Harga Kripto Merosot Lagi, Ethereum Terburuk Drop 6% Lebih

  • Oleh : Redaksi

Rabu, 14/Jul/2021 12:04 WIB


Jakarta (BeritaTrans.com) - Harga mata uang kripto (cryptocurrency) kembali diperdagangkan melemah pada perdagangan Rabu (14/7/2021) pagi waktu Indonesia, setelah rilis data inflasi Amerika Serikat (AS) pada periode Juni 2021.

Berdasarkan data dari CoinMarketCap pukul 09:00 WIB, tujuh kripto berkapitalisasi terbesar lagi-lagi kompak mengalami pelemahan.
Kripto dengan kapitalisasi terbesar pertama, yakni Bitcoin merosot 2,35% ke level harga US$ 32.409,51/koin atau setara dengan Rp 468.965.610/koin (asumsi kurs Rp 14.470/US$), koin digital dengan kapitalisasi terbesar kedua, yakni Ethereum ambruk 6,2% ke level US$ 1.908,36/koin (Rp 27.613.969/koin).

Baca Juga:
Di Australia, Influencer Diancam Penjara Bila Berbagi Tips Keuangan Tanpa Lisensi

Berikutnya Tether turun tipis 0,02% ke US$ 1 per koin atau setara dengan Rp 14.470 per koinnya, Binance Coin ambles 5,32% ke US$ 299,86 per koin (Rp 4.338.974 per koin), Cardano ambrol 5,63% ke US$ 1,24 per koin (Rp 17.943 per koin).

Selanjutnya Ripple terkoreksi 3,6% ke US$ 0,6072 per koin atau setara dengan Rp 8.786 per koinnya dan Dogecoin anjlok 6,12% ke US$ 0,1931 per koin (Rp 2.794 per koin).

Baca Juga:
Peretas Rampok Rp8,8 Triliun dari Games Seluler Axie Infinity


Bitcoin dan kripto terbesar lainnya bergerak cenderung mengikuti pasar saham global yang melemah setelah rilis data inflasi AS yang melonjak pada periode Juni 2021.

Inflasi Juni di AS dilaporkan melesat 5,4% secara tahunan (year-on-year/YoY) dengan inflasi inti 4,5%. Angka itu jauh lebih tinggi dari estimasi ekonom dalam polling Dow Jones yang berujung pada inflasi tahunan 5%.

Baca Juga:
Kazakhstan Jadi Penambang Kripto Terbesar Kedua di Dunia

Sementara itu untuk inflasi inti yang tidak memasukkan komponen makanan dan energi berada di angka 3,8%, tertinggi sejak September 1991.

"Indeks Harga Konsumen Juni yang panas membuat pasar waswas pagi ini," tutur Cliff Hodge, Kepala Investasi Cornerstone Wealth, seperti dikutip CNBC International.

Kripto dianggap oleh banyak investor sebagai aset lindung nilai (hedging) terhadap inflasi, sehingga reaksi harga menyebabkan beberapa analis Wall Street berkomentar.

Harga Bitcoin sempat naik empat kali lipat tahun lalu karena bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) memompa triliunan dolar yang baru dicetak ke pasar keuangan, hampir dua kali lipat dalam satu tahun jumlah uang yang telah dibuat selama 107 tahun sebelumnya.

Tetapi reaksi pasar Bitcoin dan kripto lainnya terhadap inflasi yang lebih cepat dari perkiraan juga mungkin mencerminkan sifat pasar keuangan yang volatil, di mana poin data jauh lebih penting daripada yang mungkin dilakukan The Fed dalam menanggapinya.

Dalam hal ini, banyak ekonom mengatakan bahwa laju inflasi tampaknya masih sementara, seperti yang dikatakan Ketua The Fed, Jerome Powell.

"Pejabat The Fed masih memberi tahu kepada semua orang bahwa `inflasi bersifat sementara,' sementara mereka menuangkan US$ 120 miliar yang tidak dapat dibenarkan ke pasar setiap bulan," kata Mati Greenspan, pendiri perusahaan analisis cryptocurrency Quantum Economics, dikutip dari CoinDesk.

Namun ada kemungkinan yang meningkat bahwa beberapa dari inflasi yang tinggi mungkin akan bertahan lebih lama dan dengan demikian mendorong bank sentral AS untuk membatasi kebijakan ultra longgarnya lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya.

Hal itu mungkin membantu menjelaskan kelemahan Bitcoin, jika kebijakan moneter longgar dalam waktu lama akan memudar.

"Laporan inflasi yang panas membuat beberapa investor khawatir karena ekspektasi terhadap The Fed harus mengakui bahwa inflasi yang lebih tinggi akan bertahan lebih lama," kata Edward Moya, analis pasar senior untuk broker Oanda, menulis dalam catatan harian kepada CoinDesk.

"Kejutan inflasi ini mungkin bukan katalis yang cukup kuat untuk menembus kisaran perdagangan Bitcoin baru-baru ini." tambahnya.

 

TIM RISET CNBC INDONESIA