE gunakan anak buah kapal (ABK) WNI paling sedikit 70% dari ABK. 

“Belum saja turunan itu selesai, kapal asing sudah banyak melaut di perairan kita, apalagi di legalkan nanti,” katanya. 

Saat ini, kata Susan, Indonesia menjadi bancakan banyak negara, lebih parah lagi pemerintah melegalkan aturan itu melalui UU Cipta Kerja. 

Susan mengatakan, ada beberapa solusi yang bisa dilakukan pemerintah, pertama, pemerintah harus memanfaatkan nelayan tradisional, tidak lagi meminta bantuan kapal asing untuk industrial perikanan. Pemerintah, katanya, harus memperbaiki skema industri perikanan dan laut. 

Kedua, pemerintah harus berhenti jadikan laut bancakan politik. “Apalagi kita sadar kebutuhan politik 2024, sistem bobrok politik kita juga harus diubah, alat tangkap sejak zaman Soeharto sudah dipermasalahkan, sekarang juga, ini adalah kemunduran,” katanya. (Sumber:MongabayIndonesia)